Share

Bab 02: Percikan

Author: Bon Johnham
last update Last Updated: 2025-09-01 13:01:46

Ruang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, matanya kosong.

Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai.

Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut.

“Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.

Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya.

Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya masuk ke ruang fitting wanita.”

Alexander mendekat perlahan. Tatapan tajamnya menyapu tubuh Emily dari atas ke bawah, membuat gadis itu menegang. “Aku sudah membeli gaun ini, butik ini, bahkan momen ini. Kau pikir ada sesuatu di sini yang bukan milikku?”

Kata-katanya menusuk. Emily ingin membalas, tapi bibirnya kelu.

Alexander mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. Ia mengangkat dagu Emily dengan jemarinya, memaksa gadis itu menatapnya. “Kau tampak seperti ratu yang siap ditaklukkan.”

Emily menepis tangannya dengan cepat, napasnya memburu. “Aku tidak menikah denganmu karena cinta. Ingat itu, Alex.”

Nama itu—Alex—membuat sorot mata Alexander membeku sesaat. Namun dengan cepat ia menutupi keterkejutannya dengan senyum dingin. “Aku tahu. Dan aku juga ingat bagaimana dulu kau menolak aku berkali-kali. Kau pikir aku lupa, Emily?”

Ingatan itu menyergap Emily. Masa SMA mereka kembali menghantui—hari ketika Alexander menyatakan cinta dengan mata penuh harap, dan ia menghancurkannya dengan penolakan dingin. Hari ketika persahabatan mereka mulai retak.

Emily merasakan sesak di dadanya. “Itu sudah lama terjadi. Kita berbeda sekarang.”

Alexander menunduk sedikit, suaranya rendah, mengancam sekaligus penuh emosi. “Kau benar. Alex yang dulu mati pada hari kau menolaknya. Yang ada di hadapanmu sekarang adalah Alexander Blackwood. Dan aku tidak akan menolak kesempatan kedua ini.”

Sebelum Emily sempat bereaksi, Alexander menangkap pinggangnya dan menariknya rapat.

Emily menahan napas, tubuhnya kaku. “Lepaskan aku.”

“Tidak.”

Mata mereka bertemu, penuh gejolak. Alexander menunduk dan bibirnya menempel keras pada bibir Emily. Ciuman itu kasar, penuh tuntutan, seolah ingin menegaskan kepemilikan. Emily terkejut, tangannya mendorong dada Alexander. Namun semakin ia mendorong, semakin kencang pria itu menekannya.

“A—Alexander… jangan…” gumam Emily di sela ciuman, napasnya tersengal.

Tapi Alexander tidak memberi celah. Bibirnya menyapu bibir Emily, panas dan mendesak. Lidahnya memaksa masuk, menuntut, mendominasi. Emily berusaha menolak, tapi tubuhnya bergetar hebat—antara ingin kabur dan ingin menyerah.

Tangannya mengepal di dada Alexander, lalu tanpa sadar melonggar, seakan kekuatannya menguap.

Alexander menarik wajahnya sedikit, hanya cukup untuk menatap Emily yang terengah, bibirnya memerah akibat ciuman barusan. “Kau merasakan itu, bukan? Aku satu-satunya yang bisa membuatmu seperti ini.”

Emily menggeleng, wajahnya berapi-api, entah karena marah atau malu. “Itu… itu hanya ilusi. Kau memaksaku.”

Alexander menyeringai samar, tapi matanya menggelap, ada rasa bersalah yang menyelinap di balik sorotannya. Untuk sepersekian detik, genggamannya melunak—seolah ia hendak melepaskan Emily. Namun, obsesi yang selama ini dipendam kembali mengambil alih.

Tangannya merayap dari pinggang Emily ke punggung bawahnya, menariknya makin rapat. Tubuh mereka menempel, tak ada ruang tersisa di antaranya. Emily merasakan panas tubuh Alexander menembus tipisnya kain gaun. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar.

“Lepaskan aku…” suaranya hampir hanya berupa desahan.

“Tidak,” jawab Alexander singkat, lirih tapi tegas. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk ini.”

Tangannya menahan tengkuk Emily, menundukkan wajahnya lagi. Ciuman kedua menghantam lebih panas—tak hanya dominasi, tapi juga ketidakstabilan. Alexander menciumi bibir Emily, rahangnya, bahkan kulit sensitif di bawah telinganya. Emily meringis, tubuhnya melawan tapi juga membalas dengan gemetar.

“Berhenti…” suaranya terputus-putus, meski jarinya justru menggenggam jas Alexander erat.

Alexander menahan diri sejenak, napasnya berat, dadanya naik-turun cepat. “Kalau aku berhenti… aku takut kau akan lenyap lagi dariku.”

Emily membeku. Kata-kata itu menusuk, membawa kembali memori SMA, saat Alexander berdiri dengan wajah penuh luka setelah ditolak berkali-kali. Ia masih melihat bocah itu di balik mata dinginnya sekarang—bocah yang dulu ia tolak tanpa memikirkan hatinya.

Perasaan bersalah menusuk Emily, membuatnya tak lagi bisa berkata-kata.

Alexander memanfaatkan keheningan itu. Ia menunduk lagi, kali ini ciumannya lebih dalam, lebih panas, lidahnya melilit tanpa ampun. Emily mendesah tertahan, merasakan dunia berputar. Gaun pengantin yang indah itu seakan jadi penjara sekaligus tameng yang rapuh.

Tangannya akhirnya terangkat, bukan lagi untuk mendorong, tapi setengah sadar menempel di bahu Alexander.

