Melihat gadis itu telah sadarkan diri di rekaman CCTV dalam ruangan, dokter yang ditugaskan mengurusnya, segera mendatanginya.
"Nona, bagaimana keadaanmu?" tanya dokter sesaat setelah tiba di ruang rawat.Gadis itu menoleh, seorang pria mengenakan seragam dinas dokter dengan stetoskop bergantung di lehernya, berada di sampingnya dengan wajah cemas."Masih rada sakit," jawabnya."Namamu siapa?""Melissa," jawabnya singkat.Tatkala mengingat apa yang sebelumnya terjadi, kepalanya terasa sangat sakit sekali. Melissa menurutnya untuk meringankan rasa sakit."Arghhh?!" desah Melissa."Tenanglah! Jangan memikirkan kejadian itu. Keadaanmu akan lebih buruk lagi," perintah dokter mengusap bahu Melissa."Aku harus pergi. Paman akan menemukanku. Aku nggak boleh tertangkap. Dia jahat, sangat jahat!" teriak Melissa seraya bangun dari berbaring.Sementara sang dokter menahan gerakannya. "Kamu harus tetap di sini! Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kamu sembuh," cegahnya menekan dada Melissa agar dia kembali berbaring."Aku harus pergi jauh, Dok! Aku tidak mau tertangkap Paman! Dia akan menyiksaku" isak Melissa sesugukan."Kamu aman di sini. Pamanmu tidak akan tau keberadaanmu," bujuk dokter.Namun Melissa tetap tidak ingin berada di sana. Ia meronta-ronta demi melepaskan tangan dokter dari tubuhnya. Sekian menit kemudian, Melissa merasakan ada sesuatu yang aneh.Ia menyingkap selimut. Matanya terbuka lebar ketika melihat kedua belah pahanya berbalut perban, sedangkan kakinya tidak ada wujudnya lagi."Kamu yang sabar!" bujuk dokter mengusap punggung Melissa."Kakiku!" rintih Melissa pandangan kosong menatap balutan perban yang tampak berdarah. "MANA KAKIKU!" teriak Melissa nyaring mengisi ruangan."Aku melakukannya demi keselamatanmu juga," jelas dokter singkat, tangannya tidak beralih dari punggung Melissa."Aku pasti sedang bermimpi buruk. Ini mimpi, 'kan?" tanya Melissa cekikikan. "Dokter, tolong katakan padaku bahwa ini mimpi!" pinta Melissa menarik kerah kemeja yang dokter kenakan.Dokter terdiam seribu bahasa, menatap sedih gadis di depannya sambil menghela nafas berat.Tidak ada tanggapan dari dokter, Melissa pun menguji sendiri. Ia menampar wajahnya keras hanya memastikan mimpi atau nyata.Dari rasa sakit dan luka lebam yang mulai muncul di pipinya, Melissa tahu jika ia tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan.Seketika tangis Melissa pecah. Dokter yang mendengar, ikut bersedih. Sungguh ia juga tidak ingin keadaan pasiennya seperti itu."Tenanglah!" ujar dokter mengusap pundak Melissa pelan."Nggak! Ini pasti mimpi!" kelakarnya bagaikan orang tengah mengalami gangguan kejiwaan."Kembalikan kakiku, Dok! Aku nggak mau cacat!" Melissa berteriak hingga terpantul beberapa meter. Orang lain yang berada di sekitar kamar itu, mereka mendengarnya."Lebih baik aku mati daripada harus hidup dengan keadaan seperti ini!" desis Melissa memukul-mukul sisa peninggalan dari kedua kakinya. Rasa sakit pun tidak sebanding dengan sakit di ulu hati.Tidak tinggal diam, dokter menahan tangan Melissa untuk berhenti menyakiti dirinya sendiri. "Berhenti! Ini sudah menjadi takdir bagimu. Tuhan tidak akan menguji hambanya di batas kemampuannya. Bagi Tuhan, kamu orang spesial. Kamu pasti bisa bertahan dengan