Home / Fantasi / Penyihir Terhebat di Dunia Lain / Bab 2. White Light Ball

Share

Bab 2. White Light Ball

Author: Aniha
last update Last Updated: 2023-06-02 13:14:53

“Sebelum kau menggunakan sihir, kau harus tahu dua hal, yaitu mana dan power,” ucap Camaro.

“Hm hm.” Azura menganggukkan kepala sambil menyantap semangkok mi yang terhidang di batok kelapa.

“Ketika kau menggunakan sihir, kau harus pertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang dipakai,” ujar Camaro.

“Slurp.” Azura hanya menganggukkan kepala sambil menyeruput kuah mi.

Gubrak!

Tiba-tiba sebuah tendangan mengarah kepada Azura, hingga membuatnya terjungkal.

“Hei Camaro, apa yang kau lakukan?” tanya Azura dengan penuh emosi.

“Kau! Mengapa kau hanya sibuk makan? Padahal aku sedang memberi pelajaran kepadamu!” jawab Camaro.

“Y-ya, aku lapar,” sahut Azura.

“Lapar, lapar. Seharusnya kau pikir, ketika aku menjelaskan, berhenti dulu makannya!” seru Camaro.

“Hah.”

Azura menghela napasnya. Dia kemudian duduk dan menatap Camaro dengan serius.

“Baiklah, kali ini aku akan memperhatikanmu,” ucap Azura.

Camaro hanya terdiam menatap Azura dengan mata membulat sempurna.

‘Sepertinya dia memang kesal kepadaku,’ kata Azura di dalam hati.

“Ya, maafkan aku,” gumam Azura.

“Apa? Kau berkata apa? Aku tidak mendengar,” sahut Camaro.

“Maafkan aku!” teriak Azura.

“Aku tidak akan memaafkanmu,” kata Camaro.

“Heh? Mengapa kau tidak memaafkan aku? Mengapa kau begitu sombong?”

“Aku tidak sombong, hanya saja aku tidak suka caramu minta maaf.”

“Baiklah, kau mau aku minta maaf seperti apa?” Azura berusaha mengalah kepada Camaro.

“Hihi, kau harus bilang, paduka Camaro yang tampan, tolong maafkan aku.” Gumam Camaro sambil menutup mulut dengan sayapnya.

“Heleh, aku tidak mau!” tolak Azura.

“Ya sudah kalau tidak mau, aku tidak akan mengajarkanmu sihir lagi!” balas Camaro.

Suasana seketika hening.

‘Hm, kalau aku tidak minta maaf kepada burung gemuk itu, dia tidak akan mengajarkanku sihir. Kalau dia tidak mengajarkanku sihir, aku tidak bisa melawan pasukan iblis,’ pikir Azura di dalam hati.

Azura melirik Camaro yang masih marah dan membelakanginya.

‘Aku rasa tidak ada salahnya untuk meminta maaf sesuai apa yang dia mau,’ kata Azura di dalam hati.

“Hei Camaro…,” lirih Azura.

“Tidak usah memanggil namaku!” seru Camaro.

“Wahai paduka Camaro yang tampan, aku Azura Amalthea, ingin meminta maaf kepadamu,” kata Azura.

“Tidak mau, kalimatmu masih salah,” sahut Camaro.

Azura menepuk kepalanya dengan penuh kekesalan.

‘Ya ampun, dasar burung menyebalkan,’ umpat Azura di dalam hati.

Azura menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

‘Baik, akan aku coba lagi,’ kata Azura di dalam hati.

“Wahai paduka Camaro yang tampan, tolong maafkan aku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” ujar Azura.

‘Awas saja kalau dia masih belum memaafkanku,’ geram Azura di dalam hati.

“Baiklah, aku akan memaafkanmu.” Ucap Camaro sambil berjalan mendekati Azura.

“Nah gitu dong. Kau jangan marah terus. Nanti bulumu cepat rontok,” ujar Azura.

“Sudah, jangan merayuku. Sekarang kita bahas sihir kembali. Jadi, apakah kau sudah paham apa yang aku jelaskan tadi?” tanya Camaro.

“Sudah. Jadi, saat aku menggunakan sihir, aku harus mempertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang akan terpakai,” jawab Azura.

“Benar. Kau cukup pintar,” puji Camaro.