Alexander berhenti hanya untuk menatap wajah Emily, matanya membara, bibirnya basah. “Lihat dirimu… kau bisa membenciku sekeras yang kau mau, tapi tubuhmu menyerah.”

Emily terdiam, hatinya berkecamuk. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak tidak, tapi bibirnya hanya bergetar tanpa suara.

Dalam dirinya, benci dan gairah saling bertarung, membuatnya goyah.

Alexander tahu itu. Ia tahu ia sedang menyalakan api berbahaya, tapi ia tidak peduli. Hatinya bersalah—ya. Tapi hasratnya untuk memiliki Emily sepenuhnya jauh lebih besar daripada rasa bersalah itu.

Ia kembali mencium Emily, kali ini lebih perlahan, tapi tetap menuntut. Satu tangannya tetap di pinggang Emily, sementara yang lain naik, menelusuri garis punggung gaunnya. Emily mendesah panjang, tubuhnya gemetar hebat.

“Alex…” panggilnya lirih, antara permohonan dan penolakan.

Nama itu—bukan Alexander, tapi Alex—membuat pria itu terhenti sesaat. Napasnya terengah, matanya bergetar. Itu pertama kalinya Emily menyebut namanya seperti dulu, dengan kelembutan yang sama.

Sekejap, Alexander hampir menyerah. Hampir melepaskan Emily, hampir mundur.

Tapi ia menggertakkan rahang, menyingkirkan rasa bersalahnya, lalu kembali menunduk. “Jangan panggil aku Alex. Dia sudah mati sejak kau menolak aku. Yang ada di hadapanmu sekarang adalah Alexander Blackwood—dan kau akan menjadi milikku, sepenuhnya.”

Emily terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa terjebak antara dua dunia: masa lalu yang penuh luka, dan masa kini yang penuh gairah gelap.

Dan saat Alexander kembali menutup jarak, Emily tahu—ini baru permulaan dari rantai yang akan mengikat mereka berdua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

    Suara Victoria memecah keheningan katedral. Dinding tinggi yang dipenuhi kaca patri memantulkan cahaya pagi, tapi suasananya berubah dingin, penuh bisikan. Setiap tamu menoleh, mata mereka bergeser dari pengantin pria ke wanita yang berani mengacaukan upacara sakral. Emily berdiri kaku di samping Alex, jemarinya bergetar dalam genggaman tangannya. Gaun putih yang semula membuatnya anggun kini terasa seperti belenggu. Apa yang dia maksud? Apa rahasia yang Alex sembunyikan dariku? Victoria melangkah maju, gaun merah darahnya menyapu lantai marmer dengan suara mendesis. Senyumnya tipis, penuh ejekan. “Alex, kau pikir bisa berdiri di sini, berpura-pura suci, sementara aku—wanita yang pernah kau janjikan hidup bersama—kau buang begitu saja?” Bisikan tamu berubah menjadi riuh rendah. Beberapa bahkan berdiri, mencoba melihat lebih dekat. Emily menundukkan wajah, dadanya sesak. Alexander tidak goyah. Sorot matanya tetap dingin, rahangnya terkatup rapat. Ketika ia akhirnya membuka mulut,

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 05: Janji-Janji yang terucap

    Matahari pagi menembus tirai kamar dengan cahaya keemasan yang menusuk mata. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuh seakan tak siap menghadapi kenyataan. Hari ini—hari pernikahannya dengan Alexander Blackwood.Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah pucat, mata sembab akibat tangis semalaman. “Aku terlihat… seperti tahanan,” gumamnya lirih, bibirnya bergetar.Victoria sempat datang menemuinya sewaktu lebih pagi, membawa gaun putih yang telah dipersiapkan keluarga Carter. “Kau harus terlihat sempurna, Emily. Dunia akan melihatmu berdiri di samping Alexander.” Kalimat itu masih terngiang di kepalanya, seperti perintah tanpa pilihan.Emily menyentuh gaun itu dengan jemari gemetar. Benang-benang renda seolah berubah menjadi rantai yang membelenggunya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Aku dan Alex… kami pernah dekat. Dia mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Semua ini akan baik-baik saja.Namun pikirannya menolak. Hatinya menjerit. Ia tahu Alexa

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 04: Bayangan Masa Lalu

    Emily menatap wanita di depannya dengan ngeri. Nama itu—Victoria Hale—bergaung di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Mantan tunangan Alexander. Ia tak pernah mendengar Alexander menyebut nama itu. Tidak sekali pun dalam seluruh percakapan dingin mereka sejak kontrak pernikahan ditandatangani. Alexander seolah tak memiliki masa lalu, tak memiliki kehidupan sebelum kekuasaan dan obsesi. Dan kini, di depan matanya, masa lalu itu berdiri dengan senyum getir. Emily menelan ludah. “Kenapa… kenapa kau di sini?” suaranya serak, hampir berbisik. Victoria melangkah masuk tanpa diundang, gerakannya penuh percaya diri. “Karena kau berhak tahu siapa sebenarnya pria yang akan kau nikahi besok.” Kata-kata itu menusuk Emily. Ia menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menatap tamunya dengan tatapan penuh waspada. “Apa maksudmu?” Victoria duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Gerakannya elegan, tapi sorot matanya keras. “Alexander tidak pernah berubah. Dia hanya semakin pa

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 03: Malam Terakhir

    Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?”Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.”Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi.Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perla

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 02: Percikan

    Ruang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, matanya kosong.Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai.Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut.“Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya.Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 01: Mimpi buruk

    "Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily." Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. ---Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter.Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada ap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status