Bab. 26
Mendengar pertanyaan itu, Roura menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya.Ia menatap pria tua di depannya yang kini sedang memperbaiki posisi topi kebunnya."Pak Jansen, perkenalkan saya Roura. Saya datang membawa pesan dari Nyonya Liana. Beliau meminta saya memastikan bahwa Anda baik-baik saja, karena Anda tidak pulang ke rumah seperti biasanya."Pak Jansen menghela napas lega dan tersenyum kecil. "Ah, istri saya memang mudah cemas. Terima kasih sudah menyampaikan pesannya, Nona. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan ini. Jika tidak ada hal lain, mungkin Anda bisa kembali dan memberi tahu dia bahwa saya akan segera pulang."Namun, Roura tetap berdiri tegak. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan jawaban tentang Sion. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi."Sebenarnya, ada hal lain yang ingin saya tanyakan... sesuatu yang sangat penting. Tapi saya khBab. 27Sementara ituRoura duduk di sofa ruangan itu, pandangannya menjelajahi ruangan yang tertata rapi. Meja kerja dengan berkas-berkas yang tersusun rapi, juga rak buku yang penuh dengan dokumen, serta hiasan dinding yang minimalis tetapi terlihat mahal. Gadis ini menghela napas panjang, merasa sedikit kosong di tengah keheningan itu."Entahlah, kenapa Sion tidak menemaniku sepanjang hari ini? Bukankah dia yang terus mendesakku untuk bertemu dengan Pak Jansen? Tapi sekarang, di saat aku membutuhkannya, dia malah tidak mau muncul. Dasar hantu menyebalkan."Mata Roura menatap jam dinding yang berdetak perlahan. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10.00 malam. Roura memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gundah. "Aku belum kembali ke Mayro di jam segini. Aku pasti akan pulang telat lagi, dan Martha pasti akan marah padaku. Dia selalu bilang aku bodoh dan tidak bertanggung jawab."Namun,
Bab. 28"Tentu saja, aku akan menjawab semua pertanyaanmu," kata Pak Jansen dengan suara beratnya.Roura langsung tersenyum mendengar jawaban itu. "Terima kasih, Pak Jansen. Lalu apa jawaban Anda? Apa Anda tahu sesuatu tentang Sion?" Tetapi pria tua itu tidak menjawab, ia malah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam sudah larut, area sekitar Robin Group masih cukup ramai dengan beberapa karyawan lembur yang masih berlalu-lalang.Pak Jansen menatap Roura dan berkata, "Tapi tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk berbicara. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan memberimu semua jawaban yang kau cari."Roura sempat terdiam. Ajakan itu tentu saja berisiko. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia masih harus pulang ke Kota Mayro. Martha pasti akan marah besar karena ia terlambat. Belum lagi kemungkinan bahaya yang bisa terjadi di jalan. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.Roura meng
"Aaah!" seorang pria berteriak, saat sebuah mobil truk melaju kencang ke arahnya. Ia yakin kalau mobil itu pasti akan menabrak tubuhnya.Brak!Benar saja truk itu menabrak tubuhnya, seharusnya tubuhnya terlempar dan hancur.Tapi... Ada yang aneh, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Mobil truk itu tetap melesat menjauh. Tidak ada darah sedikitpun, tidak ada orang yang berteriak. Semua terlihat baik-baik saja."Apa yang terjadi padaku? Kenapa dengan diriku?" pria itu menatap tangannya sendiri, merasa semakin bingung dengan apa yang terjadi padanya.Sion Alexander Robin, seorang pria dengan reputasi yang tak tertandingi, adalah CEO utama dari Robin Group, sebuah perusahaan raksasa yang berada di kota Mayro.Namun dua hari terakhir, dunia di sekitarnya terasa tidak normal lagi. Orang-orang kini berjalan melewatinya seolah dia tidak ada. Setiap kali Sion mencoba berbicara, suara yang keluar dari mulutnya, seperti tidak terdengar. Tangannya yang dulu menggenggam kendali perusahaan bes
