Share

Bab 4. Tidak Peduli

Penulis: Dian Alfina
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-03 18:43:46

Rafael meleparkan sebuah kunci kepada Delia, "Itu kunci kamarmu!"

"Jadi di mana kamarku?"

"Kamar pembantu!"

Delia hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Ia berjalan ke belakang dengan gontai.

Seolah tidak ada tenaga untuk menjawab Rafael.

Instingnya membawa perempuan tersebut ke sebuah ruangan ber cat putih dengan ukuran yang tidak begitu luas.

Ia sama sekali tidak keberatan berada di kamar itu.

Jaraknya cukup jauh dari kamar Rafael, sehingga ia tidak akan melihat ketika suaminya membawa perempuan lain lagi.

Delia merebahkan dirinya di sana, untung saja tadi Andrew tidak mendengar kala Rafael membentaknya. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit ketidakpercayaan saat ia mengatakan bahwa semua aman.

Kruk...

"Astaga! Ini bunyi perutku?" Ia menepuk perutnya yang rata. "Apa kau lapar hum? Aku lupa tidak memberimu makan ya?"

Akhir-akhir ini dia sering lupa, jika belum memasukkan apapun di dalam perutnya. Dari pagi hingga petang, tidak ia rasakan.

Mungkin terlalu banyak hal berisik di kepalanya.

Mau tidak mau, ia harus kembali bangkit keluar mencari apapun yang bisa dimakan.

Saat Delia keluar, ia melihat Rafael keluar dengan buru-buru, "Hendak pergi ke mana dia?" beonya.

Namun ia tidak menegurnya, ia kembali meneruskan niatnya untuk memasak.

Tapi Delia tidak menemukan apapun yang dapat ia masak. Bahkan di dalam lemari pendinginnya pun sama.

"Aku harus keluar, mungkin dua bungkus mie instan cukup untuk mengganjal perutku malam ini,"

Ia memutuskan untuk pergi keluar.

Delia berjalan menuju minimarket yang terletak di depan komplek, jaraknya cukup jauh.

Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai di sebuah minimarket dua puluh empat jam, tempatnya tidak terlalu besar tetapi sepertinya lengkap.

Tidak butuh waktu lama, ia segera berjalan ke arah rak mie instan.

Setelah membeli dua mie instan, ia segera pulang. Ia melirik jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 11.

Langkahnya ia percepat, "Apa daerah di sini memang sesepi ini?" beonya terus berjalan.

Sangking terburu-burunya, Delia tidak sadar jika dirinya melewati jalan yang salah. Ia berhenti sebentar lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, Delia yakin tadi ketika berangkat ia tidak melewati jalan ini.

Panik mulai menyerang, sebab tidak ada satu orang pun yang bisa ia tanya.

Tangannya mulai berkeringat, ia juga merasakan dadanya berdegub kencang, tubuhnya pun bergetar.

Tidak, Delia tidak ingin kambuh di tempat sepi ini.

Buru-buru ia mengambil handphone miliknya dari saku hoodie yang ia kenakan, kemudian mencari nama seseorang yang entah tiba-tiba ada di pikirannya.

"Aku mohon angkatlah," Ia mengigit bibir bawahnya dengan getir.

Berulang kali Delia berusaha menghubungi tetap tidak diangkat.

Tetapi Delia tidak menyerah ia tetap menghubungi seseorang tersebut yang nyatanya sedang asyik dengan kekasihnya.

Untungnya di dering terakhir panggilan tersambung, hati Delia sedikit lega meski degub jantungnya masih terus terasa.

"Halo Raf!" suara Delia bergetar. Berharap pria itu segera datang menolongnya.

"Untuk apa kau menghubungiku huh!" Tidak perlu dijelaskan, bagaimana nada yang ia lontarkan.

"Tolong aku, tolong aku Raf. Aku tersesat,"

Rafael mendengar jelas suara ketakutan Delia. Ia sebenarnya sedikit khawatir, tapi ia tak ingin menunjukkannya. Apa pedulinya?

Jadi, Kemudian ia pun tertawa sumbang, "Apa? Menolongmu?"

"Kali ini saja Raf, aku tersesat di sini gelap. Aku takut," lirih Delia sembari memohon agar pria tersebut iba kepadanya.

"Kau mau tersesat, mau hilang, mati sekalipun, aku tidak peduli,"

Delia merasakan sakitnya perkataan Rafael yang menusuk ulu hatinya, "Aku tidak tau harus meminta tolong kepada siapa lagi Raf."

"Jangan harap aku akan menolongmu!"

Baru selesai Rafael berbicara Delia mendengar suara seorang wanita di sebrang sana, "Siapa sayang?" tanyanya dengan nada manja.