‘Muehehe, aku memang pintar,’ kata Azura dengan sombong di dalam hati.

“Sekarang bangunlah!” seru Camaro.

Azura pun bangkit dan berdiri.

“Aku akan mengajarkanmu sihir penyerangan tingkat dasar yang pertama. Aku menyebutnya, white light ball,” kata Camaro.

White light ball,” gumam Azura.

“Hal pertama yang harus kau lakukan adalah memfokuskan pandangan ke musuh, lalu pikirkan sihir yang ingin kau hasilkan. Terakhir, baca mantra sihir,” jelas Camaro.

‘Sepertinya mudah,’ kata Azura di dalam hati.

“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball,” Seloroh Camaro sambil mengarahkan sayap putihnya ke pohon besar di depan.

Syu!

Sebuah bola cahaya putih melesat cepat mengenai pohon itu.

Duar!

Ledakan pun terjadi. Batang pohon itu seketika menghitam.

“Lumayan…,” lirih Azura.

“Apa? Kau bilang lumayan? Kau merendahkanku?” tanya Camaro dengan emosi.

“Ya tidak merendahkan juga sih. Kau memang berhasil membuat batang pohon itu hangus, tetapi pohonnya tidak tumbang,” jawab Azura.

“Aku memang tidak berniat menumbangkan pohonnya tahu!” teriak Camaro.

“Oh begitu ya,” gumam Azura.

“Hah, kau benar-benar menyebalkan,” umpat Camaro.

“Untunglah kau menyadarinya.” Ucap Azura sambil mengupil.

“Hei! Kau bisa serius tidak sih?” Camaro semakin naik darah menghadapi Azura.

“Baiklah, aku akan mencoba apa yang kau ajarkan,” kata Azura.

“Memang seharusnya begitu,” sahut Camaro.

Azura menatap tajam pohon di depannya dan berusaha memfokuskan pikirannya.

‘Pikirkan bola cahaya putih,’ kata Azura di dalam hati.

“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball.” Kata Azura sambil mengarahkan kedua tangan ke pohon besar di depannya.

Syu!

Satu bola cahaya putih melesat dengan sangat cepat.

Brak! Brak! Brak! Brak! Brak! Gubrak!

Sihir itu menumbangkan lima pohon besar sekaligus, lalu membakar hangus hingga tidak tersisa.

Syu! Duar!

Setelah menyerang pohon, sihir itu berbelok ke langit dan terjadilah ledakan besar yang membuyarkan awan putih.

Bruk!

Azura seketika terduduk lemas.

“Hei Azura, hidungmu!” teriak Camaro dengan panik.

Terlihat tetesan darah dari kedua lubang hidung Azura.

“Heh?” Bingung Azura sambil menyeka darah yang menetes.

“Ah gawat, gawat! Hidungmu mimisan! Mengapa kau menghasilkan sihir dengan power sebesar itu?” tanya Camaro yang masih terlihat panik.

“Memangnya itu besar ya?” tanya Azura.

“Bodoh! Dasar Azura bodoh! Lihat di sana! Kau membakar habis pohonnya.” Kata Camaro sambil menunjuk ke arah pohon yang telah terbakar hangus.

“Bukannya bagus? Aku bisa menghasilkan sihir yang lebih baik darimu,” ucap Azura.

Plak!

Dengan penuh emosi, Camaro memukul kepala Azura.

“Aw, sakit! Mengapa kau memukulku?” tanya Azura.

“Bodoh! Kau benar-benar bodoh! Aku sudah bilang, ketika kau menggunakan sihir, perhatikan power dan mana,” jawab Camaro.

Azura terdiam sejenak.

Power dan mana?’ tanya Azura di dalam hati.

“Hei Azura, sadarlah!” Seru Camaro sambil menggoyang-goyangkan tubuh Azura.

“Hei Camaro, berhentilah! Aku tidak pingsan,” sahut Azura.

Camaro menatap kedua mata Azura dengan tajam.

“Camaro, jangan menatapku seperti itu!” seru Azura.

“Wajahmu terlihat pucat,” ucap Camaro.

‘Kalau di pikir-pikir, aku memang merasa sangat lemas,’ kata Azura di dalam hati.

“Hah.”

Camaro menghela napas berat dan berjalan menjauhi Azura.