Bab. 2 Dua hari laluLangit kota Mayro tiba-tiba merah, asap tebal membumbung tinggi ke langit malam yang gelap, disusul ledakan yang mengguncang tanah. Gedung Robin Group, ikon megah kota sekaligus pusat dari perusahaan raksasa dunia, kini terbakar hebat. Api menjalar liar, melahap setiap jendela kaca dengan bunyi pecahan yang menyakitkan telinga."Tolong! Tolong!"Jeritan dan teriakan menggema di setiap sudut jalan. Orang-orang dalam gedung berlarian tak tentu arah, berusaha mencari perlindungan. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung memecah malam, diikuti deru kendaraan ambulans yang bergegas menuju lokasi.“Kami membutuhkan bantuan tambahan! Gedung ini bisa runtuh kapan saja!” Suara-suara panik terdengar di mana-mana, para petugas damkar dan Polisi bekerja sama menyelamatkan orang-orang yang terjebak.Beberapa helikopter berita nasional melayang rendah, mengirimkan siaran langsung ke seluruh pelosok kota dan negeri. "Kami melaporkan langsung dari lokasi kejadian! Gedung Robi
Pak Will. Dengan gerakan cepat mendorong pintu itu, ia melangkah masuk dengan wajah penuh cemas. Dan memindai ruangan itu, tapi tidak melihat apapun atau siapa pun di sana selain Roura yang berdiri dengan napas memburu.“Mana orangnya?!” tanya Pak Will mendesak.Roura masih terengah-engah, langsung menunjuk ke samping, ke arah tempat Sion berdiri beberapa detik yang lalu. “Dia ada di sana!”Pak Will menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun yang bisa ia lihat.Roura juga segera menoleh ke arah yang sama, ia terkejut mendapati Sion sudah tidak ada di sana. Hanya udara kosong yang menyambut tatapannya.Kini wajah Pak Wiil terlihat marah, ia menghela Nafas mencoba bersabar dengan sikap gadis ini.“Roura? Apa kau sedang mencoba bercanda denganku? Karena ini sama sekali tidak lucu.”“Tapi ... tapi tadi dia ada di sini!” jawab Roura panik, menunjuk ke ruang kosong itu lagi.Pak Will menatapnya dengan tajam, menahan marahnya sekuat tenaga. Lalu pria ini me
Roura segera mengambil kain sembarangan, untuk menutup tubuhnya lebih rapat. Ia melirik ke sekeliling kamar, mencoba mencari alasan masuk akal mengapa Sion bisa masuk ke dalam kamarnya.Sion tertawa terbahak, melihat Roura yang ketakutan sambil menutup seluruh tubuhnya. Seolah Sion adalah penjahat yang akan merenggut kesucinnya."Hey, ayolah ... Aku hanya ingin tidur di sini," jawab Sion tanpa rasa bersalah."Kurang ajar, kau tidak bisa sembarangan tidur di kamar ku! Apalagi kau lihat aku dalam keadaan seperti ini!"Roura marah lagi, sementara Sion hanya mengangkat alis, sambil tertawa lagi. Pria ini berjalan mendekat ke arah Roura, membuat gadis itu agak ketakutan. Apalagi tubuh tegap Sion terlihat sangat kuat, pasti ia bisa menarik kain yang melilit tubuh Roura dengan mudah. "Tolong jangan tatap aku seperti itu, tuan!" pinta Roura."Seperti apa maksudmu, Roura? Aku hanya melihat seorang manusia yang habis mandi dan terlihat marah."Roura berjalan mundur, sementara Sion terus berj
Roura menatap Sion dengan kesal, seperti baru saja mendengar lelucon paling tidak lucu di dunia. "Tunggu, jadi sekarang aku terjebak dengan hantu CEO yang punya ego sebesar menara Eiffel? Dan logika seperti anak usia lima tahun? Fantastis. Hidupku benar-benar luar biasa."Sion mengangkat bahu dengan ekspresi tak berdosa. Ia menertawakan kekesalan Roura dan baru saja mengeluhkan hidupnya."Yah, kau sangat beruntung sebenarnya. Jarang sekali aku datang untuk meminta bantuan pada orang lain."Sungguh sikap Sion terlalu menyebalkan bagi Roura, gadis ini mendengus kesal. Menggelengkan kepala tak percaya dengan nasib aneh yang menimpa dirinya."Maaf, tuan Sion yang terhormat. Tapi aku terlalu sibuk dengan kemiskinanku untuk peduli. Jadi pergilah!"Sion mendekat, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Roura. Tapi kali ini Roura tidak takut lagi, dia menatap Sion dengan berani, membuat Sion tertawa kecil."Keluar dari sini! Atau aku akan ....""—Berteriak? Dan mengundang
Roura menghela nafas lelah. "Baiklah, kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" "Temukan tubuhku, dan pastikan aku sudah mati atau belum," jawab Sion, kali ini ia bicara serius tanpa sebuah senyuman.Roura agak bingung dengan permintaan itu. "Bagaimana aku tau soal tubuhmu, tuan Sion?"Sion berdiri dari sana, menatap jauh ke depan, seolah akan mengatakan sebuah strategi yang sangat penting."Kamu harus melakukan penyelidikan, cari tau dimana tubuhku berada. Dan ingat, Kau harus mulai melakukan penyelidikan ini secepatnya,” perintah Sion.Roura tertawa kecil sambil melipat tangan. “Hari ini aku harus bekerja.”Sion mendadak meledak dalam tawa, seperti baru mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya—atau kematiannya. “Lupakan pekerjaan dengan gaji kecil itu, Rou,” kata Sion.Roura menatapnya tajam, lalu menggelangkan kepala. “Yang kau bilang kecil itu, Tuan Kaya Raya. Itu cukup untuk menghidupiku, tahu.”“Oh, ya? Berapa gajimu di sana, kalau boleh tahu? Satu digit? Dua digit? Atau sek
Bab. 28"Tentu saja, aku akan menjawab semua pertanyaanmu," kata Pak Jansen dengan suara beratnya.Roura langsung tersenyum mendengar jawaban itu. "Terima kasih, Pak Jansen. Lalu apa jawaban Anda? Apa Anda tahu sesuatu tentang Sion?" Tetapi pria tua itu tidak menjawab, ia malah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam sudah larut, area sekitar Robin Group masih cukup ramai dengan beberapa karyawan lembur yang masih berlalu-lalang.Pak Jansen menatap Roura dan berkata, "Tapi tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk berbicara. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan memberimu semua jawaban yang kau cari."Roura sempat terdiam. Ajakan itu tentu saja berisiko. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia masih harus pulang ke Kota Mayro. Martha pasti akan marah besar karena ia terlambat. Belum lagi kemungkinan bahaya yang bisa terjadi di jalan. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.Roura meng
Bab. 27Sementara ituRoura duduk di sofa ruangan itu, pandangannya menjelajahi ruangan yang tertata rapi. Meja kerja dengan berkas-berkas yang tersusun rapi, juga rak buku yang penuh dengan dokumen, serta hiasan dinding yang minimalis tetapi terlihat mahal. Gadis ini menghela napas panjang, merasa sedikit kosong di tengah keheningan itu."Entahlah, kenapa Sion tidak menemaniku sepanjang hari ini? Bukankah dia yang terus mendesakku untuk bertemu dengan Pak Jansen? Tapi sekarang, di saat aku membutuhkannya, dia malah tidak mau muncul. Dasar hantu menyebalkan."Mata Roura menatap jam dinding yang berdetak perlahan. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10.00 malam. Roura memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gundah. "Aku belum kembali ke Mayro di jam segini. Aku pasti akan pulang telat lagi, dan Martha pasti akan marah padaku. Dia selalu bilang aku bodoh dan tidak bertanggung jawab."Namun,
