Akhirnya kedua orang tuanya melepaskan Bulan untuk kembali bersama dengan Alfan. Walau ada sesuatu yang masih membuat mereka mengganjal, namun karena ini pilihan putrinya sendiri, maka dengan berat hati mereka mengalah dan membiarkan putrinya menentukan keputusan.
Bulan menatap rumah yang beberapa minggu telah ditinggalkan. Masih sama, tidak ada yang berubah. Setelah puas mengamati seisi rumah, Bulan naik ke kamar dan dikejutkan dengan kehadiran sosok perempuan yang memakai lingerie tembus pandang yang jelas mempertontonkan bentuk tubuhnya. Bulan tidak bisa melihat wajahnya karena perempuan itu memunggungi pintu. Tidak mau menduga-duga, kakinya melangkah mendekat dan bola matanya terbelalak melihat siapa perempuan itu.
“Zahra. Apa yang kamu lakukan di kamarku?” Bulan menggoyangkan tubuh perempuan itu dengan pelan supaya segera bangun.
Terdengar suara erangan pelan sebelum perempuan itu bangun dan duduk dengan wajah yang masih menahan kantuk.
&
Jantung Zahra berdebar dengan tidak beraturan mendengar suara ketukan pintu yang lumayan keras dan cepat seperti ingin segera menyerbu untuk masuk, ia menatap pintu dan menatap laki-laki yang masih sibuk mengenakan celana tersebut bergantian. Entah mengapa dadanya bergemuruh dan perasaannya tidak tenang. “Tutupi tubuhmu dengan selimut. Aku akan membuka pintu,” ucapnya lembut memberikan kecupan di kening Zahra dan segera melangkah menjauh. Zahra memejamkan mata dan mencengkeram selimut dengan erat. Namun ketika pintu terbuka, suara yang sangat dikenali membuat tubuhnya menegang. Belum sempat berpikir jauh, suara keributan membuatnya mau tak mau menengok. Bola matanya hampir saja keluar melihat apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Alfan ... Alfan ada di sini dan saat ini posisinya sedang mengungkung tubuh Galih dengan kepalan tangan yang siap melayang. “Hentikan!” teriak Zahra yang langsung saja bangkit sampai lupa bahwa saat ini tubuhnya polos tanp
Alfan melemparkan segala yang dilihat dengan kasar. Semua yang ada di hadapannya menjadi sasaran emosi. Benda-benda yang ada di ruang tamu terlempar dan menimbulkan bunyi keras sebelum akhirnya hancur berkeping-keping.Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Bibi yang ada di dapur segera mendekati ruang tamu ketika mendengar suara keributan. Perempuan paruh baya itu melihat Alfan seperti orang kesetanan. Langkah kakinya mendekat dengan hati-hati takut terkena serpihan tajam dari benda-benda berharga yang kini sudah tidak berbentuk. Disusul dua perempuan lainnya di belakang bibi yang baru saja masuk ke ruang tamu setelah mendengar suara keributan.“Ada apa dengan Den Alfan, Bi?” Bibi hanya menggeleng karena tidak tahu apa pun.“Den Alfan,” panggil Bibi lirih.“Tinggalkan aku sendiri, Bi.” Alfan menoleh dan menjawab lirih kemudian menyuruh mereka semua pergi.“Jangan bicara dengan Bulan,” sambungnya lagi.Alfan jatuh ke lantai setelah menghancurkan seisi ruan
Alfan merasakan air mata, amarah, kesedihan dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Madu yang selama ini terasa manis, kali ini seperti racun yang bisa langsung membunuhnya.Kedua tangannya mengepal dengan kuat dan penuh amarah. Bayangan tubuh polos Zahra menari-nari di kepalanya bagaikan kaset rusak yang terus berputar berulang.Matanya menerawang jauh di saat pertama kali pertemuan mereka. Alfan terpikat dengan senyum manis perempuan itu. Selama mengenalnya, Alfan hanya disuguhkan hal-hal manis yang ternyata semuanya hanya sandiwara.Jika masa lalunya memang buruk, Alfan memang tak bisa menghapusnya karena itu telah terjadi. Tapi seharusnya setelah mendapatkan apa yang diinginkan, setidaknya perempuan nakal sekali pun akan berubah jika menemukan seseorang yang tepat. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Zahra.Selama hidup bersamanya, Alfan selalu memastikan bahwa mereka tidak akan kekurangan apa pun. Sebisa mungkin ia selalu memberikan kehidupan yan
