LOGINUdara serasa membeku, dan waktu terpilin menjadi sebatang jarum yang menghujam tepat di ulu hati. Suara desahan yang tercekat itu, seolah mengoyak setiap janji suci dan memusnahkan fondasi kepercayaan yang selama ini ia bangun. Berusaha untuk tidak percaya, tapi penampakan di depan mata terlalu nyata untuk diabaikan. Kedua tangannya mengepal di samping paha. Bukan karena marah, tapi lebih kepada menahan rasa sakit yang kentara.“Om Langit …?” lirihnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara detak jarum jam di dinding kamar.Langit yang tampak tengah bergerak maju mundur di atas Andini, mendadak berhenti dan menoleh. Anehnya, tak ada ekspresi nanap yang ia tunjukkan. Semuanya tampak datar dan biasa saja.“Om Langit, a—apa ini?” tanya Arumi terbata. Suaranya benar-benar seperti tertahan di tenggorokannya. Seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya. “Yah … seperti yang kamu lihat,” jawab Langit terlalu biasa.“I—iya … Arumi tahu apa yang sedang Om Langit lakukan, tapi … kenapa?” Arumi kemba
Arumi menelan ludah berat. Peringatan Langit barusan seperti tiupan terompet kematian. Yang membuat bulu kuduknya berdiri dan merinding. Ia hanya berharap, dengan segenap kekuatan, bahwa getaran halus pada suara dan tangannya tidak sampai tertangkap. "Ya, Om. Arum nggak akan pernah bohongi Om Langit." "Janji?" tanya Langit lagi. "Ja—janji, Om." Langit tersenyum. "Bagus," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala Arumi. "Sekarang kita tidur ya? Sudah mau pukul dua belas." "Ya, Om." Arumi lekas berbalik dan jalan ke arah kamar. Namun entah mengapa, sepanjang jalan menuju kamar, perasaan tidak tenang sama sekali. Seperti ada sesuatu yang tertahan di dadanya. Sesuatu yang ingin ia ungkapkan tapi bibirnya terasa berat untuk digerakkan. Hingga mereka tiba di kamar. Langit pun langsung mengajak Arumi untuk menyikat gigi berdua. Setelah itu, lanjut membaringkan tubuh di ranjang. "Arumi ...," lirih Langit. "Ya Om." "Tidak ada apapun yang kamu sembunyikan dari saya, kan?" ti
"Nonton," jawab Langit. "Nggak, Om. Mendadak ngantuk. Capek juga." "Oh, ya sudah. Kamu tidur saja ya." Langit bangkit dan segera berlalu keluar kamar. Entah apa yang akan dia lakukan. Namun sikapnya itu berhasil memancing kembali rasa penasaran Arumi. Dari balik selimut, dua bola mata indah itu tampak bergerak ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Tak lama, bedcover pun tersingkap. Arumi bangkit dan langsung turun dari atas ranjang. 'Om Langit mau ke mana sih?' tanya Arumi dalam hati. Dia langsung berjalan, mengendap-endap seperti maling. Segera menarik handle pintu secara perlahan. Lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati. Dari arah pintu kamar, Arumi langsung menuju ruang tengah. Namun ternyata Langit tidak ada di sana. Terpaksa, ia pun kembali mengayun langkah menuju ke ruang tamu. Akan tetapi, tiba di sana, Langit juga tak ada. Pria dewasa itu benar-benar hilang seperti hantu. Padahal keluar kamar baru beberapa detik. Dan, di saat Arumi sedang mencari
Langit bergeming. Dengan mata mereka yang saling mengunci. Seolah memutus semua urusan dunia luar. Dalam diam yang penuh makna itu, ia dapat membaca seluruh hasrat istrinya. Bukan sekadar kepuasan, melainkan rasa rindu yang berulang. "Kamu mau lagi?" tanya Langit. Ia tak mau kalau sampai salah dalam mendengar. Sebab ini bukan sekedar kepuasan semata, tapi harus ada kerelaan antar kedua belah pihak. "Eum ... mau nonton lagi, maksudnya." Langit tergelak. Ternyata apa yang ia pikirkan salah telak. Arumi bukan meminta mereka untuk kembali beradegan ranjang, melainkan kembali ke ruang nonton. "Kok Om ketawa, sih? Mang ada yang lucu ya sama permintaan Arum?" "Tidak. Saya pikir tadi kamu minta apa. Saya salah paham ternyata," jelas Langit. Sisa tawa tadi masih terlihat di wajah tampannya. "Emangnya, Om mikir apa?" tanya Arumi. Kedua tangannya sudah mulai menjelajah ke mana-mana. Jemarinya yang lembut mulai memainkan garis rahang yang tegas dan simetris itu. Lalu turun ke bahu
"Ini kartu ATM saya. Semua gaji, service, dan uang lainnya dari bisnis sampingan saya, dikirim setiap bulan ke sini. Kamu boleh pakai untuk kebutuhan rumah, gaji Mbok Jum, biaya kuliah dan kebutuhan pribadi kamu," jelas Langit. Kata-katanya begitu lugas. Tak ada yang terdengar dipaksa ataupun terpaksa. Arumi mematung sejenak. Tak menyangka jika Langit akan memberikannya sesuatu, yang sebenarnya, tidak pernah ia bayangkan apalagi harapkan untuk suaminya berikan. Sudah dibiayai kuliah dan tinggal di rumah dengan fasilitas mewah saja ia sudah bersyukur. Benar-benar tidak meminta yang lebih lagi. "Om ... apa ini nggak berlebihan? Arum—" "Tidak Arumi. Tidak ada yang berlebihan untuk seorang istri. Saya sudah menikahi kamu, artinya semua yang saya miliki, adalah milikmu juga. Termasuk masalah finansial. Lagi pula, sejak dulu saya selalu berencana. Jika suatu hari nanti saya menikah, maka saya mau semua kebutuhan rumah termasuk kebutuhan saya, diatur oleh istrinya saya sendiri. Jadi .
Hening. Sejenak hanya ada suara jangkrik dan katak. Bernyanyi ria karena jejak hujan meninggalkan hawa dingin dan ketenangan. Namun, tidak dengan perasaan Arumi. Yang mendadak was-was setelah apa yang ia dan Langit lakukan baru saja. "I—iya ... tadi saya lepas di dalam," ucap Langit nyaris tak tertangkap oleh indera pendengaran Arumi. "Di dalam?" ulang Arumi, ekspresi wajahnya sudah berubah cemberut. Padahal baru saja melakukan sesuatu yang menyenangkan dan mengenakan. Manusia memang mudah sekali berubah-ubah. Makanya digelari makhluk paling ribet di dunia. "Iya ... memangnya kenapa?" tanya Langit penasaran. Ah, tidak, lebih kepada heran sebenarnya. "Haaa ... Arumi kan belum selesai kuliah, Om. Gimana kalau Arumi hamil. Ah, Om Langit gimana sih?" Arumi mulai merengek seraya memukuli lengan suaminya. Mendorong pria dewasa itu agar menjauh darinya. "Ya ... kamu tidak bilang. Saya mana ingat. Sudah sampai waktunya, ya ... saya keluarkan saja." Langit tak mau disalahkan. Tadi




![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)


