Malam minggu biasanya adalah waktu yang nyaman bagi Rhea untuk menghabiskan waktu di apartemen. Entah membaca novel, menonton film, atau sekadar bermalas-malasan sambil menikmati teh hangat. Namun, malam ini sedikit berbeda.
"Ayo, Rhea! Aku butuh seseorang untuk menemani!" suara Kyle terdengar dramatis di telepon.
"Aku malas keluar, Kyle," sahut Rhea, duduk bersandar di sofa dengan selimut menutupi kakinya.
"Oh, ayolah! Ini bukan hanya tentang aku, tapi juga Denny! Dia akan tampil malam ini, dan aku tidak bisa sendiri di antara orang-orang yang sibuk memujanya!"
Rhea mendesah. "Aku tetap bisa mendukungnya dari rumah, kau tahu?"
"TIDAK! Aku butuh seseorang untuk diajak menggosip sambil menunggu giliran Denny tampil. Please?"
Rhea masih ragu, tapi suara memohon Kyle di ujung telepon membuatnya mengalah. "Baiklah… tapi jangan berharap aku akan bersorak heboh atau sesuatu seperti itu."
"YES! Aku akan menjemputmu jam tujuh! Jangan p
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah gorden, menciptakan bias keemasan di dalam kamar. Aroma lembut linen yang bersih bercampur dengan wangi samar teh yang masih tersisa dari semalam.Michael mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa jauh lebih ringan setelah tidur nyenyak. Biasanya, ia akan terbangun lebih awal, tetapi pagi ini berbeda.Sudah hampir jam sembilan.Ia jarang sekali tidur selama ini, terlebih ketika deadline proyek sedang menghimpitnya. Namun, tubuhnya seolah memaksanya untuk beristirahat lebih lama setelah kejadian tadi malam.Michael menghela napas, lalu menoleh ke samping.Di sana, Rhea masih tertidur.Wanita itu berbaring dengan posisi menyamping, wajahnya tampak begitu damai dalam lelapnya. Rambutnya sedikit berantakan, beberapa helaian jatuh ke pipinya, tetapi itu justru membuatnya terlihat lebih alami. Napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Michael memperhatikan Rhea dal
Malam itu, apartemen terasa lebih sepi dari biasanya. Michael baru saja pulang setelah seharian berkutat dengan desain untuk proyek terbarunya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih penuh dengan berbagai konsep yang belum terselesaikan.Namun, begitu masuk ke dalam apartemen, sesuatu terasa janggal.Sepatu Rhea tidak ada di dekat pintu. Ruangan juga tampak terlalu rapi—tidak ada suara dari dapur, tidak ada bantal berserakan di sofa seperti biasanya jika Rhea sedang bersantai.Michael meletakkan tasnya di meja dan berjalan ke kamar. Kosong.Dahi Michael mengernyit. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sebelas malam.Rhea pergi ke mana?Ia merogoh sakunya, mengambil ponsel, lalu mencoba menelepon Rhea.Tuut... Tuut...Tidak diangkat.Michael menggigit bibirnya, menekan ulang kontak Rhea. Kali ini setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya panggilan diterima."Halo, Michael?" S
