Hujan deras mengguyur Kota Mayro sejak dini hari, membasahi jalanan dan memburamkan kaca jendela apartemen kecil yang ditempati Roura. Di kamar sempitnya, Roura merapikan tas kuliah dengan cepat. Pagi ini dia harus mengejar jadwal kuliah yang sudah menumpuk karena minggu lalu sibuk, dengan pekerjaan di kedai kecil tempatnya bekerja.Setelah memastikan semuanya lengkap, Roura melangkah keluar kamar, berjalan menuju meja makan. Bau roti panggang samar-samar tercium di udara, meski tidak ada tanda-tanda makanan lain yang lebih menggugah selera.“Pagi ayah? ibu?”“Pagi, nak!” sahut ayahnya.Louisa, kakak tirinya, sudah duduk manis di meja makan dengan piring berisi roti panggang dan sepotong daging sapi yang masih mengepul hangat. Dia menggigit kecil daging itu sambil tersenyum puas, matanya tertuju pada layar ponsel.Ibu tirinya Roura berdiri di sudut dapur dengan celemek kusam terikat di pinggang, membawa sebuah piring yang ia letakkan di depan Roura. Piring itu hanya berisi kulit rot
Roura masih terdiam, seolah tersihir oleh wajah tampan Sion. Dalam kesempatan itu, Sion mendekatkan bibirnya untuk mencium Roura."Pergilah!" Roura segera mendorong tubuh Sion hingga terlepas dari dirinya. Membuat pria ini tertawa."Aku pikir kau mau menerima ciumanku, nona." Sion meledek.Roura menghembuskan napas keras, wajahnya masih memerah. Dia menatap Sion dengan kesal."Awas kau berani mencuri ciuman pertamaku!" ancam Roura dengan kesal."Oyah? Jadi kau belum pernah berciuman?" Sion meledek lagi, membuat Roura semakin kesal. "Berhenti meledek ku, Tuan hantu. Pergilah!" Dengan cepat, Roura meraih tasnya dan keluar dari kamar mandi. Tapi bayangan wajah Sion yang begitu dekat tetap terlintas di pikirannya, membuat dadanya berdebar tak menentu.Roura berdiri di depan mesin kopi di sudut universitas, mencoba mengabaikan rambutnya yang masih setengah basah, dan suasana hati yang sudah cuku
"Baiklah aku mendengarkan," jawab Roura menatap Sion kali ini."Kau harus buat poster," Sion memberi saran.Roura kembali terkejut, menatap Sion dengan tatapan datar dan bicara dengan nada tidak percaya. “Maksudmu, aku harus membuat poster? Dengan tulisan besar (Dicari: Kakek dengan Luka Gores di tangan) apa itu idenya?" Sion tidak bisa menahan tawa, tampaknya lebih terhibur daripada tersinggung oleh sindiran Roura. “Itu ide yang bagus, sebenarnya.”“Tidak, itu ide bodoh, tapi aku lupa, kalau sedang berbicara dengan seseorang yang sudah tidak punya tubuh,” balas Roura.Sion menggeleng kepala, tidak sedikit pun terpengaruh oleh komentar sinis Roura. “Kau benar-benar pandai menghiburku, Rou. Ini sebabnya aku memilihmu.”Roura memutar mata dan kembali berjalan. “Ya, aku pasti sangat beruntung karena jadi pilihan mu. Sampai hidupku yang sulit, jadi bertambah susah.”Sion tetap mengikuti di sampingnya, tetap berja
Bab. 15“Ya, aku ingat!”“Siapa? Siapa dia?” desak Sion, sambil mengguncang pundak Roura, seolah-olah jawaban Roura akan menyelesaikan seluruh teka-teki dalam masalahnya.Roura mengerutkan dahi, berpikir keras. Mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihat, tato burung hantu dan luka gores pada tangan seorang kakek.“Apa kau ingat kakek-kakek yang kita temui di taman di kota Ravendale?”Sion menatap Roura dengan serius, lalu perlahan mengangguk. “Ya, aku ingat. Kakek dengan senyuman aneh itu kan?”“Tapi aku tidak yakin,” kata Roura sambil menggaruk kepala, membuat rambutnya yang sudah kusut terlihat semakin berantakan. “Tapi kalau tidak salah ingat, aku melihat telapak tangannya diperban. Dan tato burung hantu di sana. Memang terdengar aneh, dan aku juga merasa tidak yakin jiika memikirkan, dia yang membawa tubuhmu. Tapi … bisa saja, kan?” terka Roura.Sion berdiri tegak, matanya berbinar dengan antusias. “Bagus! Kita punya petunjuk baru. Cepat, Roura, kita harus menemukannya!”R
