LOGINRuang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, kenyataannya berkata lain. Matanya, yang seharusnya menampilkan binar kehidupan justru menatap kosong pantulan dirinya dalam balutan indah Gaun pernikahan itu.
Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai. Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut. “Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya. Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya. Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya masuk ke ruang fitting wanita.” Alexander mendekat perlahan. Tatapan tajamnya menyapu tubuh Emily dari atas ke bawah, membuat gadis itu menegang. “Aku sudah membeli gaun ini, butik ini, bahkan momen ini. Kau pikir ada sesuatu di sini yang bukan milikku?” Kata-katanya menusuk. Emily ingin membalas, tapi bibirnya kelu. Alexander mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. Ia mengangkat dagu Emily dengan jemarinya, memaksa gadis itu menatapnya. “Kau tampak seperti ratu yang siap ditaklukkan. Begitu cantik, begitu pantas dimiliki. Tersenyumlah, seperti yang akan kau lakukan setiap hari setelah pernikahan ini” Emily menepis tangannya dengan cepat, napasnya memburu. “Aku tidak menikah denganmu karena cinta. Ingat itu, Alex.” Nama itu—Alex—membuat sorot mata Alexander membeku sesaat. Namun dengan cepat ia menutupi keterkejutannya dengan senyum dingin. “Aku tahu. Dan aku juga ingat kau menikah denganku, karena kau butuh uangku untuk menyelamatkan bisnis keluargamu.” Alex menatap dalam Emily yang mematung. “Tersenyum tidak akan membunuhmu, benar bukan?” Emily masih terdiam, tak bergeming, pun tak menuruti permintaan Alex untuk memberinya senyuman. Bagaimana ia bisa tersenyum dalam keadaan terpaksa? Alex masih menatap Emily, menelusuri setiap lekuk wajah indah di depannya yang dulu pernah ia puja. Perasaan itu, sudah lama ia coba pendam, dan mungkin saja sudah terpendam bersama peluh keringat yang ia keluarkan untuk membangun semua yang ia punya sekarang. Namu, satu headline berita yang mengabarkan Redford Corp di ambang kehancuran, rasa itu menyeruak keluar perlahan-lahan, bercampur-aduk dengan rasa sakit hati yang ia rasakan. Keinginan yang dalam, serta dendam, melahirkan buncahan rasa yang kelam. Alex menginginkan nya, Emily dan Kekuasaan, ditangannya. Maka tanpa aba-aba, Alex menangkap pinggang Emily, dan menariknya merapat ke tubuhnya. Emily menahan napas, tubuhnya kaku. “Lepaskan aku.” “Tidak.” Mata mereka bertemu, penuh gejolak. Alexander menunduk dan bibirnya menempel keras pada bibir Emily. Ciuman itu kasar, penuh tuntutan, seolah ingin menegaskan kepemilikan. Emily terkejut, tangannya mendorong dada Alexander. Namun semakin ia mendorong, semakin kencang pria itu menekannya. “A—Alexander… jangan…” gumam Emily di sela ciuman, napasnya tersengal. Tapi Alexander tidak memberi celah. Bibirnya menyapu bibir Emily, panas dan mendesak. Lidahnya memaksa masuk, menuntut, mendominasi. Emily berusaha menolak, tapi tubuhnya bergetar hebat—antara ingin kabur dan ingin menyerah. Tangannya mengepal di dada Alexander, lalu tanpa sadar melonggar, seakan kekuatannya menguap. Alexander menarik wajahnya sedikit, hanya cukup untuk menatap Emily yang terengah, bibirnya memerah akibat ciuman barusan. “Kau merasakan itu, bukan? Aku satu-satunya yang bisa membuatmu seperti ini.” Emily menggeleng, wajahnya berapi-api, entah karena marah atau malu. “Itu… itu hanya ilusi. Kau memaksaku.” Alexander menyeringai samar, tapi matanya menggelap, ada rasa bersalah yang menyelinap di balik sorotannya. Untuk sepersekian detik, genggamannya melunak—seolah ia hendak melepaskan Emily. Namun, obsesi yang selama ini dipendam kembali mengambil alih. Tangannya merayap dari pinggang Emily ke punggung bawahnya, menariknya makin rapat. Tubuh mereka menempel, tak ada ruang tersisa di antaranya. Emily merasakan panas tubuh Alexander menembus tipisnya kain gaun. