Entah sudah berapa kali Johan memaksa Lira untuk memuaskan hasratnya. Selama hampir satu minggu Lira terkurung di dalam kamarnya sendiri yang berubah bak neraka dunia.
"Lir, kenapa kau enak sekali ?" suara Johan yang berada di atas dan tengah berbisik di telingannya membuat Lira gemetar dengan air mata yang meleleh deras.
Lira sangat syok. Begitu syok sampai ia tidak bisa berbicara dan bertingkah seperti anak kecil yang ketakutan tiap waktu.
Lira juga menjadi takut melihat sosoknya sendiri di cermin. Ia akan menjerit-jerit seperi orang gila saat tak sengaja melihat pantulan wajahnya di kaca.
Bahkan untuk makan pun Lira tak sanggup, kecuali di bawah ancaman Johan dan lelaki itu pula yang menyuapinya sedikit demi sedikit.
Hidup normal Lira serasa hilang dalam sekejam. Dan di gantikan mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan.
Lira berbaring telentang dengan mata
Lira berteriak histeris saat Johan menjulurkan tangan untuk meraihnya. Dia kembali menangis dan berusaha untuk melepaskan diri. Johan tersenyum lebar tanpa mau melepas pegangan tangannya pada pergelangan lengan Lira. "Ada apa Lira sayang ?" tanyanya ringan. Lira makin keras berteriak. Di pukulinya berkali-kali dada dan pundak Johan agar lelaki itu menjauh darinya. Tapi itu hanya serasa seperti kibasan ringan yang membuat Johan tertawa geli. "Ayo makan." wajah tampan dan suara ramah Johan masih terpampang di hadapan raut wajah Lira yang basah oleh air mata dan raut ketakutan. "Aku akan menyuapi mu, ya ?" Johan tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi dan tak bercela. Lira mengeleng berkali-kali dengan suaranya yang mirip cicitan tikus karena begitu memelas dalam upaya melepaskan dirinya yang tak mungkin berhasil. Senyum Johan makin sumringah. Ia mel
Hujan rintik-rintik mengiringi kepulangan suami istri Prawira yang baru saja memarkirkan mobilnya di depan rumah.Supir pribadi mereka bergegas turun membukakan pintu untuk Sang Majikan."Selamat datang Tuan, Nyonya." Dua orang Pelayan wanita sudah menunggu untuk membawakan barang-barang mereka.Aji yang baru turun dari mobil mengerenyit. "Aku tidak pernah melihat kalian." ia berkata."Ada apa ?" tanya Liana yang terhalang Suaminya karena berhenti mendadak.Kedua Pelayan itu masih menunduk, pura-pura sibuk membantu si Supir yang mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil."Wajah mereka..aku jarang memperhatikan Pelayan. Tapi, aku kurang familiar dengan mereka." Aji mencermati.Istrinya ikut memperhatikan."Kami memang baru..." salah satu dari Pelayan itu menunduk dan akhirnya angkat bicara."Pap
Pasangan suami istri itu terkejut mendengar penuturan Johan."A'apa ?" Liana yang pertama berucap. Sedang suaminya masih membelalakkan mata menatap ke arah anak lelakinya."Lira sedang dekat dengan seorang." Johan mengulang kalimatnya. "Mungkin mereka berpacaran,atau..entahlah yang jelas mereka dekat." Johan berkata ragu."Siapa? Sejak kapan?" tanya Liana tak sabar.Johan menelan ludah. Ia seperti ragu untuk mengungkapkan. Dilirik Ayahnya yang masih menatap tajam ke arahnya. "Papa pasti tahu anak lelaki keluarga Marthadinata." ucap Johan perlahan.Aji kaget mendengarnya. Ia dan istrinya saling pandang, sebelum kembali melihat ke arah Johan."Lira dekat dengannya." lanjut Johan sambil menautkan jari-jemari tangannya gelisah."Yang mana ?" Aji akhirnya bersuara. "Yang aku tahu Adnan Marthadinata punya dua orang putra. Tapi yang sering ikut
Mereka terus masuk ke lorong dengan penerangan remang-remang. Semakin ke dalam, mulai terdengar keramaian dari suara orang-orang yang bersorai dan berteriak.Semakin terang dan luas area yang mereka jajaki. Terlihatlah sebuah tempat mirip area tinju lengkap dengan ring ditengah dan deretan kursi penonton yang mengelilingi.Di atas ring tampak dua orang pria bertopeng dengan beberapa bagian tubuhnya yang terluka saling menendang dan memukul."Aku kira kau akan melewatkan kesempatan ini." seorang pria gempal berjas hitam dengan topeng menyeramkan menutupi separuh wajahnya menghadang langkah mereka."Mana mungkin aku melewatkan uang yang pasti jadi milikku." Johan berkata ringan.Pria itu tertawa terbahak. "Aku bertaruh banyak untukmu, Joker. Jangan kecewakan aku." ia menyalakan cerutunya."Aku pastikan kau akan semakin kaya dengan bisnis ini Mr Jack." Joh