Bab. 26Mendengar pertanyaan itu, Roura menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia menatap pria tua di depannya yang kini sedang memperbaiki posisi topi kebunnya. "Pak Jansen, perkenalkan saya Roura. Saya datang membawa pesan dari Nyonya Liana. Beliau meminta saya memastikan bahwa Anda baik-baik saja, karena Anda tidak pulang ke rumah seperti biasanya."Pak Jansen menghela napas lega dan tersenyum kecil. "Ah, istri saya memang mudah cemas. Terima kasih sudah menyampaikan pesannya, Nona. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan ini. Jika tidak ada hal lain, mungkin Anda bisa kembali dan memberi tahu dia bahwa saya akan segera pulang."Namun, Roura tetap berdiri tegak. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan jawaban tentang Sion. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi."Sebenarnya, ada hal lain yang ingin saya tanyakan... sesuatu yang sangat penting. Tapi saya kh
Bab. 25Suara bel itu, membuat Roura langsung beranjak dari tempat duduknya dengan penuh semangat. “Nyonya, biar aku saja yang membuka pintu. Mungkin itu suami Anda,” ujar Roura sambil tersenyum penuh harap.Nyonya Liana, yang duduk tenang di kursinya, tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, silakan, Roura.”Roura segera menuju pintu dan membukanya dengan cepat. Namun, ekspresi wajahnya berubah kecewa, ketika melihat siapa yang berdiri di depan. Bukan Pak Jansen, melainkan seorang wanita tua yang tampak seusia dengan Nyonya Liana.Wanita tua itu memicingkan matanya, tampak bingung. “Siapa Anda?” tanyanya dengan nada curiga.Roura sempat kebingungan, namun sebelum ia sempat menjawab, Nyonya Liana yang berada di ruang tamu mengenali suara itu. “Lisa? Apakah itu kamu?” Wanita tua yang ternyata bernama Lisa itu mengangguk. “Iya, ini aku, Liana. Aku melihat lampu depan rumahmu belum menyala. Apa suamimu belum pu
Bab. 24Roura duduk di dekat jendela, memandangi pemandangan yang berlalu di sisi jalan dengan tatapan kosong. Langit siang yang cerah, perlahan berubah menjadi kelabu saat awan menggantung berat di cakrawala."Lihatlah, waktu begitu cepat berlalu. Tapi hidupku belum juga ada perubahan," gumam Roura sambil menghela napasnya dengan berat.Beberapa penumpang turun satu per satu di halte-halte kecil, dan bus perlahan semakin sepi. Ketika akhirnya bus tiba di pinggiran kota Ravendale, matahari sudah mulai condong ke barat. Bus berhenti dengan suara decitan rem yang panjang, dan sopir yang sudah tua itu melirik Roura sekilas."Nona, kita sudah sampai di halte terakhir," ucap sopir itu singkat."Oh, iya, kah?" Roura berdiri dengan tergesa, memegangi tasnya erat-erat saat menuruni tangga. Sopir itu menggeleng kepala. "Dia cantik dan masih muda, tapi sepertinya beban pikirannya terlalu berat," ucap sang sopir, m
Bab. 23Kakek hantu itu menoleh perlahan, matanya memandang Sion dengan senyum kecil. “Tentu saja, aku bisa menceritakan banyak hal tentang wanita itu.”Sion memiringkan kepalanya, menajamkan pendengarannya. “Baiklah, tolong ceritakan apa yang kau tahu.”Kakek itu tertawa kecil, suaranya seperti bisikan angin yang berputar lembut. “Aku ingin menceritakannya, tapi sayangnya, tidak bisa untuk saat ini.”Dahi Sion berkerut, rasa frustrasi mulai terasa lagi di benaknya. “Kenapa tidak bisa? Apa yang menahanmu?”“Karena pagi hampir tiba,” jawab kakek itu sambil melirik ke arah timur, tempat warna fajar mulai merayap di balik gedung.Sion mengikuti pandangannya, lalu menatap kembali kakek itu dengan alis terangkat tinggi. “Benarkah? Apakah kau takut pada matahari? Apa benar hantu akan terbakar jika terkena sinarnya?”Tawa kakek itu meledak, menggema seolah mengisi ruang kosong di antara mereka. “Tidak, tidak, bukan begitu, nak.