Bab. 16"Terima kasih banyak, Pak," ucap Roura dengan sopan.Petugas keamanan itu mengangguk pelan, masih menatap Roura dengan raut prihatin. “Semoga hari-harimu membaik, Nona. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”Roura tersentak, tapi memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh. Langkahnya terdengar jelas di sepanjang trotoar yang sepi. Angin dingin Ravendale menyusup di antara celah-celah jaketnya, membuatnya merapatkan resleting, sambil memegang kertas kecil berisi alamat-alamat itu. Di belakangnya, petugas keamanan masih berdiri di tempat, menggelengkan kepala dengan perlahan.“Aku kasihan padanya. Anak muda zaman sekarang terlalu banyak tekanan.” petugas itu menghela napas panjang, lalu kembali ke posnya dengan langkah berat.Sementara Roura terus berjalan dengan cepat, ingin segera menjauh dari sana. “Dia benar-benar menyebalkan.” ucap Roura pelan sambil menendang kerikil kecil di jalan.“Siapa? Aku?” Sion melayang di sampingnya, masih terlihat geli dengan situasi tadi.“B
Bab 17Sion berbisik dari arah belakang, ketika melihat kakek tua itu. “Bukan dia kan orangnya, Rou?”Roura melirik ke arah Sion dan menggeleng pelan. “Bukan.”Roura buru-buru merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah cokelat berbentuk hati. “Aku menjual cokelat, Pak. Untuk Hari Cinta. Mungkin Anda tertarik?” Roura hanya beralasan.Pria itu menatap cokelat di tangan Roura, matanya tiba-tiba melebar. “Cokelat Delight Amour? Itu kesukaan putriku.”Roura terdiam, tapi sebelum dia sempat menjawab, tiba-tiba hujan turun dengan deras, membuat Roura terkejut."Cuaca di kota ini memang aneh, hujan sering turun tiba-tiba, padahal barusan, malam sedang cerah. Masuklah dulu, nak!" Kakek itu menawarkan masuk dengan ramah, membuka pintu lebih lebar. Roura sempat ragu sejenak, tapi akhirnya ia melangkah masuk. Sion masih berbisik di belakang. "Roura! Kita pergi saja, dia bukan orang yang kita cari.""Aku tidak mau bas
Bab. 18Frederick terdiam mendengar alasan putrinya. Suasana di ruangan itu terasa seperti waktu yang berhenti. Louisa mendekat dengan langkah ragu, memegang tangan ibunya seolah merayu, agar ia tidak marah lagi.“Mamah …” panggil Louisa dengan suara yang pelan, tapi ibunya hanya menggeleng, masih menatap Frederick dengan luka yang tak kunjung sembuh.Frederick mencoba melangkah maju, tapi Martha mengangkat tangannya, mengisyarat agar ayahnya berhenti. “Jangan, Ayah. Kau tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu. Kau sudah menghancurkan semuanya.” Frederick meletakkan cokelat yang ia bawa di atas meja. Ia terlihat lebih tua dari sebelumnya, lebih rapuh dan benar-benar hancur, saat tidak mendapatkan maaf dari putri tersayangnya. “Aku benar-benar minta maaf, Martha.”Hening meraja di ruangan itu. Hanya suara napas berat dan gemetar yang memenuhi ruangan. Mike yang melihat istrinya nampak begitu hancur, ia berjalan mendekat.
Bab. 19Di ruang gawat darurat, suasana terasa tegang. Dokter dan perawat bergerak cepat membawa Pak William ke dalam ruang tindakan. Roura berdiri di luar, matanya tidak lepas dari pintu yang tertutup. Sion bersandar di dinding dengan ekspresi malas."Sudah ku bilang tadi, kita pergi saja. Untuk apa peduli pada pria tua itu. Ini membuang waktu kita!" Sion mengomel pada Roura.Roura menatap pria itu dengan kesal. "Kau sudah kehilangan nuranimu, Tuan Sion."Saat perdebatan itu, seorang dokter keluar dan menghampiri Roura. Dengan cepat Roura juga menghampiri Dokter."Pria tua itu mengalami masalah pada jantungnya. Kami akan melakukan tindakan segera. Tapi kami perlu seseorang untuk mengisi dokumen administrasi. Apa Anda keluarganya?" tanya Dokter.Roura tergagap. "Tidak, saya hanya kebetulan ada di tempat, saat dia pingsan."Resepsionis mendekat dengan formulir di tangannya. "Tapi salah satu orang yang menga
Bab. 37Roura menghentikan langkah, matanya menatap tajam ke arah Andrew yang berdiri menjulang di hadapannya. Tawaran pria itu terlalu menggiurkan, tetapi juga mencurigakan."Apa yang Anda bilang tadi? Anda akan memberikan berapa pun yang aku minta?" tanya Roura.Andrew mengangguk dengan penuh keyakinan. "Tentu saja. Berapa pun yang kau butuhkan, tinggal kau sebut saja."Roura terkekeh kecil, ada nada geli dalam tawanya. "Oh ya ampun, ada apa ini? Biasanya Anda sangat galak dan tidak menyukaiku, tapi kenapa tiba-tiba berubah jadi baik?"Andrew melangkah lebih dekat, ekspresinya tetap tenang namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca. "Karena ini adalah kesempatan yang saling menguntungkan, Nona. Jika kau menerima penawaranku, kita berdua akan mendapatkan apa yang kita inginkan."Roura menyipitkan mata, tatapannya penuh kewaspadaan. "Penawaran apa yang Anda tawarkan kepadaku?""Ikutlah denganku dulu. Aku akan me
Bab. 36Roura mendekatkan telinganya ke mulut ayahnya. "Aku siap mendengarkannya, Ayah. Ada hubungan apa ibu dengan seseorang bernama Elisa itu?" "Ibumu... Dia..."Namun sebelum ayahnya sempat menyelesaikan ucapannya, napasnya kembali tersengal dan monitor jantung mulai berbunyi tak beraturan."Ayah! Ada apa, ayah?" Roura sangat panik.Melihat kondisi ayahnya, Roura langsung berlari ke luar untuk mencari bantuan. "Suster! Tolong ayahku!" teriak Roura.Beberapa petugas medis segera menuju ke arahnya, dan segera mengikuti langkah gadis ini. "Maaf, Nona, Anda harus keluar sekarang!" ucap Suster, ketika melihat kondisi pasiennya.Beberapa petugas medis lain menghampiri, memaksa Roura mundur dari sana. Sementara dokter-dokter itu segera melakukan tindakan darurat. Kini Roura hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan itu, ia tidak tahu harus berbuat apa kali ini, sungguh ia sudah sangat bi
Bab. 35Roura terlihat gemetar mendengar ucapan Louisa, dan Sion bisa melihat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Saat Roura akhirnya menutup telepon, wajahnya tampak pucat.Sion langsung bertanya dengan cepat, "Ada apa, Roura?"Roura menelan ludah, suaranya bergetar saat menjawab, "Ayahku... Louisa bilang dia sedang di rumah sakit sekarang... dan kondisinya kritis."Sion terkejut, "Apa? Jadi ayahmu sakit?"Roura mengangguk cepat, "Benar. Aku harus segera ke rumah sakit sekarang juga!"Sion menatapnya dengan ekspresi serius. "Baiklah, aku akan menemanimu. Kita harus segera pergi dari sini."Tanpa membuang waktu, Roura langsung berlari menuju halte bus dan pergi meninggalkan tempat itu.*Setelah melakukan perjalanan hampir dua jam, Roura akhirnya tiba di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ia segera menuju ruang ICU dengan langkah tergesa-gesa. Di ruang tunggu, ia melihat Louisa dan Martha sedang du
Bab. 34Marco dan Andre saling bertukar pandang, terkejut mendengar ucapan itu.Namun, Andre segera bersuara lebih dulu."Apa lagi ini? Kau masih ingin menanyakan soal keberadaan tubuh Sion? Kenapa kau begitu penasaran? Dasar gadis aneh!" Matanya menatap tajam penuh kecurigaan. "Aku curiga kau adalah mata-mata dari pesaing kami."Roura langsung menggelengkan kepala. "Tidak! Bukan itu! Justru aku ke sini untuk memberitahu kalau tubuh Sion—"Tapi tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi.Mulut Roura terbungkam.Seolah ada sesuatu yang tak terlihat menghentikannya berbicara.Mata gadis itu membulat karena terkejut. Lalu, ia menyadari sesuatu…Sion muncul di belakangnya.Tangannya yang tak kasat mata menutupi mulut Roura, mencegah gadis itu mengatakan apapun."Tolong jangan katakan apapun pada mereka," bisik Sion, suara dinginnya bergema di kepala Roura."Aku akan melepaskan tanganku j
Bab. 33Pak Jansen tersenyum getir mendengar pertanyaan Roura. Ia berkata dengan nada berat, "Mungkin jika memang Sion tidak ingin bertemu dengan arwah putriku, aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepadamu atau kepada siapa pun. Karena aku bisa melihat, ikatan batin di antara Sion dan putriku ternyata memang tidak ada."Roura terdiam, mencoba mencerna jawaban pria tua itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Pak Jansen yang mengusik pikirannya. "Tapi, Pak... kenapa di antara mereka harus ada ikatan batin? Apakah mereka memiliki hubungan darah?"Pak Jansen langsung terdiam, ia mendongak ke atas, mencoba menahan air matanya. Seluruh tubuhnya gemetar, dan Liana yang duduk di sampingnya bisa merasakan bahwa suaminya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja."Jansen, apa kau baik-baik saja?" tanya Liana yang langsung berdiri dari duduknya.Pak Jansen hanya diam, wajahnya tampak menegang. Liana meraba-raba udara untuk meraih tangan suaminya, kemudian
Bab. 32Sementara di sisi lain, Roura berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Robin Group. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya, apalagi udara dingin dini hari mulai menusuk kulitnya. Langit masih gelap, hanya diterangi oleh rembulan yang bersinar redup di atas sana. Hari bahkan hampir pagi. Waktu di ponselnya menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tubuhnya sudah terlalu lelah, kedua kakinya terasa berat, dan rasa kantuk mulai menyerangnya. Namun, ia tidak bisa berhenti sekarang."Aku benar-benar kehabisan tenaga," gumamnya sembari menghela napas panjang.Roura terus berjalan sambil menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan semakin sunyi, rasa ngeri mulai merayap di pikirannya. Sementara perjalanan menuju kantor Robin Group masih cukup jauh.Angin malam bertiup dingin, menusuk kulitnya hingga membuatnya merapatkan jaket. Setiap bayangan yang bergerak karena hembusan angin terasa mencurigakan, membuatnya semakin waspada.Tiba-tiba, sua
Bab. 30Sion dan Roura terdiam, bersiap mendengarkan apa yang akan Pak Jansen sampaikan. Pria tua itu menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara.“Ada alasan kenapa Sion bisa terpisah dari tubuhnya,” ucapnya pelan.Roura mengerutkan kening. “Apa alasannya, Pak Jansen?”Pak Jansen tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit, seolah tengah mengingat sesuatu dari masa lalu. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengannya, orang ini sangat ingin bertemu dengan Sion, tapi dia tidak bisa... karena mereka sudah berbeda alam,” jawab Pak Jansen lagi.Roura semakin bingung. “Apa maksud Anda? Siapa seseorang itu? Kenapa dia ingin bertemu dengan Sion? Apakah dia juga sudah meninggal sehingga mereka berada di alam yang berbeda?”Pak Jansen mengangguk perlahan. “Kurang lebih seperti itu, Roura.”Sion yang sejak tadi diam mulai bertanya, walaupun di sana hanya Roura ya
Bab. 29Roura menghentikan langkahnya, lalu menatap dalam ke arah Pak Jansen. Pria tua itu hanya mengangkat bahu dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Roura?”Gadis itu menggeleng. “Entahlah, Pak Jansen. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri.”Pak Jansen mengangguk pelan, memahami kebingungan gadis itu. “Aku tahu bagaimana rumitnya pertanyaan di dalam kepalamu. Kalau begitu, ikuti aku saja. Aku akan segera menunjukkan sesuatu. Tidak perlu banyak bertanya sekarang, nanti kau akan mengerti pelan-pelan.”Roura akhirnya mengangguk. Ia mengikuti pria tua itu melangkah melewati lorong rumah sakit yang tenang. Langkah kakinya bergema samar, berpadu dengan suara alat-alat medis yang berbunyi lembut dari berbagai ruangan.Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah kamar bernomor 307.Pak Jansen membuka pintunya perlahan.Roura masih terdiam begitu melihat siapa yang t
Bab. 28"Tentu saja, aku akan menjawab semua pertanyaanmu," kata Pak Jansen dengan suara beratnya.Roura langsung tersenyum mendengar jawaban itu. "Terima kasih, Pak Jansen. Lalu apa jawaban Anda? Apa Anda tahu sesuatu tentang Sion?" Tetapi pria tua itu tidak menjawab, ia malah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam sudah larut, area sekitar Robin Group masih cukup ramai dengan beberapa karyawan lembur yang masih berlalu-lalang.Pak Jansen menatap Roura dan berkata, "Tapi tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk berbicara. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan memberimu semua jawaban yang kau cari."Roura sempat terdiam. Ajakan itu tentu saja berisiko. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia masih harus pulang ke Kota Mayro. Martha pasti akan marah besar karena ia terlambat. Belum lagi kemungkinan bahaya yang bisa terjadi di jalan. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.Roura meng