Panggilan berakhir.

Tubuh Delia merosot, ia menangis di pinggir jalan gelap.

Bahkan di saat ia berada dalam keadaan mendesak Rafael tidak mau membantunya.

Apa memang dirinya harus menyusul Renata dulu agar pria itu bisa memaafkannya?

Delia menepuk-nepuk dadanya agar sesak di sana hilang, tapi rupanya bukan malah mereda namun semakin terasa menyayat.

Tiba-tiba sebuah tangan terulur ke arahnya, "Berdirilah...."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Tak Diharapkan   Bab 15. Kesempatan Kedua

    Delia belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi dalam hidupnya, terlebih dengan keadaannya sekarang. Ia kembali di waktu kala dirinya duduk di bangku sekolah.Atau semua kejadian memilukan itu hanyalah mimpi semata? Tapi kenapa ia merasa sangat lama dan nyata, jika benar itu mimpi. Dengan sedikit linglung, ia turun ke bawah. Seketika langkahnya terhenti ketika mendapati sang kakak, turut bergabung di meja makan bersama kedua orang tuanya. Pemandangan yang sangat Delia rindukan."Kakak di sini?" beonya, tanpa sadar air matanya menetes.Hal tersebut membuat ketiga orang yang tengah menunggunya untuk sarapan melongo. Mereka dibuat bingung dengan Delia.Buru-buru ia menghampiri Delina, -sang kakak kemudian memeluknya erat. "Maafin aku ya kak," ujarnya sambil tergugu.Delina cukup kaget dengan tingkah Delia, sontak ia menarik Delia untuk melepaskan pelukannya, "Dek lepasin dong. Aku lapar, kamu apa-apain sih?"Kejadian naas saat sang kakak terpental dari motor masih membekas di kepala D

  • Pernikahan Tak Diharapkan   Bab 14. Apa Ini?

    Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu.Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas.Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membuat

  • Pernikahan Tak Diharapkan   Bab 13. Nasib Buruk

    Delia tidak menjawab, ia lelah. Kepalanya juga kembali pusing. Dia menyesal karena terlambat mengetahui niat jahat Rafael. Nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau Delia harus menjalani nasib buruk yang entah dia sendiri tidak tau kapan akan berakhir. Delia juga bingung, menderita yang bagaimana yang pria itu mau agar puas. Delia tidak akan tinggal diam, ia tetap akan melawan Rafael. Setidaknya meskipun dirinya tertatih melawan semua gemuruh di kepalanya, ia masih memiliki rasa ingin menjadi Delia dengan pribadi yang menyenangkan. Dulu ia hanya salah menjatuhkan hatinya pada iblis berwujud manusia dan berakhir seperti ini. Tetapi penyesalan itu tetaplah pernyesalan, tidak akan mengubah apapun dalam hidup Delia. Dalam benaknya ia tetap bertekad bahwa besok dirinya akan tetap bekerja. Apapun resikonya Delia tidak peduli, ia tau apa yang akan dilakukannya itu pasti menimbulkan amarah Rafael yang memuncak. Tapi biarlah, itulah tujuan Delia. Jika seandainya pun Rafael akan membunuhn

  • Pernikahan Tak Diharapkan   Bab 12. Topeng

    "Aku baik-baik saja, keluarlah aku ingin tidur," usir Delia. "Sialan kau memang Del, percuma saja aku mengkhawatirkanmu! Jadi khawatirkan dirimu saja sendiri sana!" Delia menyahut hanya dengan gumaman. "Tidak ada harga dirinya CEO di sini," cerocos Andrew lalu mengikuti perintah Delia. Andrew tidak benar-benar marah Delia, begitulah cara interaksi antara keduanya. Sebenarnya Andrew merasa ada kejanggalan pada Delia, sejak kapan wanita itu betah berada di kantor? Ia paling senang jika pulang lebih awal, tapi sekarang? "Lama-lama kepalaku pecah memikirkan Delia," monolog Andrew seraya turun ke bawah. Andrew tidak pulang ia akan menunggu Delia di coffe shop bawah. *** Pukul sembilan tepat Delia turun dengan wajah yang jauh lebih segar, tidur selama empat jam tanpa gangguan membuat semua energinya kembali penuh. Ia siap berperang dengan pikiran-pikiran jahatnya yang sering menyuruhnya untuk bunuh diri. Drt... Drt... Ponsel Delia bergetar membuyarkan lamunannya, dengan seg

  • Pernikahan Tak Diharapkan   Bab 11. Curiga Andrew

    "Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir." "Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi," Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah. Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael. Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, memb

  • Pernikahan Tak Diharapkan   Bab 10. Delia Yang Malang

    Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir. "Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar. Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status