Rhea tidak tahu sejak kapan ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Michael.Dulu, ia selalu cuek. Ia menjalani hari-harinya tanpa terlalu memikirkan keberadaan Michael selain dalam konteks pernikahan kontrak mereka. Mereka berbagi ruang, berbagi meja makan, berbagi percakapan ringan yang biasanya hanya sebatas basa-basi.Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.Michael masih bersikap baik seperti biasanya. Ia tetap tersenyum saat mereka bertatap muka, tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan Rhea dengan suara tenang seperti tidak ada yang berubah.Tapi Rhea merasakan sesuatu yang lain.Sikap Michael sekarang terasa... lebih dingin.Tidak secara terang-terangan, tapi cukup untuk membuat Rhea sadar.Jika biasanya Michael akan dengan santai mengomentari film yang mereka tonton bersama, kini ia lebih banyak diam. Jika biasanya ia akan menanggapi ocehan Rhea dengan humor sarkastik khasnya, sekarang ia hanya tersenyum samar dan menjawab se
Pagi itu, Rhea masih merasa tidak bersemangat.Setelah "pertengkaran" kecilnya dengan Michael semalam, suasana di apartemen masih terasa canggung. Mereka tidak benar-benar bertengkar dalam arti sebenarnya, tetapi ada sesuatu di antara mereka yang berubah.Dan Rhea tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.Ia hanya ingin waktu berlalu begitu saja.Sambil duduk di sofa, ia memeluk bantal dan memainkan ponselnya tanpa benar-benar memperhatikannya. Suasana apartemen sunyi. Michael sedang di ruang kerjanya, mungkin sibuk dengan proyeknya. Biasanya, ia akan keluar untuk sekadar minum kopi dan mengajaknya bicara, tapi pagi ini Michael tetap berada di dalam ruangannya.Rhea mendesah.Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuatnya sedikit terlonjak. Ia melihat layar dan menemukan nama Kyle muncul di sana.Dengan malas, ia mengangkatnya.“Ya, ada apa?” tanyanya tanpa energi.“Kenapa suaranya lemes gitu?” suara Kyle
Pagi itu, suasana di apartemen terasa berbeda.Rhea bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di ufuk timur saat ia sudah sibuk mondar-mandir di dapur.Ia tidak bisa tidur semalaman.Setiap kali memejamkan mata, suara Michael kembali terngiang di kepalanya."Aku menyukaimu, Rhea."Tiga kata sederhana, tapi cukup untuk membuat pikirannya tidak bisa tenang.Rhea mencoba meyakinkan dirinya kalau ia hanya terlalu banyak berpikir. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin kalimat itu terasa nyata.Jadi, alih-alih berguling di tempat tidur semalaman, ia akhirnya bangkit dan memilih mengalihkan pikirannya dengan membuat sarapan.Tangannya sibuk mengocok telur, tapi pikirannya melayang entah ke mana."Aku menyukaimu, Rhea."Rhea menggigit bibir bawahnya dan mencoba mengusir suara itu dari kepalanya.Tidak mungkin.Mereka ini hanya terikat dalam pernikahan kontr
Rhea duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya ragu.Di tangannya, ponsel sudah menampilkan nama Kyle di layar.Sebenarnya, ia tidak terlalu ingin datang ke pesta malam ini.Tapi kalau ini satu-satunya cara untuk mengakhiri kesalahpahaman Michael, maka ia harus melakukannya.Akhirnya, ia menarik napas dalam dan menekan tombol panggil.Tak butuh waktu lama sebelum suara Kyle terdengar dari seberang."Halo? Rhea? Ada apa tiba-tiba telepon?"Rhea tersenyum kecil."Seperti biasa, dia selalu antusias.""Kyle, tentang pestamu malam ini... Masih bisa datang?"Hening sebentar.Lalu, terdengar suara teriakan Kyle di seberang sana."HAH?! RHEA?! KAMU MAU DATANG?!"Rhea menjauhkan ponselnya dari telinga karena volume suara Kyle yang menggelegar.Ia bisa membayangkan Kyle pasti sedang melompat-lompat sekarang."Iya, iya... Aku akan datang. Jadi masih bisa, kan?"
