Farhan duduk di kursi kayu di teras rumah aman itu, menatap hampa ke arah pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin sore. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi ia tak peduli. Pikirannya tak berhenti berputar sejak pagi. Sekarang semuanya sudah selesai-perang itu, ancaman Victor, dan semua ketakutan yang menghantui mereka. Tapi ia tahu, luka yang ia alami, baik di tubuh maupun di hati, tak akan sembuh begitu saja. "Mas, kamu nggak kedinginan?" Aisyah muncul dari dalam rumah, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya yang lembut dan penuh kasih tampak khawatir. Ia tahu betul suaminya sedang memikirkan sesuatu yang berat. Farhan menggeleng pelan, tapi senyumnya kaku. "Nggak, aku nggak apa-apa. Kamu duduk sini aja." Aisyah meletakkan cangkir teh di meja kecil di depan Farhan, lalu duduk di kursi sebelahnya. Ia menggenggam tangan Farhan, mencoba menghadirkan sedikit kehangatan. "Mas, aku tahu kamu nggak apa-apa itu biasanya bohong. Mau cerita?" Farha
Malam itu, setelah panggilan telepon dari Adnan, Farhan duduk termenung di ruang tamu. Lampu gantung kecil di atas meja menyinari wajahnya yang tampak lelah. Aisyah keluar dari kamar, membawa secangkir teh hangat. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya. "Mas," panggil Aisyah lembut sambil meletakkan cangkir di meja. "Kamu nggak tidur?" Farhan menggeleng pelan. "Aku cuma lagi mikir, Aisyah." Aisyah duduk di sampingnya, menatap wajah Farhan yang terlihat lebih tua dari usianya. "Mas Adnan lagi, ya?" Farhan menghela napas panjang. "Iya. Dia bilang ada masalah. Tapi aku udah bilang ke dia, aku nggak mau terlibat lagi." Aisyah menggenggam tangan Farhan, mencoba memberikan kekuatan. "Mas, kamu udah janji sama aku. Kita mulai hidup baru, jauh dari semua itu. Aku percaya kamu bisa." Farhan menatap mata Aisyah, menemukan ketenangan di sana. "Aku tahu, Aisyah. Aku cuma ... kadang susah buat ninggalin semuanya. Tapi aku janji, aku nggak akan kembali." Aisyah tersenyum kecil.
"Farhan," suara berat dari ujung telepon terdengar. Itu suara Adnan. "Ada apa, Dan?" "Kita punya masalah baru," ujar Adnan dengan nada serius. "Lo harus datang ke markas sekarang. Ini darurat." Farhan terdiam, tangannya mengepal kuat. Ia tahu ketenangan yang ia rasakan tidak akan bertahan lama. Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai jendela. Farhan duduk di ruang tamu, menikmati secangkir kopi hitam yang uapnya masih mengepul. Di depannya, Aisyah sedang sibuk menyelesaikan sarapan mereka. Aroma nasi goreng sederhana yang dimasak istrinya memenuhi ruangan, membawa rasa damai yang sudah lama tidak ia rasakan. "Mas, kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Aisyah sambil meliriknya. Gerakan tangannya berhenti sejenak, sendok yang ia pegang menggantung di atas wajan. Farhan mengangguk pelan. "Aku yakin, Sayang. Aku udah bilang kan, aku mau berhenti dari semua itu. Nggak ada lagi bahaya, nggak ada lagi darah." Suaranya tegas, tapi ada kelembutan dalam setiap katanya. Aisyah m
Farhan duduk di kursi kayu di teras rumah aman, matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin. Matahari sore mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga di langit. Suara pelan burung-burung yang pulang ke sarangnya menenangkan, kontras dengan apa yang telah ia alami beberapa hari terakhir. Luka di lengan kirinya masih terasa perih, meski perban sudah diganti pagi tadi oleh Aisyah. "Mas, kamu sudah minum obat?" suara lembut Aisyah terdengar dari dalam rumah. Tak lama, ia muncul dengan nampan kecil di tangannya, membawa segelas air dan beberapa tablet obat yang harus diminum Farhan. Farhan menoleh, lalu tersenyum tipis. "Belum. Aku baru mau ambil sendiri." Aisyah mendekat, duduk di kursi sebelah suaminya. "Kalau nunggu kamu yang ambil obat sendiri, sampai besok juga nggak bakal diminum," ujarnya sambil menyodorkan gelas dan obat di tangannya. Farhan tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar lelah. "Kamu ta
Farhan berdiri di depan timnya. Wajahnya keras, matanya menatap tajam ke peta yang terbentang di meja. Semua orang di ruangan itu-Arman, Adnan, Haris, dan anggota Tim Operasi Bayangan-menunggu instruksinya. Di luar, malam begitu sunyi, seolah alam pun tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan. "Kita cuma punya satu kesempatan," suara Farhan terdengar tegas, menggetarkan para pendengarnya. "Markas terakhir Victor ada di sini." Ia menunjuk sebuah titik pada peta. "Ini benteng terakhir mereka. Kalau kita bisa masuk, operasi mereka selesai. Tapi kalau gagal, kita semua tahu apa yang bakal terjadi."Adnan menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat tangan di dada. "Lo yakin informasi dari intelijen kali ini akurat? Jangan-jangan ini cuma jebakan lagi, kayak waktu itu."Farhan mengangkat pandangannya ke Adnan. "Gue udah cek semuanya, Dan. Informasi ini solid. Gue nggak akan bawa kalian ke sana kalo gue nggak yakin."Arman, yang duduk di sebelah Adna
Farhan mengabaikan rasa sakit di bahunya yang terluka. Darah mengalir pelan, membasahi lengan bajunya, tapi dia tetap berdiri tegak. Adnan menatapnya dengan cemas, sementara Yadi hanya diam, wajahnya penuh rasa bersalah. "Lo nggak apa-apa, Han?" tanya Adnan lagi, kali ini lebih tegas. Farhan mengangguk pelan. "Aku masih bisa jalan. Kita harus keluar dari sini sebelum Victor balik dengan bala bantuan." Safira, yang berdiri di dekat pintu, menatap Farhan dengan mata berkaca-kaca. "Om, kita harus buru-buru. Aku dengar suara langkah kaki di bawah." Farhan mengangguk. "Kamu benar. Kita nggak punya banyak waktu." Dia membantu Adnan berdiri, sementara Yadi sudah lebih dulu bangkit dari kursinya. Mereka bergerak cepat keluar dari ruangan itu, menyusuri lorong gelap yang penuh dengan bau debu dan besi tua. Di luar pabrik, malam semakin larut. Angin dingin menusuk kulit, tapi itu bukan masalah bagi mereka. Yang terpenting a