Share

Bab 4. Tidak Peduli

Rafael meleparkan sebuah kunci kepada Delia, "Itu kunci kamarmu!"

"Jadi di mana kamarku?"

"Kamar pembantu!"

Delia hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Ia berjalan ke belakang dengan gontai.

Seolah tidak ada tenaga untuk menjawab Rafael.

Instingnya membawa perempuan tersebut ke sebuah ruangan ber cat putih dengan ukuran yang tidak begitu luas.

Ia sama sekali tidak keberatan berada di kamar itu.

Jaraknya cukup jauh dari kamar Rafael, sehingga ia tidak akan melihat ketika suaminya membawa perempuan lain lagi.

Delia merebahkan dirinya di sana, untung saja tadi Andrew tidak mendengar kala Rafael membentaknya. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit ketidakpercayaan saat ia mengatakan bahwa semua aman.

Kruk...

"Astaga! Ini bunyi perutku?" Ia menepuk perutnya yang rata. "Apa kau lapar hum? Aku lupa tidak memberimu makan ya?"

Akhir-akhir ini dia sering lupa, jika belum memasukkan apapun di dalam perutnya. Dari pagi hingga petang, tidak ia rasakan.

Mungkin terlalu banyak hal berisik di kepalanya.

Mau tidak mau, ia harus kembali bangkit keluar mencari apapun yang bisa dimakan.

Saat Delia keluar, ia melihat Rafael keluar dengsn buru-buru, "Hendak pergi ke mana dia?" beonya.

Namun ia tidak menegurnya, ia kembali meneruskan niatnya untuk memasak.

Tapi Delia tidak menemukan apapun yang dapat ia masak. Bahkan di dalam lemari pendinginnya pun sama.

"Aku harus keluar, mungkin dua bungkus mie instan cukup untuk mengganjal perutku malam ini,"

Ia memutuskan untuk pergi keluar.

Delia berjalan menuju minimarket yang terletak di depan komplek, jaraknya cukup jauh.

Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai di sebuah minimarket dua puluh empat jam, tempatnya tidak terlalu besar tetapi sepertinya lengkap.

Tidak butuh waktu lama, ia segera berjalan ke arah rak mie instan.

Setelah membeli dua mie instan, ia segera pulang. Ia melirik jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 11.

Langkahnya ia percepat, "Apa daerah di sini memang sesepi ini?" beonya terus berjalan.

Sangking terburu-burunya, Delia tidak sadar jika dirinya melewati jalan yang salah. Ia berhenti sebentar lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, Delia yakin tadi ketika berangkat ia tidak melewati jalan ini.

Panik mulai menyerang, sebab tidak ada satu orang pun yang bisa ia tanya.

Tangannya mulai berkeringat, ia juga merasakan dadanya berdegub kencang, tubuhnya pun bergetar.

Tidak, Delia tidak ingin kambuh di tempat sepi ini.

Buru-buru ia mengambil handphone miliknya dari saku hoodie yang ia kenakan, kemudian mencari nama seseorang yang entah tiba-tiba ada di pikirannya.

"Aku mohon angkatlah," Ia mengigit bibir bawahnya dengan getir.

Berulang kali Delia berusaha menghubungi tetap tidak diangkat.

Tetapi Delia tidak menyerah ia tetap menghubungi seseorang tersebut yang nyatanya sedang asyik dengan kekasihnya.

Untungnya di dering terakhir panggilan tersambung, hati Delia sedikit lega meski degub jantungnya masih terus terasa.

"Halo Raf!" suara Delia bergetar. Berharap pria itu segera datang menolongnya.

"Untuk apa kau menghubungiku huh!" Tidak perlu dijelaskan, bagaimana nada yang ia lontarkan.

"Tolong aku, tolong aku Raf. Aku tersesat,"

Rafael mendengar jelas suara ketakutanketakukan Delia. Ia sebenarnya sedikit khawatir, tapi ia tak ingin menunjukkannya.apa pedulinya?

Jadi, KemudianKemudia ia pun tertawa sumbang, "Apa? Menolongmu?"

"Kali ini saja Raf, aku tersesat di sini gelap. Aku takut," lirih Delia sembari memohon agar pria tersebut iba kepadanya.

"Kau mau tersesat, mau hilang, mati sekalipun, aku tidak peduli,"

Delia merasakan sakitnya perkataan Rafael yang menusuk ulu hatinya, "Aku tidak tau harus meminta tolong kepada siapa lagi Raf."

"Jangan harap aku akan menolongmu!"

Baru selesai Rafael berbicara Delia mendengar suara seorang wanita di sebrang sana, "Siapa sayang?" tanyanya dengan nada manja.

Panggilan berakhir.

Tubuh Delia merosot, ia menangis di pinggir jalan gelap.

Bahkan di saat ia berada dalam keadaan mendesak Rafael tidak mau membantunya.

Apa memang dirinya harus menyusul Renata dulu agar pria itu bisa memaafkannya?

Delia menepuk-nepuk dadanya agar sesak di sana hilang, tapi rupanya bukan malah mereda namun semakin terasa menyayat.

Tiba-tiba sebuah tangan terulur ke arahnya, "Berdirilah...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status