Seiring berjalannya waktu, sesuatu dalam hubungan Rhea dan Michael perlahan berubah.Tidak ada pernyataan resmi. Tidak ada janji-janji manis.Hanya... perasaan yang menggantung di udara.Michael tidak lagi menjaga jarak seperti sebelumnya.Kadang-kadang, ia memanggil Rhea dengan panggilan sayang tanpa alasan."Sayang, kamu mau teh atau kopi pagi ini?" tanyanya santai suatu pagi.Rhea, yang saat itu masih setengah mengantuk, mendongak dengan dahi berkerut."Hah? Sayang?"Matanya menyipit curiga.Michael terkekeh kecil sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir."Kenapa? Nggak boleh?""Nggak biasa aja," gumam Rhea sambil mengalihkan pandangan.Ia meraih roti panggang tanpa semangat.Tapi jauh di dalam dadanya, ada sesuatu yang aneh.Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.Dan itu bukan hanya sekali.Sentuhan-sentuhan kecil yang dulu terasa biasa, sekarang terasa berbed
Suara film yang diputar di ruang tamu menggema pelan, tapi tidak ada yang benar-benar fokus menontonnya. Rhea duduk menyandar pada bantal sofa dengan kaki diselonjorkan santai. Semangkuk popcorn di pangkuannya hampir kosong, sementara Michael duduk di sebelahnya dengan satu tangan melingkarkan ke bahunya, seperti sudah jadi kebiasaan belakangan ini.Malam itu terasa tenang. Terlalu tenang, sampai akhirnya Rhea tidak tahan dengan rasa penasaran yang selama ini ia simpan."Miki.."Nada suaranya pelan tapi serius.Michael menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Hmm?""Aku penasaran deh... gimana mungkin kamu yang... ya, kayak gini," Rhea membuat gerakan tangan yang tidak jelas ke arah Michael. "Bisa... ya... ternyata straight?"Michael memiringkan kepala, seolah butuh waktu untuk mencerna pertanyaan itu."Kayak gini?" tanyanya, setengah tertawa. "Maksudnya apa?"Rhea mengerucutkan bibir, mencari kata-kata yang tepat."Ya... kamu tuh
Mentari baru saja merangkak naik di ufuk timur saat Rhea sudah berdiri di depan cermin.Hari ini adalah hari besar.Ia mengenakan blouse putih bersih dengan potongan sederhana namun elegan, dipadukan dengan celana panjang high-waist berwarna krem muda. Rambutnya dikuncir rapi, make-up natural menghiasi wajahnya, mempertegas kesan dewasa dan profesional."Hari ini aku siap," katanya, menguatkan diri di depan bayangannya.Ia mengambil tas kerja hitam kecil berisi dokumen lamaran, lalu melangkah keluar apartemen.Perjalanan menuju gedung perusahaan multinasional itu terasa begitu panjang, meski sebenarnya hanya butuh waktu tiga puluh menit dari apartemennya.Sepanjang jalan, jantung Rhea berdebar keras.Tangannya berkeringat dingin, meski AC mobil sudah cukup sejuk."Aku sudah latihan. Aku bisa," gumamnya berulang-ulang seperti mantra.Saat mobil yang ia tumpangi berhenti di depan gedung tinggi menjulang dengan kaca-kaca besar
Pagi itu, langit Surabaya cerah dengan sapuan awan tipis yang berarak malas.Rhea berdiri di depan cermin apartemen, memastikan gaun pastel sederhana yang dikenakannya tampak rapi. Ia mengambil undangan kecil berwarna krem yang telah dikirimkan beberapa hari lalu."30th Wedding Anniversary of Mr. & Mrs. Adrian Gunawan."Ia menarik napas panjang. Ini pertama kalinya ia menghadiri acara besar keluarga Michael sendirian.Mobil online yang ia tumpangi melaju mulus menuju kawasan elite Surabaya Barat.Sesampainya di gerbang rumah keluarga Gunawan, Rhea terpesona. Taman di depan rumah dipenuhi rangkaian bunga putih dan peach, membentuk lorong kecil menuju aula kaca di halaman belakang.Suara musik klasik mengalun pelan, tamu-tamu dengan busana formal bercengkerama sambil membawa gelas-gelas kristal berisi sparkling juice."Rhea!" seru suara hangat. Mama mertuanya—Emily Gunawan—berjalan cepat menghampirinya. Gaun biru navy
