Maaf up kemalaman, soalnya kondisiku lagi kurang fit
Sherin memaksa tawa kecil meluncur dari bibirnya, lalu menjawab, “Saya tadi terlalu banyak minum, Tuan Jovan. Jadi keluar sebentar ke kamar kecil.”Meskipun hatinya diselimuti ketakutan, tetapi gadis itu berusaha sekuat tenaga menjaga nada suaranya agar tetap tenang.Charles Jovan menatapnya cukup lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Sebaiknya Anda tidak berkeliaran di luar tanpa pengawalan, Nona Scarlet. Kita tidak tahu ada bahaya seperti apa yang mungkin mengintai di sekitar kita, bukan?”Meskipun ucapan Charles terdengar seperti nasihat baik untuknya, tetapi dari nada suaranya, Sherin tahu jika kalimat itu mengandung makna lain seperti sebuah peringatan tegas.“Terima kasih atas perhatian Anda, Tuan Jovan. Saya akan mengingatnya,” sahut Sherin, tetap tersenyum tenang.Ia menambahkan cepat, sebelum pria itu sempat membalas, “Kalau begitu, saya pamit dulu. King pasti sudah menunggu saya.”Tanpa menoleh lagi, Sherin segera melangkah pergi menuju aula.Begitu punggung gadis itu men
Meskipun kedua sosok itu telah menghilang dari pandangannya, Sherin masih terdiam di tempat. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan kegelisahan yang berputar tanpa arah.‘Sebenarnya siapa yang mereka bicarakan? Kenapa mereka sampai ingin menghabisinya?’ batinnya bertanya-tanya, rasa penasaran dan takut bercampur jadi satu.Sherin menggigit bibirnya erat-erat. Ketegangan masih menghimpit dadanya. Ia tahu seharusnya segera pergi dari tempat itu, tetapi langkahnya seolah membeku di tanah.‘Kalau apa yang kudengar tadi benar … berarti seseorang dalam bahaya,’ pikirnya, menatap kosong ke arah jalan setapak yang kini sepi.Angin malam kembali berembus pelan, menggerakkan daun palem di atas kepalanya. Sherin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Namun, bayangan percakapan itu terus terngiang di telinganya—kata-kata seperti “kamar 108” dan “menghabisinya” menari-nari di pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang.Merasa situasi sudah aman, Sherin bergegas bangkit dari jongkokn
Sherin menggosok matanya berulang kali, memastikan penglihatannya tidak salah. ‘Bukannya dia … tuan rumah yang tadi?’ gumamnya dalam hati. ‘Apa yang dia lakukan di sini?’Rasa ingin tahu Sherin bertambah semakin besar.. Gelagat Charles Jovan terlihat semakin mencurigakan.Bukan hanya karena pria tua itu bertemu seseorang di tempat sesepi itu, tetapi juga karena pria tua itu terlihat gelisah, sesekali menoleh ke kiri dan kanan seolah takut ada yang memperhatikan.‘Kenapa harus bertemu diam-diam di tempat seperti ini?’ pikir Sherin, menajamkan pandangannya. ‘Kalau bukan urusan penting … pasti ada sesuatu yang tidak beres.’Sherin mencondongkan tubuhnya sedikit, berusaha melihat lebih jelas sosok yang berdiri di hadapan Charles. Namun, pria itu mengenakan mantel panjang berwarna gelap dan wajahnya tertutup oleh bayangan pepohonan yang lebat, membuatnya sulit untuk dikenali.Meski begitu, Sherin bisa memastikan satu hal—sosok itu jauh lebih muda daripada Charles Jovan. Gerak-geriknya sanga
“Dia tidak akan berpikir kalau aku matre, kan?” gumam Sherin pelan sambil melangkah keluar dari kamar kecil.Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa khawatir itu muncul di dalam pikirannya. Ia tidak ingin King mengira dirinya adalah wanita materialistis karena tetap menerima kalung pemberiannya. Namun, di sisi lain, ia juga tidak tega membuang kalung semahal itu.“Ah, sudahlah. Biarkan saja dia salah paham. Lagian dia sendiri yang memberikannya, bukan aku yang memintanya,” sungut gadis itu, mencoba mencari alasan untuk membenarkan tindakannya.Sherin mendengus kecil dan melirik ke sekitar. Ia tidak berniat kembali ke aula—udara di dalam ruangan itu terasa terlalu menyesakkan baginya. Ia memutuskan untuk berjalan santai sejenak sebelum kembali.Langkahnya terhenti begitu rasa pegal menjalar di telapak kakinya. Ia menghela napas, lalu menunduk sebentar untuk melepaskan sepatu hak tinggi pemberian Nicole Dieter.“Memang lebih nyaman seperti ini,” gumamnya sambil tersenyum lega, membiarkan jemar
Melihat wajah masam istri kecilnya saat menerima kalung yang dimenangkannya dari pelelangan, kening Arnold mengernyit. “Kenapa? Bukannya kamu suka kalungnya?” “Siapa bilang aku suka? Aku ….” Sherin menghentikan ucapannya, lalu menghembuskan napas kasar sambil meletakkan kalung itu di atas meja. ‘Sepertinya percuma saja aku bicara dengannya. Dia sama sekali tidak akan mengerti,’ sungut gadis itu di dalam hati. Arnold mengangkat alis. “Kalau memang ada barang yang kamu mau, tinggal katakan saja, aku akan mendapatkannya untukmu. Tidak usah sungkan.” Sherin memutar bola matanya dan mencebikkan bibirnya dengan malas. "Apa kamu takut aku tidak tahu kalau kamu sangat kaya?" cibirnya. Arnold nyaris tertawa karena tidak menyangka niat baiknya justru disalahartikan. Ia belum sempat membuka mulut ketika gadis itu menyipitkan matanya dengan penuh curiga.“Jangan bilang …," gumam gadis itu dengan nada menyelidik, “ ... kamu mengajakku ke acara ini, lalu memberikan kalung ini, cuma karena ingin
“King … apa kamu sebenarnya adalah Arnold?” Namun, sebelum pertanyaan Sherin sempat terdengar jelas, suara gadis itu tenggelam dalam gemuruh tepuk tangan yang tiba-tiba menggema di seluruh aula. Arnold menoleh ringan. “Kamu bilang apa tadi?” tanyanya datar, tetapi dapat terdengar oleh gadis itu di tengah keriuhan yang terjadi. Sherin belum sempat menjawab ketika pria itu menambahkan cepat, dagunya sedikit terangkat ke arah panggung. “Kamu suka kalung itu?” Sherin sontak menoleh. Di panggung, sorotan lampu menari di sekitar seorang model bergaun putih yang memamerkan kalung berlian berdesain elegan. Cahaya lampu tersebut memantulkan kilau dingin dari permata bening yang sedang memukau seluruh ruangan. “Item ke tujuh malam ini—The Winter Serenade, karya maestro Vittore D’Alesi!” seru host acara, suaranya nyaring saat memperkenalkan barang lelang tersebut. Arnold mengangkat gelas wine-nya, menyesap perlahan sebelum berucap datar, “Kalau kamu suka, aku akan mendapatkannya untukmu.”