“Hei Azura, apa kau tahu mengapa sekarang kau pucat dan mimisan?” tanya Camaro.

Azura hanya menggelengkan kepalanya.

“Itu semua karena mana-mu hampir terkuras habis,” kata Camaro.

“Habis? Sebentar, memangnya mana yang kau maksud itu seperti apa?” bingung Azura.

“Baiklah, aku coba jelaskan. Mana itu merupakan sumber kekuatan murni yang dimiliki setiap makhluk hidup. Mana berpusat di jantung dan ikut mengalir ber-,” perkataan Camaro seketika terhenti saat munculnya kilatan hijau misterius.

“Heh? Apa itu?” tanya Azura dengan mata yang gemetar.

“Hai.” Sapa seekor burung camar putih dengan pita merah muda sambil tersenyum manis.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 76. Perasaan Bimbang

    "Sudah lama ya kita tidak duduk berdua seperti ini," ucap Azura."Yah kau saja yang terlalu sibuk." Sahut Elenio, lengkap dengan senyum sinisnya."Aku ada tugas misi, mau bagaimana lagi.""Tapi kau hebat, Azura," puji Elenio.Azura lantas menoleh dan menatap Elenio. "Hebat kenapa? Kau bicara apa, Elen?""Iya, kau sangat hebat tau!" Tutur Elenio sambil menganggukkan kepalanya."Mana ada," gumam Azura."Kau hebat, Azura. Aku mohon kau jangan menyangkal itu.""Sekarang, coba jelaskan, aku hebat karena apa?""Banyak hal yang kau lalui. Kau juga hebat bisa mengalahkan banyak iblis," jawab Elenio."Hah." Azura menghela napasnya sejenak.Syuuu.Pepohonan bergoyang diterpa semilir angin."Aku berkali-kali hampir mati. Perutku saja sampai bolong," ucap Azura."Bo-b-b-bolong?!" Elenio terkaget setelah mendengar perkataan Azura.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya bolong, perlu aku tunjukkan?""Mana? Aku mau lihat!""Tidak boleh!" larang Azura."Cih, tadi kau menawarkan.""Aku perem

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 75. Selalu Bertengkar

    "Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut dalam misi itu?" Tanya Azura sambil menatap Pangeran Elzenath dengan tajam."Hola, semua!" Sapa Laurel dari kejauhan yang berhasil memecah suasana."Cih," desis Pangeran Elzenath."Kalian sedang bicara apa? Sepertinya asik sekali?" Tanya Laurel sambil merangkul pundak Pangeran Elzenath."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat!" Decak Pangeran Elzenath sambil mengepalkan kedua tangannya."Loh, emang iya?""Pake nanya lagi!" bentak Pangeran Elzenath."Hue he he, maaf ya. Aku tidak tahu." Sahut Laurel sambil tertawa kecil."Kenapa kalian bekerja sama untuk mencegahku menjalankan misi dari Guru La Gramarye?" tanya Azura dengan tegas."Ho ho ho, misi apa? Memang si Kakek tua itu memberikanmu misi apa sih? Aku saja ti-.""Diam!" potong Azura.Laurel langsung terdiam."Aku tidak ingin basa-basi. Aku butuh kepastian! Mengapa kalian bekerja sama mencegahku menjalankan misi itu? Apa kalian memandangku dengan lemah? Apa menurut kalian, aku tidak mampu men

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 74. Pertemuan yang Batal

    Azura berjalan menyusuri lorong menara sihir yang cukup gelap.'Aku seperti berjalan di film horor,' decak Azura di dalam hati.Syuu. Cletak.Hembusan angin yang kencang, berhasil membuka paksa jendela usang di sisi lorong."Tanpa permisi." Gumam Azura sambil melihat jauh ke luar jendela.Prak. Prak.Langkah kaki perlahan mendekati Azura."Elizabeth, apa kabar?" tanya Azura."Saya sungguh terpukau. Kau menyadari kehadiranku dengan cepat."Azura tersenyum tipis, lalu ia pun berbalik dan menatap Elizabeth."Bukankah kita teman?" seloroh Azura.Elizabeth tersenyum kecil, lalu ia memejamkan matanya beberapa saat."Kau belum menjawab pertanyaanku loh." Ucap Azura sambil berdekap tangan."Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Elizabeth sambil menatap nanar mata Azura."Aku baik. Meskipun beberapa kali berada di ambang kematian." Jawab Azura sambil menatap pemandangan di luar jendela."Syukurlah jika begitu," ujar Elizabeth.Puk. Puk."Jika kau mati, mungkin Guru akan depresi." Sambung El