Langit Surabaya siang itu sedikit mendung, seolah ikut merasakan beratnya hati Rhea.Baru satu jam yang lalu, ia berdiri di balik dinding kaca besar bandara, melihat pesawat yang membawa Michael perlahan menghilang ke balik awan. Perpisahan yang walau sudah dipersiapkan dengan hati-hati, tetap saja menyesakkan dada.Dengan langkah ringan tapi hati berat, Rhea menyusuri jalanan kota, tidak ingin langsung pulang ke apartemen yang akan terasa terlalu kosong.Tanpa banyak berpikir, ia meminta sopir taksi online untuk mengarah ke sebuah kafe kecil di sudut kota—tempat yang dulu sering ia datangi bersama Kyle saat butuh tempat menenangkan pikiran.Kafe itu masih sama.Wangi kopi memenuhi udara, bercampur dengan suara gitar akustik yang samar.Rhea memilih duduk di pojok, dekat jendela. Ia memesan cappuccino hangat dan croissant cokelat. Ingin mengisi kekosongan itu dengan sesuatu yang sederhana.Sambil menunggu pesanannya datang, Rhea men
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu melalui tirai apartemen. Rhea duduk di sofa, mengenakan sweater longgar dan celana pendek santai, sementara Michael sibuk di dapur menyiapkan sarapan sederhana—roti panggang dan telur dadar."Aromanya enak," puji Rhea sambil tersenyum lebar.Michael menoleh, mengedipkan mata genit. "Tentu. Chef suamimu ini sangat berbakat."Rhea terkikik. "Chef dadakan."Mereka sarapan dengan obrolan ringan. Namun suasana sedikit berbeda. Ada aroma kegelisahan samar di udara—karena hari itu, tersisa hanya dua hari sebelum Michael harus kembali ke Paris.Saat Rhea sedang menyeruput kopinya, Michael meletakkan garpu di piring dan menatapnya serius."Rhea," panggilnya lembut."Hmm?"Michael menghela napas kecil. "Aku udah pikirin ini beberapa hari... Aku pengen kamu ikut ke Paris. Untuk liburan, sekalian jalan-jalan sebelum kamu beneran masuk dunia kerja."Rhea terkejut, matanya memb
Pagi itu, suasana apartemen dipenuhi aroma harum kopi dan roti panggang. Rhea mengenakan hoodie putih kebesaran milik Michael, sementara Michael sendiri sibuk merapikan rambutnya di depan kaca.“Hari ini cuacanya bagus banget, sayang,” kata Michael sambil mengintip ke luar jendela. “Gimana kalau kita pergi ke taman hiburan?”Rhea yang masih duduk bersila di sofa, mengunyah roti pelan, mengangkat alis. “Taman hiburan? Sekarang? Kita bukan remaja lagi, tahu.”Michael tertawa. “Justru itu. Sekarang kita bisa menikmati semuanya tanpa harus pura-pura sok dewasa.”Rhea menggeleng, tapi senyum tak bisa disembunyikan dari bibirnya. Ada sesuatu yang menghangat di hatinya—kebebasan, keceriaan, dan kehadiran Michael yang selama ini hanya bisa dirindukan lewat layar ponsel.“Oke,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak mau naik wahana yang bikin muntah.”“Deal,” sahut M
Sinar matahari menari lembut lewat celah gorden kamar, mengusik mata Rhea yang masih terasa berat. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya pagi menyentuh wajahnya. Udara kamar masih terasa hangat, aroma maskulin yang khas Michael memenuhi udara, membuatnya menghembuskan napas pelan.Rhea menggeliat sedikit, lalu mengalihkan pandangan ke sisi tempat tidur.Di sana, Michael masih tertidur. Dada pria itu naik turun perlahan, wajahnya tampak lebih damai dari biasanya. Rambutnya yang kini sudah lebih pendek terlihat rapi, helai-helainya mengikuti bentuk kepalanya dengan teratur. Entah kenapa, potongan rambut baru itu membuat Michael terlihat... berbeda. Lebih dewasa. Lebih berwibawa.Namun tetap, itu adalah Michael-nya.Dengan hati-hati, Rhea mengulurkan tangan dan mengelus rambut Michael. Lembut, penuh sayang. Ia mengusapnya sekali, dua kali... dan akhirnya senyum terbit dari bibirnya."Kamu potong rambut diam-diam, ya...," bisiknya pelan.
Pagi itu Rhea membuka email dari kampus dengan jantung yang berdegup kencang. Setelah lama menanti, akhirnya jadwal wisuda telah diumumkan. Ia mengusap layar ponselnya, matanya menyusuri setiap kata hingga berhenti di baris yang membuatnya menahan napas:"Upacara Wisuda Sarjana – Sabtu, 25 Mei – Auditorium Utama"“Seminggu lagi…” gumam Rhea dengan suara pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri.Tangannya refleks meraih ponsel, membuka chat Michael yang terakhir. Ia mengetik:Rhea: Sayang, jadwal wisuda udah keluar. Sabtu depan. Aku deg-degan tapi seneng juga. Kamu jadi pulang, kan?Pesan itu terkirim, namun belum dibaca. Rhea menarik napas dalam, berusaha mengusir keraguan. Ia tahu Michael sibuk. Ia tahu Paris dan Jakarta punya selisih waktu. Tapi tetap saja, jantungnya terasa kosong menunggu balasan yang entah kapan datang.Hari bergulir lambat. Rhea menghabiskan siang itu dengan mempersia
Matahari pagi menyusup malu-malu di sela jendela apartemen, menebarkan cahaya hangat ke dalam ruang tamu. Rhea berdiri di depan cermin, membetulkan ikatan rambut dan kemejanya. Hari ini, ia akan menyerahkan revisi skripsi terakhirnya ke kampus dan menemani Kyle yang akhirnya sampai juga di hari sidangnya.“Kyle pasti panik, tuh,” gumam Rhea sambil meraih tote bag berisi berkas-berkas.Ponselnya bergetar.Kyle: “Rheaaa… aku muntah dua kali barusan. Aku takut gagal. 😭”Rhea tersenyum, lalu mengetik balasan cepat.Rhea: “Tenang, kamu siap. Kamu cuma panik. Aku otw ke kampus. See you.”Setelah memastikan semuanya siap, Rhea melangkah keluar. Angin pagi menyapa lembut, seolah tahu hari ini adalah hari penting bagi sahabatnya. Ia naik ojek online dan tak butuh waktu lama sampai di kampus.Di depan gedung fakultas, Kyle tampak duduk di bangku taman, memegang map
Sore itu, langit terlihat cerah seolah turut merayakan kebebasan hati Rhea. Ia duduk di dalam taksi yang melaju pelan menuju rumah mertuanya di daerah pinggiran kota. Di pangkuannya, sebuah kotak kecil berisi kue favorit Mama mertuanya—kue red velvet yang biasa mereka nikmati di akhir pekan saat Rhea mengunjungi rumah mertuanya tersebut.Hari itu Rhea mengenakan blouse putih sederhana dipadukan dengan rok lilit warna pastel. Rambutnya dikuncir setengah, memberikan kesan rapi namun tetap santai. Wajahnya masih bersinar bahagia, sisa-sisa senyuman sejak pengumuman kelulusannya dari sidang skripsi dua hari yang lalu belum sepenuhnya hilang.Michael, walaupun jauh di Paris, menjadi orang pertama yang tahu kabar kelulusannya. Ia menelepon Rhea malam itu juga, dan suara bangganya masih terngiang di telinga Rhea.Taksi berhenti di depan pagar besi rumah bergaya minimalis yang dikelilingi tanaman-tanaman hias kesayangan Mama mertuanya. Rhea turun, membayar taksi,