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar. “Lepaskan aku…” suaranya hampir hanya berupa desahan. “Tidak,” jawab Alexander singkat, lirih tapi tegas. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk ini.” Tangannya menahan tengkuk Emily, menundukkan wajahnya lagi. Ciuman kedua menghantam lebih panas—tak hanya dominasi, tapi juga ketidakstabilan. Alexander menciumi bibir Emily, rahangnya, bahkan kulit sensitif di bawah telinganya. Emily meringis, tubuhnya melawan tapi juga membalas dengan gemetar. “Berhenti…” suaranya terputus-putus, meski jarinya justru menggenggam jas Alexander erat. Alexander menahan diri sejenak, napasnya berat, dadanya naik-turun cepat. “Kalau aku berhenti… aku takut kau akan lenyap lagi dariku.” Emily membeku. Kata-kata itu menusuk, membawa kembali memori SMA, saat Alexander berdiri dengan wajah penuh luka setelah ditolak berkali-kali. Ia masih melihat bocah itu di balik mata dinginnya sekarang—bocah yang dulu ia tolak tanpa memikirkan hatinya. Perasaan bersalah menusuk Emily, membuatnya tak lagi bisa berkata-kata. Alexander memanfaatkan keheningan itu. Ia menunduk lagi, kali ini ciumannya lebih dalam, lebih panas, lidahnya melilit tanpa ampun. Emily mendesah tertahan, merasakan dunia berputar. Gaun pengantin yang indah itu seakan jadi penjara sekaligus tameng yang rapuh. Tangannya akhirnya terangkat, bukan lagi untuk mendorong, tapi setengah sadar menempel di bahu Alexander. Alexander berhenti hanya untuk menatap wajah Emily, matanya membara, bibirnya basah. “Lihat dirimu… kau bisa membenciku sekeras yang kau mau, tapi tubuhmu menyerah.” Emily terdiam, hatinya berkecamuk. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak tidak, tapi bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Dalam dirinya, benci dan gairah saling bertarung, membuatnya goyah. Alexander tahu itu. Ia tahu ia sedang menyalakan api berbahaya, tapi ia tidak peduli. Hatinya bersalah—ya. Tapi hasratnya untuk memiliki Emily sepenuhnya jauh lebih besar daripada rasa bersalah itu. Ia kembali mencium Emily, kali ini lebih perlahan, tapi tetap menuntut. Satu tangannya tetap di pinggang Emily, sementara yang lain naik, menelusuri garis punggung gaunnya. Emily mendesah panjang, tubuhnya gemetar hebat. “Alex…” panggilnya lirih, antara permohonan dan penolakan. Nama itu—bukan Alexander, tapi Alex—membuat pria itu terhenti sesaat. Napasnya terengah, matanya bergetar. Itu pertama kalinya Emily menyebut namanya seperti dulu, dengan kelembutan yang sama. Sekejap, Alexander hampir menyerah. Hampir melepaskan Emily, hampir mundur. Tapi ia menggertakkan rahang, menyingkirkan rasa bersalahnya, lalu kembali menunduk. “Jangan panggil aku Alex. Dia sudah mati sejak kau menolak aku. Yang ada di hadapanmu sekarang adalah Alexander Blackwood—dan kau akan menjadi milikku, sepenuhnya.” Emily terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasa terjebak antara dua dunia: masa lalu yang penuh luka, dan masa kini yang penuh gairah gelap. Dan saat Alexander kembali menutup jarak, Emily tahu—ini baru permulaan dari rantai yang akan mengikat mereka berdua.Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka
Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu
Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya
Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti
Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi