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Matahari yang sudah terbit sebentar kini bersembunyi di gelapnya langit yang sepertinya siap menumpahkan tetesan air hujan.Setelah tiga hari Alfan meratapi nasibnya dengan duka dan lara, kini laki-laki itu sudah mulai membaik dan siap kembali pada rutinitas yang dijalani.Bayang-bayang sosok Zahra masih sering terlintas di benak, namun Alfan selalu berusaha untuk mengenyahkan pikiran tersebut dari kepalanya. Selama itu pula tidak ada kabar dari Zahra, pun sebaliknya.Bulan sudah menunggu di meja makan. Perempuan itu sudah jarang ke butik semenjak diketahui hamil. Saat sedang menikmati sarapan, Mbak Yuli datang dan mengatakan bahwa ada tamu. Saat ditanya siapa yang datang, Mbak Yuli tidak pernah melihat tamu tersebut sebelumnya.“Siapa ya?” Bulan bergumam sambil bangkit dari kursi.Alfan menggeleng dan meminta Bulan kembali duduk dan meneruskan sarapan saja. Ia yang akan menemuinya.Walau
Sudah dua minggu kehidupan Alfan dan Bulan tenang tanpa ada gangguan. Hubungan mereka semakin harmonis dengan berbagai sikap yang terlihat apa adanya. Selama itu pula Bulan dengan setia menemani dan memberikan dukungan terbaik untuk Alfan melewati masa-masa sulit. Melupakan memang sulit, namun lebih sulit lagi untuk merelakan.Belum ada kabar di mana Zahra berada. Beberapa kali Zea datang untuk mencari keberadaan kakaknya. Namun baik Bulan atau Alfan memang tidak mengetahui posisi pasti perempuan itu. Ponselnya mati dan tidak bisa dilacak karena terakhir kali lokasinya terlihat di hotel yang sama. Walaupun Zahra telah menyakitinya namun Alfan tidak akan mungkin tega mengabaikan kedua adik iparnya.Suatu sore, Bulan datang ke rumah Zahra untuk melihat keadaan kedua remaja tersebut. Zea tidak bicara apa pun, namun tetap mempersilakan Bulan masuk. Perempuan yang selalu dikatakan buruk oleh Zea tersebut dengan tulus memberikan bantuan, bahkan Bulan tak segan untuk memberik
“Itu Zahra.”Alfan mengangguk. “Aku perlu bicara dengannya. Ayo temui dia.”Bulan mengikuti langkah Alfan yang berjalan lebih dulu. Langkahnya begitu lebar dan sedikit tergesa, mungkin saja dia takut akan kehilangan jejak Zahra lagi.Benar saja setelah mereka sampai di bawah, Zahra sudah hampir beranjak dari kursinya. Namun panggilan Alfan membuatnya berhenti dan mematung beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum dan langsung berhamburan memeluknya.“Mas Alfan, kenapa tidak mencariku? Kenapa tega sekali melakukan hal ini padaku.” Zahra terisak di pelukan Alfan.Bulan yang melihat pemandangan di depannya hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali.“Zahra, Mas Alfan.” Bulan menyela di antara mereka berdua.Melihat Bulan ada di antara mereka. Zahra kembali terisak semakin keras dan tentunya menarik perhatian semua pengunjung.“Karena Mbak Bulan, Mas Alfan tidak mencariku dan
Zahra kembali ke rumahnya dengan penuh kemarahan. Seharusnya bukan seperti ini, seharusnya Alfan akan memohon dan meminta Zahra tetap tinggal, bukan sebaliknya.Kata seharusnya dan seandainya terus terucap berulang kali. Zahra memang sengaja ingin bermain-main dengan Alfan karena merasa di atas angin bahwa laki-laki itu tetap akan menerima dan memaafkannya setelah apa yang dilakukanBelum sempat dia meredakan kemarahan, Pertanyaan Zea kembali menyulut emosinya. Gadis belia itu benar-benar kecewa dengan sikap kakaknya yang selama ini dijadikan panutan“Diam dan tutup mulutmu, Zea! Tidak perlu ikut campur urusanku,” bentak Zahra dengan wajah merah padamMasuk kamar Zahra menghempaskan apa pun yang dilihat. Suara benda jatuh beradu dengan teriakannya yang memekik telingaDi dalam kamar, Zahra mulai merencanakan sesuatu untuk membuat Alfan kembali padanya. Alfan tidak boleh meninggalkannya karena ia tidak mau kembali dalam kemiskinan dan hi
Seperti kata R.A Kartini, habis gelap terbitlah terang. Ujian adalah suatu pendewasaan diri untuk kita melangkah lebih baik. —Queena Bulan Latief— Sesampainya di kantor, Alfan sudah melihat segerombol media yang telah menanti. Berita yang viral di media sudah hilang bahkan tidak ada satu pun jejaknya. Namun tetap saja, berita yang sudah terlanjur tersebar tidak akan mungkin dilupakan begitu saja. Saat Alfan baru turun, media mulai meringsek ingin mendekat, namun dengan sikap keamanan di sana langsung menghalangi. “Tuan Alfan, Nona Bulan, tolong sedikit konfirmasi tentang berita yang terlanjur tersebar.” “Tolong sedikit saja, apa benar pernikahan kalian hanya karena kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan?” “Nona Bulan, apa benar Anda adalah orang ketiga di antara hubungan Tuan Alfan dan perempuan yang mengaku sebagai istrinya tersebut?” Lontaran pertanyaan demi pertanyaan memberondong Bulan da