Hampir tidak ada peraturan dalam pertandingan brutal tersebut selain di larang memukul wajah dan area vital. Lainnya bebas. Bahkan jika salah satu petarung meninggalpun, akan ada pihak yang membereskan tanpa si lawan harus susah-susah bertanggung jawab atas kematianya.Miris? Ya, semua kembali ke uang yang berkuasa. Dalam semalam seorang gelandangan yang pandai ilmu bela diri dan ikut terjun ke dalam turnamen dan memenagkannya, niscaya esoknya dia akan menjadi kaya raya.Jadi jangan heran jika seorang Johan yang walaupun terlahir dari keluarga mampu, namun minim uang jajan, bisa membelikan Sonia satu unit Apartemen lengkap dengan isinya pasca pembunuhan yang mereka lakukan pada Ayah tiri Sonia.BUAAAKK!!Sebuah pukulan di dada langsung di layangkan Dog begitu tanda pertandingan di mulai berbunyi. Johan oleng, namun tidak sampai membuatnya ambruk. Ia hanya terdorong sampai batas ring dan langsung berp
Johan memainkan gepokan uang berwarna merah yang memenuhi tas ransel berwarna hitam di pangkuannya.Sesekali ia tertawa senang mengingat moment penghabisan Dog yang mati kutu di bawah kakinya.Puas menimang dan iseng mengelap keringat yang mengalir di dahi dengan lembar uang seratus ribuan itu, Johan menutup resleting tas ransel penuh uang tersebut dan melempar ke jog belakang."Aku bahagia sekali malam ini." ia menyandarkan diri pada jog mobil sambil tersenyum lebar ke arah Sonia yang masih sibuk dengan jarum suntik dan obat."Aku tingkatkan dosisnya, karena lukamu cukup parah." Sonia berkata dengan wajah serius. Ia tak menanggapi Johan yang membelai-belai rambut panjangnya dan mencium dengan gaya di buat-buat untuk melucu.Tapi bagi Sonia yang telah melihat luka yang ada hampir di semua bagian perut,dada dan punggung Johan, tak ada rasa gembira sedikitpun. Kecuali cemas dan kha
"LIRAAA..!" Liana bangkit dari tidur dan berteriak. Tangannya meraih kegelapan kamar tidur mewahnya yang kesemua lampu telah di matikan."Liana ?" Aji yang tidur di sebelah kaget dan ikut terbangun. "Kau mimpi buruk?"tanyanya sambil merangkul dan menenangkan istrinya yang berkeringat dingin dengan pandangan syok."Lira.." ia menangis. "Aku bermimpi Lira berada di tempat yang sangat gelap." ia memandang Suaminya dengan air mata berderai. "Dia menangis dan menjerit-jerit memanggilku." ucap Liana mencoba kuat meskipun rongga dadanya sesak oleh kekalutan. "Tapi saat aku berusaha menolong, Lira semakin menjauh dan makin masuk ke dalam lorong gelap yang dalam. Lira..dia terlihat sangat menderita." Liana terisak, hatinya rapuh membayangkan seandainya itu bukan hanya sebuah mimpi. Tapi pertanda buruk akan keselamatan putrinya.Aji segera memeluknya. "Tenanglah, itu hanya mimpi buruk karena kau terlalu memikirkan Lira."&nbs
Liana menyalakan saklar lampu, membuat ruang tidur anaknya tersebut terang benderang.Hatinya teremas ngilu melihat kamar Lira yang tertata rapi dan masih tampak sama seperti saat terakhir ia ingat.Ia berjalan perlahan menelusuri barang-barang Lira yang berjajar di dalammya. Sampai ia berhenti pada potret ukuran 4R yang berada di atas meja belajar.Potret diri Lira dan Johan yang tengah tertawa. Liana tersenyum mengingat moment ketika Lira lulus SMP dan di hari yang sama pesawat yang mereka naiki delay. Jadilah perwakilan keluarga hanya Johan, karena dua kakaknya yang lainpun sangat sibuk dan baru mengucapkan selamat pada malam harinya ketika mereka merayakan dengan makan malam."Sejak dulu Johan memang yang paling sayang pada Lira."Liana berguman lalu di letakkan kembali figura photo tersebut pada tempatnya.Suasana begitu tenang dengan hanya terdengar suara detak jam wek