Home / Romansa / Penjara Cinta CEO Dingin / Bab 03: Malam Terakhir

Share

Bab 03: Malam Terakhir

Author: Bon Johnham
last update Last Updated: 2025-09-01 13:19:13

Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.

“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?”

Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.”

Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi.

Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perlahan lenyap di udara. Emily tahu, diamnya ayah bukan berarti setuju, melainkan tanda menyerah pada situasi. Dan diam itu terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata.

Emily berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit kasar. “Kalian bahkan tidak tahu apa yang kalian minta dariku. Alexander bukan lagi orang yang sama. Dia bukan Alex yang dulu…”

Kalimat itu terputus, suaranya bergetar. Sosok Alex muda melintas di ingatannya—remaja tinggi kurus dengan senyum canggung yang dulu menatapnya penuh rasa kagum. Alex yang pernah dengan suara lirih berkata: “Aku menyukaimu, Emily. Bukan sebagai sahabat, tapi lebih.”

Dan ia… menertawakannya.

Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berulang. Penolakan demi penolakan, sampai Alex berhenti tersenyum padanya. Sampai sorot matanya membeku.

Sekarang, setiap tatapan Alexander Blackwood terasa seperti rantai besi di sekitar lehernya. Dan semua itu adalah akibat dari dirinya sendiri. Kesalahan yang ia buat bertahun-tahun lalu kini menuntut balas.

Emily berlari ke kamarnya sebelum ibunya sempat menambahkan argumen lagi. Ia menutup pintu, punggungnya menempel pada kayu yang dingin, dan tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan.

Cermin besar di sudut kamar memantulkan sosoknya. Wajah pucat, lingkar hitam di bawah mata, bahu gemetar. Ia hampir tak mengenali diri sendiri. Apakah ini wajah seorang pengantin? Atau wajah seorang tahanan yang akan dieksekusi besok pagi?

Tangannya gemetar saat menyentuh permukaan kaca. “Aku sendiri yang menghancurkan hidupku… aku sendiri yang menghancurkan hidupnya…” bisiknya.

Ia teringat jelas tatapan Alexander sore itu di ruang kontrak. Dingin. Tersenyum tipis, tapi penuh obsesi. Tatapan yang seakan berkata: Sekarang giliranmu yang tak bisa lari, Emily.

Air mata mulai jatuh tanpa bisa dibendung. Emily meraih buku diari di meja, membukanya pada halaman kosong, dan menulis terburu-buru:

Jika aku menikah dengannya besok, maka seluruh hidupku akan menjadi penebusan. Penebusan untuk setiap luka yang kuberi padanya di masa lalu.

Dan mungkin, itulah hukuman paling adil bagiku.

Tangannya berhenti. Ia menatap kalimat itu lama sekali, lalu merobek halamannya dengan kasar. Kertas itu diremas, dilempar ke lantai. Tidak… ini bukan hukuman adil. Ini penyiksaan.

Detik demi detik berlalu. Emily duduk di lantai, memeluk lutut, merasa tercekik oleh pikirannya sendiri. Rasa takut dan rasa bersalah berpadu menjadi racun yang membuat napasnya berat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang entah ke mana.

Ketukan di pintu mengagetkannya. Emily buru-buru menghapus air mata.

“Emily?” suara ibunya, dingin dan tak terbantahkan. “Besok pagi kau harus terlihat sempurna. Jangan membuat Alexander menyesal dengan pilihannya.”

Dengan gemetar, Emily berdiri. Ia membuka pintu, menatap ibunya dengan mata merah dan suara serak. “Jadi aku hanya pion, Bu? Aku dikorbankan demi keluarga? Apa itu arti menjadi putri Carter?”

Ibunya terdiam. Helaan napas berat keluar dari bibir wanita paruh baya itu. “Kadang, kita harus mengorbankan diri untuk orang lain. Kau akan mengerti nanti.”

Pintu ditutup kembali, menyisakan Emily sendirian. Kata-kata itu menusuk hatinya, membuat ia ingin menjerit. Ia mendekati meja rias, menatap wajahnya di cermin. Bayangan seorang perempuan rapuh menatap balik. Matanya bengkak, pipinya pucat, bibirnya bergetar. “Apa ini aku? Apa ini hidup yang kuinginkan?” gumamnya lirih.

Bayangan masa lalu menyeruak. Suara tawa di koridor sekolah, bau buku baru di perpustakaan, senyum Alexander saat menyerahkan selembar kertas kecil bertuliskan: “Aku menyukaimu.”

Emily mengingat bagaimana ia tertawa waktu itu. “Alex, kau sahabatku. Jangan konyol. Kau bukan tipeku.”

Senyum Alexander retak, tapi ia tetap tersenyum. Dan hari-hari berikutnya, ia terus mencoba, mengajak Emily makan siang, menawari payung saat hujan, bahkan diam-diam menaruh cokelat di lacinya.

Namun Emily, dengan keangkuhan remaja yang merasa dunia ada di tangannya, menolak semuanya. “Aku tidak bisa. Kau terlalu manis, Alex. Aku butuh pria yang lebih… menantang.”

Sekarang, kata-kata itu kembali menghantamnya. Menantang? Apa hasil dari pilihannya? Ia mendapat Alexander yang menantang, dan kejam. Bukan Alex yang ia kenal hangat, melainkan bayangan gelap… yang tercipta dari luka yang ia torehkan sendiri.

Air mata mengalir deras. Emily memeluk dirinya sendiri di depan cermin, tubuhnya bergetar. “Ini salahku… semua salahku. Aku yang membuatnya seperti ini.”

---

Jam berdetak, jarum panjang melangkah seakan mempercepat langkah menuju hari besok. Emily menyalakan lilin di meja, mencoba menulis diari—kebiasaannya sejak kecil. Tangannya gemetar saat pena menyentuh kertas.

Besok aku akan menikah dengan pria yang pernah kucintai sebagai sahabat, lalu ku hancurkan sebagai lelaki. Kini ia kembali untuk menghancurkan ku. Mungkin ini karmaku. Mungkin ini balasannya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa lari lagi.

Ia menjatuhkan pena, kertasnya basah oleh air mata. Dengan frustasi ia merobek halaman itu, melemparkannya ke lantai. Tubuhnya ambruk ke lantai kayu, terisak tanpa suara.

Suasana malam semakin pekat. Dari jendela, langit gelap tak berbintang, seolah ikut berduka. Emily berdiri di depan kaca jendela, menatap bayangannya sendiri. Ia teringat Alexander yang dulu selalu ada di sisinya, melindunginya dari ejekan teman-teman, menemaninya belajar hingga larut.

“Kenapa aku begitu bodoh…” bisiknya. “Kenapa aku tidak pernah melihatmu saat itu, Alex?”

Setiap detik semakin menusuk hatinya. Ia merasa napasnya pendek, seperti dicekik oleh tali tak kasat mata. Keputusasaan menyelimutinya. Seandainya waktu bisa berputar, ia akan memilih berbeda. Tapi waktu tidak pernah mundur. Dan besok, semua akan terlambat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 09: Rumah baru, ancaman baru.

    Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 08: Bisikan kota

    Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 07: Bayangan di balik janji

    Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

    Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 05: Janji-Janji yang terucap

    Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 04: Bayangan Masa Lalu

    Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status