keadaan seperti ini.""Aku tidaklah sekuat yang dokter kira. Aku wanita rapuh dan lemah. Mengapa Tuhan harus mengujiku seberat ini? Apakah dosaku terlalu banyak? Hingga tidak ada kata bahagia sepanjang hidupku," rintih Melissa merasakan dunianya tidak seberuntung orang lain."Dunia tidak pernah adil kepadaku!" teriak Melissa mengganggu ketenangan orang sakit di kamar sebelah.Perbuatan Melissa sudah tidak dapat lagi ditahan. Dengan terpaksa dokter mengambil tindakan, menyuntikkan obat bius pada punggungnya.Tidak berselang lama, seorang pria muda mengenakan seragam dokter datang dengan membawa tas tenteng berisi banyak obat dan alat kesehatan.Dokter membuka tas dan mengeluarkan beberapa alat kesehatan dan suntik. Melissa yang mulanya tenang, seketika tegang. Sesungguhnya ia sangat takut jarum suntik."Apakah perlu disuntik dok?" tanya Melissa gelagapan."Sangat perlu," jawab dokter menyiapkan tissue yang telah bercampur alkohol."Aku takut!" rintih Melissa menggenggam erat pergelangan tangan Nadir."Tidak papa, hanya sakit sedikit!" bujuk Nadir mendekap tubuh Melissa menenangkan ketakutan."Kamu mau sembuhkan?" tanya Harris Sahutan Melissa anggukkan kepala."Nah harus di suntik dulu," tambah Akbar. Ketiga pria dewasa itu membujuk Melissa bagaikan seorang anak kecil. Memang usia Melissa masih sangat muda sekali.Begitu jarum suntik menusuk bahunya, Melissa mencekik kuat pergelangan tangan Nadir, membebaskan cekikan. Meski sakit, Nadir sama sekali tidak mengeluh, ia tetap memeluknya erat.
Selesai meeting, Nadir bersama Akbar dan Harris berbincang-bincang di ruang pribadinya. Mereka menyambung topik pembahasan tadi yang sempat terpotong."Sekarang … apakah kamu tidak ingin memperkenalkan istrimu kepada kami?" tanya Harris menatap serius."Tau nih. Kami juga ingin kenalan dengan istrimu. Dia pasti sangat cantik sekali. Sama sepertimu tampan," tambah Akbar menyenggol bahu Nadir.Nadir tersenyum tipis, ada perasaan tidak enak di dalam hati setelah mengingat bagaimana keadaan Melissa. Namun tidak membuat Nadir harus menutupinya."Sebentar lagi waktu kita pulang, marilah ke rumahku. Aku akan memperkenalkan dia kepada kalian," sahut Nadir menepuk pundak kedua sahabatnya.Ketiga pria itu menatap jam di dinding. Tiba saatnya untuk mereka pulang ke rumah."Yuk! Sudah waktunya kita pulang," ajak Akbar tampak tidak sabar.Pada akhirnya mereka keluar dari ruangan luas itu. Tujuan mereka, tentu rumah Nadir.Setibanya di rumah, Nadir langsung membawa Akbar dan Harris ke kamar Melissa
"Enak banget yah santai di sini." Suara keras wanita berasal dari belakangnya. Seketika Melissa menoleh. Terlihat sosok mertuanya tengah berada di belakangnya dengan tangan melipat di dada, tatapan mata menghina."Ibu," sebut Melissa menundukkan kepala. Ingat wanita paruh baya itu tidak menyukai dirinya, ia takut ibu mertuany akan menyakitinya lagi sama seperti kemarin."Buatlah dirimu berguna di rumah ini. Mungkin Nadir memberikanmu tumpangan gratis dengan dalih menikahimu, tapi aku sampai kapanpun tidak akan pernah menerimamu bagian dari keluargaku." Sarah berkelakar.Melissa masih menundukkan kepala sambil mengangguk pelan. "Baik Ibu," sahutnya."Sekarang bersihkan rumah! Danti sedang cuti. Kamu sebagai orang menumpang tinggal di sini sebaiknya sadar diri dan carilah fungsimu. Setidaknya ada gunanya kamu di sini," tutur Sarah berlalu begitu saja.Pergi Sarah, Melissa menghela nafas panjang. Baru ia senang dapat kembali menghirup udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam ka
