LOGIN
"Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily."
Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. --- Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter. Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada apa-apanya dibanding kegelisahan yang merayap dari dalam. Emily merapatkan mantel tipisnya. Dalam genggamannya, selembar surat rekomendasi dari ayahnya terasa lebih berat dari sekadar kertas. Ia bukan datang ke sini sebagai jurnalis investigasi seperti biasanya. Malam ini, ia datang karena paksaan keluarga—orang tuanya yang nyaris memohon, bahkan memerintahkannya. “Kau harus bertemu Alexander Blackwood,” begitu kata ayahnya, wajah penuh keputusasaan. “Dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan perusahaan kita. Apa pun yang dia tawarkan… terimalah.” Kata-kata itu terus terngiang. Emily menelan ludah, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ia benci cara keluarganya menyerah begitu saja pada seorang pria yang bahkan sudah lama tak lagi menjadi bagian hidupnya. Tapi ia juga tahu, penolakan berarti kehancuran. Pintu lift terbuka. Seorang pria keluar, langkahnya tenang, penuh wibawa. Alexander Blackwood. Emily menahan napas. Ia masih mengenali pria itu, meski banyak yang berubah. Rambut cokelat gelapnya kini ditata rapi, wajahnya lebih tegas, matanya biru dingin, penuh jarak. Dulu, mata itu selalu bersinar setiap kali menatapnya. Dulu, ia selalu dipanggil dengan tawa hangat dan senyum yang mampu menenangkan hari paling buruk sekalipun. Emily dan Alex dulu bukan sekadar teman. Mereka sahabat paling dekat di masa SMA—berbagi tawa, rahasia, bahkan mimpi-mimpi kecil. Alex selalu ada di samping Emily, menjadi pelindung, sekaligus orang yang paling ia percaya. Tapi hubungan itu berubah ketika Alex, dengan segala keberaniannya, berkali-kali mengutarakan perasaan. Suatu sore di lapangan sekolah, Alex berdiri di hadapannya, wajahnya penuh keyakinan. “Emily, aku serius. Aku… aku menyukaimu. Bolehkah aku jadi lebih dari sekadar sahabat?” Emily membeku. Ia masih SMA, pikirannya penuh ketakutan yang tak bisa ia rangkai jadi alasan jelas. Yang keluar hanya kalimat pendek—sama seperti yang ia ucapkan setiap kali Alex mencoba lagi: “Aku tidak bisa bersamamu, Alex.” Kalimat itu terdengar seperti penolakan, tapi juga bukan sepenuhnya. Tidak ada alasan jelas, tidak ada penjelasan panjang. Emily terlalu takut kehilangan Alex sebagai sahabat, takut cinta akan merusak segalanya. Tapi ia tidak bisa menyampaikan itu. Bagi Alex, yang tumbuh dalam keluarga kaya dan terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau, ambiguitas itu adalah racun. Ia terbiasa pada kepastian, pada hasil. Dan Emily—sahabat yang selalu ada untuknya—justru menjadi satu-satunya hal yang tidak bisa ia miliki. Setiap kali mendengar kalimat itu, frustrasi dalam diri Alex bertambah. Ia tidak mengerti. Apakah Emily benar-benar menolaknya, atau ada sesuatu di balik kata-kata sederhana itu? Hari-hari berlalu, dan setiap pengakuan Alex berakhir sama—jawaban singkat Emily yang ambigu. “Aku tidak bisa bersamamu, Alex.” Kalimat yang menancap, menggantung tanpa penjelasan. Ambiguitas itu perlahan mengikis kesabarannya, mengubah cintanya menjadi obsesi, dan obsesi itu terus tumbuh hingga bertahun-tahun kemudian. Dan kini, lebih dari sepuluh tahun kemudian, Alexander bukan lagi “Alex” yang hangat. Ia telah menjadi sosok asing—seorang CEO yang dikenal kejam dalam bisnis, pria yang wajahnya sering muncul di majalah Forbes dan halaman depan koran. Begitu pintu ruang rapat terbuka, aroma kayu mahoni dan parfum maskulin langsung menyeruak. Di balik meja panjang, berdiri seorang pria dengan jas hitam yang disesuaikan sempurna dengan tubuh tegapnya. “Emily Carter,” katanya, suaranya dalam, dingin, dan terlalu formal bagi dua orang yang pernah berbagi rahasia kecil di usia remaja. “Sudah lama sekali.” Emily menelan ludah. “Alex—” ia hampir menyebut nama itu, tapi buru-buru mengoreksi. “Mister Blackwood.” Pria itu menarik salah satu kursi di ruang rapat, duduk di sana dengan kaki menyilang, memberikan kesan dominan yang menyesakkan dada Emily. “Jadi, katakan! Apa tujuanmu datang kemari?” Alexander tersenyum tipis, lebih menyerupai ejekan daripada kehangatan. “Jadi sekarang kau menganggapku orang asing? Menarik sekali.” Emily menghela napas berat. “Aku datang karena keluargaku memintaku menemuimu. Jika ini bukan urusan pekerjaan, maka katakanlah sejak awal.” Alexander mengangkat alisnya, tatapannya penuh tantangan. “Keluargamu yang memintamu datang?” Ia berdiri, dan mendekat selangkah, suara rendahnya menusuk. “Bagus. Itu mempermudah segalanya.” Emily tertegun, darahnya terasa berhenti mengalir. “Apa maksudmu?” Senyum Alexander melebar, dingin sekaligus penuh kuasa. “Maksudku, Emily… aku tahu keluargamu berada di ambang kehancuran. Dan aku… satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu.” Emily mendongak, menatap matanya. “Dengan imbalan apa?” “Pertanyaan yang bagus.” Alexander menyeringai. “Pernikahan.” Kata itu jatuh seperti palu. Emily terdiam, matanya membesar. “Kau… tidak serius.” “Aku selalu serius.” Suaranya datar, tanpa jeda ragu. “Kau menikah denganku. Dalam enam bulan ke depan, kau menjadi istriku. Dan sebagai gantinya, aku akan melunasi hutang keluargamu, melindungi mereka dari kebangkrutan. Semua akan beres—asal kau menandatangani kontrak ini.” Ia mengeluarkan sebuah map kulit dari mejanya dan meletakkannya di depan Emily. Di dalamnya, ada dokumen legal dengan judul besar: Marriage Contract Agreement. Emily menatapnya dengan tidak percaya. “Kenapa aku? Dari semua wanita yang bisa kau pilih, kenapa aku?” Tatapan Alexander menusuk. Untuk sesaat, ada kilatan emosi yang sulit dibaca—marah, sakit hati, atau mungkin masih cinta. “Kau masih bertanya?” katanya dingin. “Kau tahu persis jawabannya. Karena aku pernah menginginkanmu. Karena aku pernah memberimu hatiku… dan kau menolaknya.” Emily terhenyak. Suaranya tercekat. “Itu… bertahun-tahun lalu, Alex.” Alexander mendekat lebih jauh, hingga wajah mereka hanya terpisahkan beberapa sentimeter. Matanya berkilau tajam. “Jangan panggil aku Alex,” bisiknya. “Alex sudah mati malam itu, ketika kau mengatakan kau tidak menginginkanku. Yang berdiri di hadapanmu sekarang adalah Alexander Blackwood—pria yang belajar bahwa cinta hanya membawa luka. Dan sekarang… giliranmu untuk merasakan rantai yang sama.” Emily merasakan napas hangatnya di kulit pipinya. Jantungnya berpacu, antara ketakutan dan sesuatu yang lain—sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Tangannya bergetar saat membuka kontrak. Setiap halaman berisi syarat-syarat dingin: kewajiban, larangan, tanda tangan. “Ini gila,” desisnya. Alexander menyentuh dagunya dengan jari, memaksa wajahnya mendongak. Sentuhannya kuat, tapi ada kilasan kelembutan samar—seolah bayangan Alex yang dulu masih bersembunyi di balik pria dingin ini. “Tidak, Emily,” suaranya rendah, nyaris sensual. “Ini takdir.” Emily memejamkan mata sejenak. Potongan kenangan SMA menyeruak lagi—tawa di taman sekolah, senyum Alex saat membantunya mengikat pita rambut, pengakuan cinta di senja yang indah. Dan tatapan kecewa itu, saat ia menolak. Kini, tatapan yang sama menatapnya lagi, tapi dengan lapisan baru: obsesi. Tangannya berhenti di halaman terakhir kontrak. Pena disodorkan ke arahnya. Emily menggenggamnya dengan gemetar. Ia tahu, jika ia menandatangani, hidupnya tidak akan pernah sama. Alexander menunduk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinganya. “Tandatangani, Emily. Biarkan masa lalu mengikat kita… selamanya.” Napas Emily tercekat. Di dalam hatinya, pertempuran sengit berkecamuk: kebencian, rasa bersalah, dan sesuatu yang masih berdenyut—kenangan cinta lama yang tak pernah sepenuhnya mati. Dan di ruangan itu, di bawah tatapan dingin Alexander, ia tahu: tidak ada jalan keluar.Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka
Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu
Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya
Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti
Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi







