Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.
“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?” Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.” Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi. Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perlahan lenyap di udara. Emily tahu, diamnya ayah bukan berarti setuju, melainkan tanda menyerah pada situasi. Dan diam itu terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata. Emily berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit kasar. “Kalian bahkan tidak tahu apa yang kalian minta dariku. Alexander bukan lagi orang yang sama. Dia bukan Alex yang dulu…” Kalimat itu terputus, suaranya bergetar. Sosok Alex muda melintas di ingatannya—remaja tinggi kurus dengan senyum canggung yang dulu menatapnya penuh rasa kagum. Alex yang pernah dengan suara lirih berkata: “Aku menyukaimu, Emily. Bukan sebagai sahabat, tapi lebih.” Dan ia… menertawakannya. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berulang. Penolakan demi penolakan, sampai Alex berhenti tersenyum padanya. Sampai sorot matanya membeku. Sekarang, setiap tatapan Alexander Blackwood terasa seperti rantai besi di sekitar lehernya. Dan semua itu adalah akibat dari dirinya sendiri. Kesalahan yang ia buat bertahun-tahun lalu kini menuntut balas. Emily berlari ke kamarnya sebelum ibunya sempat menambahkan argumen lagi. Ia menutup pintu, punggungnya menempel pada kayu yang dingin, dan tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan. Cermin besar di sudut kamar memantulkan sosoknya. Wajah pucat, lingkar hitam di bawah mata, bahu gemetar. Ia hampir tak mengenali diri sendiri. Apakah ini wajah seorang pengantin? Atau wajah seorang tahanan yang akan dieksekusi besok pagi? Tangannya gemetar saat menyentuh permukaan kaca. “Aku sendiri yang menghancurkan hidupku… aku sendiri yang menghancurkan hidupnya…” bisiknya. Ia teringat jelas tatapan Alexander sore itu di ruang kontrak. Dingin. Tersenyum tipis, tapi penuh obsesi. Tatapan yang seakan berkata: Sekarang giliranmu yang tak bisa lari, Emily. Air mata mulai jatuh tanpa bisa dibendung. Emily meraih buku diari di meja, membukanya pada halaman kosong, dan menulis terburu-buru: Jika aku menikah dengannya besok, maka seluruh hidupku akan menjadi penebusan. Penebusan untuk setiap luka yang kuberi padanya di masa lalu. Dan mungkin, itulah hukuman paling adil bagiku. Tangannya berhenti. Ia menatap kalimat itu lama sekali, lalu merobek halamannya dengan kasar. Kertas itu diremas, dilempar ke lantai. Tidak… ini bukan hukuman adil. Ini penyiksaan. Detik demi detik berlalu. Emily duduk di lantai, memeluk lutut, merasa tercekik oleh pikirannya sendiri. Rasa takut dan rasa bersalah berpadu menjadi racun yang membuat napasnya berat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang entah ke mana. Ketukan di pintu mengagetkannya. Emily buru-buru menghapus air mata. “Emily?” suara ibunya, dingin dan tak terbantahkan. “Besok pagi kau harus terlihat sempurna. Jangan membuat Alexander menyesal dengan pilihannya.” Dengan gemetar, Emily berdiri. Ia membuka pintu, menatap ibunya dengan mata merah dan suara serak. “Jadi aku hanya pion, Bu? Aku dikorbankan demi keluarga? Apa itu arti menjadi putri Carter?” Ibunya terdiam. Helaan napas berat keluar dari bibir wanita paruh baya itu. “Kadang, kita harus mengorbankan diri untuk orang lain. Kau akan mengerti nanti.” Pintu ditutup kembali, menyisakan Emily sendirian. Kata-kata itu menusuk hatinya, membuat ia ingin menjerit. Ia mendekati meja rias, menatap wajahnya di cermin. Bayangan seorang perempuan rapuh menatap balik. Matanya bengkak, pipinya pucat, bibirnya bergetar. “Apa ini aku? Apa ini hidup yang kuinginkan?” gumamnya lirih. --- Bayangan masa lalu menyeruak. Suara tawa di koridor sekolah, bau buku baru di perpustakaan, senyum Alexander saat menyerahkan selembar kertas kecil bertuliskan: “Aku menyukaimu.” Emily mengingat bagaimana ia tertawa waktu itu. “Alex, kau sahabatku. Jangan konyol. Kau bukan tipeku.” Senyum Alexander retak, tapi ia tetap tersenyum. Dan hari-hari berikutnya, ia terus mencoba, mengajak Emily makan siang, menawari payung saat hujan, bahkan diam-diam menaruh cokelat di lacinya. Namun Emily, dengan keangkuhan remaja yang merasa dunia ada di tangannya, menolak semuanya. “Aku tidak bisa. Kau terlalu manis, Alex. Aku butuh pria yang lebih… menantang.” Sekarang, kata-kata itu kembali menghantamnya. Menantang? Apa hasil dari pilihannya? Ia mendapat Alexander yang menantang, ya, tapi juga kejam. Bukan Alex yang ia kenal, melainkan bayangan gelap yang tercipta dari luka yang ia torehkan sendiri. Air mata mengalir deras. Emily memeluk dirinya sendiri di depan cermin, tubuhnya bergetar. “Ini salahku… semua salahku. Aku yang membuatnya seperti ini.” --- Jam berdetak, jarum panjang melangkah seakan mempercepat langkah menuju hari besok. Emily menyalakan lilin di meja, mencoba menulis diari—kebiasaannya sejak kecil. Tangannya gemetar saat pena menyentuh kertas. Besok aku akan menikah dengan pria yang pernah kucintai sebagai sahabat, lalu ku hancurkan sebagai lelaki. Kini ia kembali untuk menghancurkan ku. Mungkin ini karmaku. Mungkin ini balasannya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa lari lagi. Ia menjatuhkan pena, kertasnya basah oleh air mata. Dengan frustasi ia merobek halaman itu, melemparkannya ke lantai. Tubuhnya ambruk ke lantai kayu, terisak tanpa suara. --- Suasana malam semakin pekat. Dari jendela, langit gelap tak berbintang, seolah ikut berduka. Emily berdiri di depan kaca jendela, menatap bayangannya sendiri. Ia teringat Alexander yang dulu selalu ada di sisinya, melindunginya dari ejekan teman-teman, menemaninya belajar hingga larut. “Kenapa aku begitu bodoh…” bisiknya. “Kenapa aku tidak pernah melihatmu saat itu, Alex?” Setiap detik semakin menusuk hatinya. Ia merasa napasnya pendek, seperti dicekik oleh tali tak kasat mata. Keputusasaan menyelimutinya. Seandainya waktu bisa berputar, ia akan memilih berbeda. Tapi waktu tidak pernah mundur. Dan besok, semua akan terlambat. — Jam menunjukkan hampir tengah malam ketika ketukan lain terdengar. Lebih pelan, lebih hati-hati. Emily membuka pintu dengan wajah letih. Di sana berdiri seorang wanita muda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Cantik, elegan, dengan rambut pirang tergerai rapi dan gaun sederhana tapi berkelas. Tatapannya tajam, seakan bisa menembus ke dalam jiwa Emily. “Emily Carter?” tanyanya dengan suara lembut namun tegas. Emily mengangguk, jantungnya berdegup keras. “Ya… siapa Anda?” Wanita itu tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh kepahitan. “Namaku Victoria Hale. Aku… mantan tunangan Alexander Blackwood.” Waktu berhenti. Suasana kamar seketika membeku. Emily terdiam, tubuhnya membatu. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menghancurkan sisa-sisa ketenangan yang rapuh. Alexander punya masa lalu. Masa lalu yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat. Dan malam sebelum pernikahannya, masa lalu itu datang mengetuk pintu Emily.Suara Victoria memecah keheningan katedral. Dinding tinggi yang dipenuhi kaca patri memantulkan cahaya pagi, tapi suasananya berubah dingin, penuh bisikan. Setiap tamu menoleh, mata mereka bergeser dari pengantin pria ke wanita yang berani mengacaukan upacara sakral. Emily berdiri kaku di samping Alex, jemarinya bergetar dalam genggaman tangannya. Gaun putih yang semula membuatnya anggun kini terasa seperti belenggu. Apa yang dia maksud? Apa rahasia yang Alex sembunyikan dariku? Victoria melangkah maju, gaun merah darahnya menyapu lantai marmer dengan suara mendesis. Senyumnya tipis, penuh ejekan. “Alex, kau pikir bisa berdiri di sini, berpura-pura suci, sementara aku—wanita yang pernah kau janjikan hidup bersama—kau buang begitu saja?” Bisikan tamu berubah menjadi riuh rendah. Beberapa bahkan berdiri, mencoba melihat lebih dekat. Emily menundukkan wajah, dadanya sesak. Alexander tidak goyah. Sorot matanya tetap dingin, rahangnya terkatup rapat. Ketika ia akhirnya membuka mulut,
Matahari pagi menembus tirai kamar dengan cahaya keemasan yang menusuk mata. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuh seakan tak siap menghadapi kenyataan. Hari ini—hari pernikahannya dengan Alexander Blackwood.Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah pucat, mata sembab akibat tangis semalaman. “Aku terlihat… seperti tahanan,” gumamnya lirih, bibirnya bergetar.Victoria sempat datang menemuinya sewaktu lebih pagi, membawa gaun putih yang telah dipersiapkan keluarga Carter. “Kau harus terlihat sempurna, Emily. Dunia akan melihatmu berdiri di samping Alexander.” Kalimat itu masih terngiang di kepalanya, seperti perintah tanpa pilihan.Emily menyentuh gaun itu dengan jemari gemetar. Benang-benang renda seolah berubah menjadi rantai yang membelenggunya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Aku dan Alex… kami pernah dekat. Dia mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Semua ini akan baik-baik saja.Namun pikirannya menolak. Hatinya menjerit. Ia tahu Alexa
Emily menatap wanita di depannya dengan ngeri. Nama itu—Victoria Hale—bergaung di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Mantan tunangan Alexander. Ia tak pernah mendengar Alexander menyebut nama itu. Tidak sekali pun dalam seluruh percakapan dingin mereka sejak kontrak pernikahan ditandatangani. Alexander seolah tak memiliki masa lalu, tak memiliki kehidupan sebelum kekuasaan dan obsesi. Dan kini, di depan matanya, masa lalu itu berdiri dengan senyum getir. Emily menelan ludah. “Kenapa… kenapa kau di sini?” suaranya serak, hampir berbisik. Victoria melangkah masuk tanpa diundang, gerakannya penuh percaya diri. “Karena kau berhak tahu siapa sebenarnya pria yang akan kau nikahi besok.” Kata-kata itu menusuk Emily. Ia menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menatap tamunya dengan tatapan penuh waspada. “Apa maksudmu?” Victoria duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Gerakannya elegan, tapi sorot matanya keras. “Alexander tidak pernah berubah. Dia hanya semakin pa
Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?”Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.”Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi.Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perla
Ruang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, matanya kosong.Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai.Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut.“Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya.Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya
"Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily." Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. ---Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter.Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada ap