Bab. 22Ketika Roura sedang berdiri dalam dilema, tatapannya terpaku pada punggung Pak Jansen yang perlahan menjauh, tiba-tiba suara seorang penumpang di bus memecah lamunannya."Hei, Nona! Apa kau mau berdiri saja di situ atau mau naik? Kami akan segera pergi!"Roura tersentak. Gadis ini refleks, ia melangkah ke dalam bus. Pintu langsung tertutup dengan suara mekanis yang tegas di belakangnya, menandai keputusan yang kini tak bisa diubah lagi. Roura menghela napasnya untuk menenangkan diri akan keputusan yang ia ambil, gadis ini memilih tempat duduk di dekat jendela, agar pandangannya bisa tetap terarah ke trotoar. Di mana Pak Jansen berjalan tertatih di sana, perlahan semakin jauh dari pandangan mata Roura.Roura berusaha memperhatikan pergelangan tangan kanan pria tua itu, mencoba mencari tanda yang sangat penting dalam misi ini— sebuah tato burung hantu juga bekas luka yang mungkin bisa terlihat.Tapi dari jarak ini, Roura t
Bab 21Setelah melihat foto-foto di dinding, Sion menguatkan hati, melangkah lebih jauh ke dalam rumah yang seakan merangkulnya dengan kehampaan. Setiap sudut seperti menyimpan cerita sunyi. Sion memasuki ruang keluarga yang cukup luas dan terlihat perabotan antik berdiri di sana, seperti saksi bisu waktu yang membeku. Sebuah jam dinding besar berdetik pelan di sudut ruangan, menjadi satu-satunya yang mengisi keheningan.Perhatian Sion tertarik pada sebuah meja kayu dengan permukaan yang sudah retak. Di atasnya, terdapat foto keluarga dengan wajah-wajah yang tampak tidak asing. Sion memperhatikan bingkai foto itu dengan tatapan penuh tanya. Karena sosok kecil di foto itu adalah dirinya sendiri, bahkan ketika ia masih menjadi balita. "Foto ini? Aku mengenal foto ini," ucap Sion pada dirinya sendiri.Di sebelah kiri foto balita itu, berdiri pria dewasa yang merupakan ayahnya, tetapi di sisi kanan, ada seorang pria asing yang iku
Bab. 20Roura tidak terlalu peduli dengan peringatan Sion, gadis ini hanya mengangguk dan memenuhi ajakan Marco."Tentu saja, tuan Marco. Ini suatu kehormatan." "Kalau begitu mari kita ke runah sakit, aku harus melihat juga kondisi karyawan ku. Mari," ajak Marco.Mereka tiba di depan mobil Marco, Roura berhenti mendadak. Di depannya, bukan sebuah mobil biasa, melainkan limosin mewah berwarna hitam mengkilap, dengan dua penjaga berdiri tegak di setiap sudutnya. Mata Roura membesar.Seorang penjaga membuka pintu limosin dengan anggun, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. Marco tersenyum santai, melambaikan tangan ke arah pintu. "Silakan naik, Nona."Dengan ragu, Roura melangkah masuk ke dalam limosin. Begitu duduk, mulutnya hampir terbuka lebar. Interiornya sangat mewah—kursi dari kulit halus, lampu kecil yang memberikan penerangan lembut, dan sebuah meja kecil yang dilengkapi dengan cangkir teh porselen indah, serta teko teh berwarna emas dengan ukiran klasik."Wow," mat