Angin malam berhembus lembut, seperti bisikan yang tak bisa dimengerti, menyentuh wajah Farhan yang kini berdiri di balkon rumahnya. Matanya kosong, menatap ke arah kegelapan yang terhampar di depan. Hatinya sedang berkecamuk, terbagi antara dua dunia yang begitu bertolak belakang. Di satu sisi, ada Aisyah, istrinya, yang dia cintai dengan sepenuh hati. Di sisi lain, ada Safira, anak yang kini dia yakini sebagai darah dagingnya, anak yang harus ia lindungi, meskipun kenyataan itu datang begitu tiba-tiba.
"Farhan ...," Suara Aisyah memecah keheningan malam, lembut namun penuh pertanyaan.Farhan menoleh. Aisyah berdiri di ambang pintu, matanya yang biasanya penuh cahaya kini tampak redup, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Farhan menahan napas. Ia tahu, Aisyah sedang berjuang melawan perasaan yang sama beratnya."Aisyah ...," Farhan menyebut nama istrinya pelan, hampir seperti bisikan. "Kita harus bicara."Aisyah mengangguk pelan, lalu meSuara langkah kaki semakin mendekat. Farhan berdiri tegak di ruang tamu kecil itu, menggenggam senjatanya erat. Matanya tajam, penuh tekad. Di sampingnya, Arman berdiri dengan napas berat, tangan kanannya memegang pisau kecil yang ia temukan di dapur. Mereka tahu, ini bukan sekadar ancaman biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. "Han," suara Arman terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kita nggak bisa terus-terusan begini. Mereka pasti tahu kita di sini." Farhan mengangguk tanpa menoleh. "Aku tahu, Man. Tapi kita nggak punya pilihan. Kalau kita keluar sekarang, mereka bakal habisi kita." Di dalam kamar, Aisyah memeluk Safira erat. Gadis kecil itu tampak ketakutan, wajahnya pucat. Aisyah berusaha menenangkan, meski hatinya sendiri penuh kecemasan. "Safira, Sayang, dengar Tante. Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap di sini, ya? Jangan keluar sampai Tante bilang aman." Safira mengangg
Suara sirene semakin menjauh, meninggalkan keheningan yang terasa berat di udara. Farhan memacu mobil dengan kecepatan sedang, memastikan mereka tidak menarik perhatian. Di kursi belakang, Safira tertidur dengan kepala bersandar di bahu Aisyah. Wajah kecilnya terlihat damai, meski Farhan tahu, di balik itu semua, trauma yang dialami anak itu tidak akan mudah hilang.Arman duduk di samping Farhan, diam. Tangannya mengepal di atas lutut, matanya menatap lurus ke depan. Tapi Farhan tahu, pikiran adiknya sedang berkecamuk."Man," Farhan memecah keheningan, suaranya rendah. "Kita hampir sampai. Tempat ini aman. Aku percaya sama orang ini."Arman mengangguk pelan, tapi tidak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan dirinya sendiri. Farhan meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan.****Setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah rumah tua di pinggir hutan. Rumah itu terlihat sederhana, dengan cat yang mulai p
Malam itu, suasana rumah Farhan terasa sunyi. Safira sudah tertidur di kamar, sementara Aisyah sibuk di dapur menyiapkan teh hangat untuk Farhan dan Arman yang sedang berdiskusi di ruang tamu. Adnan duduk di sudut ruangan, memeriksa peta digital di tablet kecilnya. Wajahnya serius, seperti biasa."Han, aku masih nggak yakin soal lokasi server itu," ujar Arman sambil mengusap wajahnya. "Kalau kita salah langkah, mereka bisa lebih dulu menghancurkannya."Farhan menghela napas panjang. "Aku tahu, Man. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kita harus bergerak cepat."Adnan menatap mereka berdua. "Kita nggak bisa gegabah. Kalau sampai mereka tahu kita mendekati lokasi itu, Safira bisa jadi target utama."Farhan menoleh ke arah Adnan, matanya tajam. "Makanya kita harus pastikan Safira aman dulu. Aku nggak akan biarkan mereka menyentuhnya."Aisyah muncul dari dapur, membawa nampan berisi cangkir teh. "Farhan, kamu yakin nggak mau minta bantuan tam
Ledakan kecil yang mengguncang rumah Farhan membuat malam itu berubah menjadi mimpi buruk. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu, dan suara langkah kaki terdengar dari luar, semakin mendekat. Farhan segera meraih pistol yang disembunyikan di dalam laci meja, lalu memberikan isyarat kepada Adnan dan Arman."Cepat ke lantai atas. Amankan Safira," perintah Farhan dengan suara rendah tapi tegas.Arman, yang awalnya terpaku mendengar suara itu, langsung bergerak. Kegelisahan terlihat jelas di wajahnya. "Safira ...," gumamnya sambil berlari ke arah tangga.Aisyah keluar dari dapur dengan wajah panik. "Farhan, apa yang terjadi?"Farhan menatap istrinya sekilas, lalu mendekat. "Aisyah, kamu ikut Arman ke atas. Lindungi Safira. Jangan keluar sampai aku bilang aman.""Tapi, Han-""Nggak ada tapi. Cepat ke atas!" bentaknya, meski suaranya tetap terkontrol. Aisyah menelan ludah, lalu mengangguk sebelum berlari menyusul Arman.Adnan s
Malam itu, suasana rumah Farhan terasa sunyi. Lampu ruang tamu yang temaram memancarkan aura tenang, tetapi di balik dinding-dinding rumah itu, ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Arman duduk di sofa, wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Di hadapannya, Farhan berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya serius, seakan memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya."Aku masih nggak percaya kita bisa sampai di titik ini," ujar Arman, suaranya berat. "Semua ini ... Ratna, Safira, dan sekarang organisasi itu."Farhan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mau nggak mau, kita harus hadapi ini, Man. Kalau kita terus lari, mereka nggak akan berhenti. Safira bisa jadi korban."Arman terdiam. Kata-kata Farhan selalu tepat sasaran, meski terkadang terasa seperti tamparan. Dia menunduk, memandangi secangkir kopi di atas meja. "Aku cuma nggak tahu apakah aku bisa melindungi Safira. Dia masih kecil, Han. Dia nggak tahu apa-apa soal ini semua."