Sebelum berangkat ke kantor, Nadir terlebih dulu membersihkan tubuh Melissa lalu memberikan dia makanan. Danti yang biasa mengurusnya, sedang pulang kampung. Terpaksa Nadir lah yang harus mengurus istrinya itu.Teringat perlakuan Sarah beberapa hari yang lalu, yang menyebabkan Melissa sakit selama dua hari, Nadir canggung meninggalkannya sendirian di rumah. Akan tetapi Nadir juga tidak bisa berada di rumah sementara dia punya tanggung jawab mengurus perusahaan."Bila ada apa-apa hubungi saja aku! Dalam waktu apapun, aku selalu aktip untukmu." Selepas mengatakannya, Nadir menyerahkan salah satu ponsel miliknya ke Melissa."Aku tidak butuh ini! Aku bisa menjaga diriku sendiri," tolak Melissa enggan mengambil ponsel di tangan Nadir. Namun Nadir memaksa Melissa mengambil ponselnya."Aku tidak suka ditolak. Ambillah! Anggap saja ini teman buatmu di saat aku tidak ada di rumah," ujar Nadir pada akhirnya Melissa mau menerima.Setelah makanan di piring habis, Nadir bangkit dari duduknya di uju
"Kak Nadir!" sebut Melissa wajahnya begitu tegang."Apa yang Ibu lakukan?" tanya Nadir menghempaskan tangan Sarah dengan sedikit kasar.Dari hempasan yang Nadir lakukan, Sarah merasakan rasa sakit dan mengadu kesakitan. "Argghhh … segitunya sama wanita buntung ini. Sampai kamu menyakiti tangan ibu!" rintih Sarah mengusap-usap pergelangan tangannya.Tidak ada niatan menyakiti ibunya. Akan tetapi perbuatan yang ibunya lakukan sangatlah keterlaluan, di luar batas kepri kemanusiaan."Maafkan aku Ibu! Aku tidak bermaksud menyakiti Ibu," jelas Nadir merasa bersalah."Kamu sudah tidak sayang lagi sama Ibu!" kelakar Sarah menghentakkan kaki lalu melenggang pergi dari kamar Melissa dengan perasaan jengkel.Nadir yang benar-benar merasa bersalah, mengejar ibunya. Sementara Melissa membenarkan posisi duduknya, tentu ia menangis diperlakukan kasar oleh mertuanya sendiri."Andaikan Ibu tidak pergi, aku tidak akan berada di sini. Hidupku menderita tanpa Ibu," isak Melissa tanpa terasa air mata memb
"Nya, di luar ada yang jual sayur tuh! Nyonya bilangkan mau beli sayuran buat Non Vallen," ujar Danti mendatangi Sarah yang sedang santai di kursi depan kolam renang di samping rumah."Baiklah," sahut Sarah sembari bangkit dari duduk. Mengambil dompetnya di dalam kamar.Sarah pergi ke halaman rumah tepat dimana penjual sayuran keliling berada. "Pak ada bayam?" tanya Sarah menghampiri.Di sana sudah ada beberapa ibu-ibu tetangga di sebelah rumahnya. Mereka menatap sinis kedatangan Sarah di sana."Kok bisa-bisa sih putra kesayangan nikah sama gadis buntung gitu," sindir salah satu tetangga Sarah."Bukahkan Nadir punya pacar yang begitu cantik dan keluarga yang baik. Lantas mengapa menikah dengan wanita cacat, lagi tidak jelas seluk-beluk keluarganya.""Apalagi kata suamiku yang kebetulan ada di lokasi tabrakan, gadis itu begitu seksi. Dia mengenakan dress mini ketat. Dan paling mencengangkan, ada beberapa pria yang mengejarnya. Mungkin mereka adalah bodyguard dari pria hidung belang yan