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 73. Kembali ke Istana

    "Hah, aku lemas sekali." Lirih Azura seraya berjalan dengan lunglai."Maaf, kita tidak bisa masak daging," ucap Laurel.Azura menunjuk Laurel sambil berkata. "Ini semua gara-gara kau!""Hah?" Laurel pun menyanggah dengan mulut yang lebar."Iya! Gara-gara kamu! Kamu sih masak dagingnya lama, jadi keburu ada iblis," ujar Azura."Heleh, bukankah ini semua gara-gara kau?!" Laurel seketika menghentikan langkahnya."Kok aku?!" Azura yang tidak mau kalah, langsung berbalik tanya dengan mata yang membulat sempurna."Iya kamu! Coba saja jika kamu tidak marah-marah dan ngambek selayaknya bocah, kita mungkin sudah membakar daging dan menikmatinya sebelum para iblis itu datang." Decak Laurel sambil bertolak pinggang seperti seorang ayah yang memarahi putrinya."Apa?! Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan sih?! Seenaknya sekali menilai seseorang!""Aku? Menilai? Aku menilai kamu? Hei, aku bukan menilai, tapi aku berbi-."Belum sempat Laurel melanjutkan perkataannya, tiba-tiba sesuatu menimpa

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 72. Perjalanan ke Ibu Kota

    “Hoam, aku tidak mengerti mengapa kau malah mengajakku jalan saat dini hari.” Ujar Azura seraya menguap.“Agar kita cepat sampai ke Ibu Kota Tirakia.” Jelas Laurel yang memimpin jalan.“Mengapa harus cepat-cepat? Santai saja tidak sih?” gerutu Azura.“Kalau sudah sampai mah enak,” sahut Laurel.“Tapi kalau jalan dini hari seperti tadi bisa-bisa kita bertemu iblis.”“Siang hari juga kita bisa bertemu iblis.”“Tapi besar kemungkinan kita bertemu iblis kalau gelap.”Laurel menghentikan langkahnya.Bruk!Azura yang selama ini berjalan mengantuk, seketika menabrak punggung Laurel.“Aduh! Punggungmu keras sekali,” decak Azura.“Lagi pula mengapa kau malah menabrakku? Jika mau memelukku, bilang saja,” sahut Laurel.“Cih, mana ada. Hoam.”Laurel menoleh dan menatap Azura.“Kau sungguh mengantuk?” tanya Laurel dengan khawatir.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Ya sudah, kita beristirahat dulu saja di sini!” Seru Laurel sambil mengarahkan Azura untuk duduk di bawah pohon mangga yang

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 71. Sebuah Surat

    “Baik, kalau begitu saya permisi.” Ucap seorang perempuan berambut pendek seraya pergi.“Siapa itu? Muridmu?” tanya Azura.“Oh, itu?” Tanya balik Laurel sambil menoleh dan menatap Azura.“Iya, memang kau berpikir apa, hah?!” Sahut Azura sambil berdekap tangan.“Dia bukan muridku.” Jelas Laurel sambil tersenyum tipis.“Lalu?”“Nih, dia memberiku sebuah surat ini.” Kata Laurel sambil menyodorkan Azura sebuah amplop putih.“Surat cinta?” ledek Azura.“Kau berpikir apa sih, ha ha ha.”“Yah, lalu apa? Mengapa juga kau malah memberikan surat itu kepadaku?” heran Azura.Laurel langsung meraih tangan Azura dan meletakkan amplop putih itu di atas telapak tangan Azura.“Heh?” Azura semakin bingung dengan sikap Laurel.“Surat itu untukmu.” Kata Laurel sambil berpaling dari pandangan Azura.“Untukku? Untuk apa? Apa sih maksudmu? Tinggal bicara saja, mengapa harus ada surat begini?”“Itu bukan surat dariku,” lirih Laurel.“Heh? Lalu?” Azura menaikkan kedua alisnya.“Itu dari pengawal kerajaan,” uc

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status