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar rumah Farhan. Setelah kejadian mencekam di rumah sakit, mereka memutuskan untuk sementara waktu tinggal bersama di rumah besar Farhan yang terletak di pinggiran kota. Meski sederhana dibandingkan properti lain yang dimilikinya, rumah ini tetap terasa nyaman, terutama dengan pemandangan kebun luas di belakangnya. Safira sedang duduk di lantai ruang keluarga, bermain dengan boneka kecil yang diberikan Farhan. Wajahnya tampak ceria, tapi sesekali ia melirik ke arah ayahnya, Arman, yang duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ada sesuatu di wajah Arman yang membuat Safira tahu bahwa pria itu sedang memikirkan hal berat. "Safira, sayang. Kamu lapar?" suara lembut Farhan memecah keheningan. Ia baru saja selesai membuat teh di dapur, membawa nampan kecil berisi cangkir dan beberapa kue kering. Safira menggeleng kecil, namun matanya berbinar saat melihat kue di tangan Farhan. "Aku mau kuenya aja, O
Lorong rumah sakit malam itu terasa begitu sunyi, tapi ada sesuatu yang mencurigakan di udara. Farhan berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan wajah serius. Sebuah panggilan telepon baru saja ia tutup. Ia menoleh ke arah Arman yang sedang duduk di sofa kecil sambil menemani Safira yang tertidur lelap di pangkuannya."Arman," kata Farhan, suaranya rendah tapi tegas. "Mereka bergerak."Arman mengangkat wajahnya, matanya tajam. "Kamu yakin?"Farhan mengangguk pelan. "Barusan aku dapat kabar dari Jamil. Mereka sudah dekat. Kemungkinan besar, mereka akan menyerang malam ini."Arman menghela napas panjang. Ia memandangi Safira yang terlelap dengan wajah polos, tak tahu apa-apa soal bahaya yang mengancam. "Kita nggak bisa biarkan mereka sampai ke sini, Han. Safira harus selamat."Farhan merapatkan jaketnya, lalu berjalan ke arah pintu. "Aku sudah hubungi polisi. Mereka bilang butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke sini. Tapi kita ta
Suasana di ruang tunggu rumah sakit masih dipenuhi ketegangan. Farhan duduk dengan pandangan kosong, sementara Arman bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Wajah lelah mereka terlihat jelas, tetapi pikiran mereka terlalu sibuk untuk memikirkan rasa kantuk atau kelelahan fisik. Kabar dari dokter tadi masih terngiang di kepala mereka."Safira selamat ... tetapi kondisinya sangat kritis."Farhan menghela napas panjang, kedua tangannya mengepal erat di lutut. Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Pikirannya berputar-putar, memutar kembali semua yang terjadi malam itu. Jamil yang gugur, Safira yang terluka, dan Arman yang akhirnya berhasil ia selamatkan. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir.Arman menatap saudaranya. Ia tahu Farhan sedang menyalahkan dirinya sendiri. "Farhan," panggilnya pelan.Farhan membuka matanya perlahan, menoleh ke arah Arman. "Ya?" suaranya terdengar berat."Aku tahu ap
Udara malam terasa dingin menusuk tulang, tetapi itu tidak mengurangi tekad Farhan dan timnya. Mereka berjalan dengan langkah hati-hati di sekitar pabrik tua yang gelap dan sunyi, hanya ditemani suara angin yang berdesir pelan. Cahaya bulan samar-samar menerangi area sekitar, cukup untuk membuat mereka melihat jalan, tetapi tidak terlalu terang hingga keberadaan mereka mudah terdeteksi.Farhan berhenti di belakang sebuah dinding beton yang sudah mulai retak. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat kepada timnya untuk berhenti. "Haris," bisiknya pelan. "Cek area sekeliling. Pastikan tidak ada penjaga yang berkeliaran."Haris mengangguk tanpa suara, lalu bergerak dengan tubuh merendah ke arah yang ia tuju. Sementara itu, Farhan, Adnan, dan Jamil tetap di tempat, mengawasi dengan penuh kewaspadaan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detiknya membuat ketegangan di dada mereka semakin berat.Ketika Haris kembali, wajahnya tampak serius. "Ada dua penjaga