Bagaimana rasanya bersama orang yang lebih Tua beberapa tahun dari usiamu? Terlebih dia tampan juga baik dan perhatiannya hanya padamu? apakah kalian tidak merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam jiwa kalian? Itulah cinta, cinta tak memandang umur, wajah, sifat, fisik atau yang lain-lain. Kalau ada yang bilang dari mata turun ke hati itu hanya rasa suka mereka terhadap objek yang indah dan bukan cinta! Seperti itulah seorang gadis bernama Puspita, anak tukang kebun dan ibu penjual nasi kotak pesanan yang menyukai pria bernama Nicky yang notabenenya adalah anak dari bos ayahnya, apakah pria itu juga memendam rasa yang sama? baca untuk tau kisahnya!
View MoreThey smelled her arousal. There was no doubt the future Alphas knew she wanted them, and that was forbidden.
Thea, the Beta's daughter, trained every morning with identical triplets Alaric, Conri, and Kai, the future Alphas of their pack, New Dawn.
This morning, Thea was about to pin Kai when Conri and Alaric grabbed her arms from behind and held her tight.
"Come on, Kai," Alaric said. "We've evened out the fight for you."
"What the hell?" Thea said. She tried to free her arms from their grasp, her ponytail of chestnut hair whipping back and forth.
"You didn't sense us behind you?" Conri said.
"I thought you were watching, not plotting." She continued to struggle against their grip. "It's not fair. Boys get strength and muscles when they hit puberty. Girls get boobs. Useless!"
Kai's crystal blue eyes went to her chest and darkened. "I don't think boobs are useless," he said.
"You three keep getting bigger and stronger." Thea's turquoise eyes raked over Kai's tall, broad, thick-muscled body, his workout clothes leaving nothing to the imagination.
"And yet you still routinely pin us," Kai said.
Her eyes flitted back to his. "You guys pin me all the time now."
"We never used to be able to pin you at all," Alaric said, his strong hands holding her steady.
"I'd say the playing field is evening out," Conri said from her other side. One of his course hands slid down her arm an inch and renewed its grip.
"By restraining me while he attacks?" Thea said.
Conri shrugged, then smiled.
Thea shook her head at him. "This reminds me of when we were kids, and Kai punched my head from behind when I was leaving the ring, thinking he could sneak in a surprise attack and beat me after the fight. Your father was so angry, but before he could punish you, I jumped up from the ground, tackled you, and punched you until you cried. Your father laughed so hard. I can still hear him. 'That's what you get for being dishonorable, son.' What would he say if he saw you now?"
Kai walked toward her, head tilted down in what everyone else would call an intimidating posture. Nobody knew it was a turn-on for Thea. His crystal blue eyes—the same color and intensity as his brothers'—peered at her from under his messy pompadour of dark hair, muscles rippling in his broad shoulders.
"Dad’s not here now,” Kai said in his deep voice. “No one will save you when I have you on your back, begging for mercy.”
Kai always egged her on, goading her until she fought him. He loved it when she exerted dominance over him. It made him feel like he belonged to her. That she wanted him. She hadn’t figured that out yet. She just got caught up in the challenge.
As soon as he was close enough, Thea used Conri’s and Alaric’s hold on her as leverage to kick and swing her legs up and over Kai’s shoulders. She squeezed them around his neck and locked them into a figure four submission hold.
“Thanks for the assist, boys,” Thea said.
Conri and Alaric let go as if she burned them. Her top half fell, and her head hit Kai’s knees, but she didn’t loosen her submission hold on him. She punched Alaric and Conri in the crotch, and they doubled over.
Conri’s long hair covered his face, but Alaric’s crew cut showed his pained expression. Kai passed out and crumpled to the ground. Thea caught herself and landed on her feet, smiling to herself.
“That wasn’t fair!” Conri said, hunched over.
“Excuse me? You want to talk about fair?” Thea put her hands on her hips.
“You hit below the belt,” Alaric said.
“You guys changed the rules in the middle of the fight. Why can’t I? If this was real life, and a group was attacking me, you better believe I’ll do what I have to. Plus, you’re wearing cups. You’re fine.”
She turned to Kai and knelt next to him on the grass. They were on the training field—a big clearing in the middle of the woods of their pack lands.
“Kai, are you okay?” She noticed Kai’s chest wasn’t moving, and she gasped. “He’s not breathing!”
She put her hands above his heart to start CPR, and suddenly Kai’s hands shot up. He flipped her, straddled her hips, and pinned her hands above her head. He leaned down and put his mouth to her ear.
“Gotcha.” His warm, hard chest brushed against hers, and her body reacted. She hoped he didn’t notice her now stiff peaks pressing against him. “Hold her down. We need to punish her.”
Alaric and Conri each grabbed an arm and held it down. Three identical, chiseled faces looked down at her. Kai started tickling her sides, and she started laughing.
“Stop!” she cried. She struggled against them, kicking her legs and laughing. Kai lifted her shirt and blew a raspberry on her belly. Alaric and Conri started biting her arms, working up to her shoulders. Kai bit the side of her waist.
She was gasping for air between laughing fits, but the bites had her feeling something entirely different. Tingles all over that sent warmth pooling low in her belly.
After her next gasp, Alaric and Conri bit a place on either side of her neck that made her panties wet and her body melt into compliance. She had never been sensitive in those areas before, but she immediately stopped struggling as her laughter transformed into moaning.
The triplets stilled.
Thea froze in horror, except for her chest, still heaving up and down from trying to catch her breath.
The triplets lifted their heads to look at her, shock on their handsome faces. They looked at each other, breathed in the air laced with her scent, then looked back at Thea, eyes dark.
She knew they smelled her arousal. Mortified, she used their moment of distraction, threw them off, and ran from the training field into the woods.
Saat ini keduanya melihat Archer dengan tatapan kasihan, ayah Nicky betul-betul kehilangan akal setelah kematian mendingang isterinya. Terlihat bingkai foto tanpa kaca yang terdapat foto ibu Nicky yang tersenyum lebar membuat keduanya saling bertatapan, dokter bilang tak ada perubahan sama sekali selama masa pengobatan, membuat mereka tak tau harus apa. Puspita menatap pria di sampingnya iba, dia mengelus lengannya pelan. Gadis itu tak bisa berkata apapun jika situasinya seperti ini, kenyataan memang amat pahit bagi pria itu. Orang yang kerap kali tersenyum lembut itu, sekarang memiliki kehidupan yang kelam, yang tak pernah orang lain bayangkan. Ibunya meninggal karena kanker yang dia derita selama 5 tahun dan itu tanpa pengetahuan semua orang, bahkan sebelum Nicky kembali melanjutkan S2nya di Singapura penyakit wanita itu sudah mulai terlihat dan sialnya dia juga sedang mengandung adik Nicky. Kematian yang mendadak dan tanpa menduga, membuat 4 orang terluka secara bersamaan namu
“Mentalnya terganggu, membuat dia seperti ini. Karena saya bukan dokter kejiwaan dan ini bukan rumah sakit seperti itu, saya sarankan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih baik, hanya ini yang bisa saya sarankan, saya permisi!”Nicky terduduk di kursi tunggu, dimana ayahnya sekarang mengamuk di dalam kamar pasien VVIP yang mereka minta. Ketiganya hanya bisa menghembuskan nafas kasar mendengar apa yang dikatakan dokter, dan Puspita menatap pria itu dengan iba. Sudah ibunya tiada sekarang ayahnya yang kacau balau pasti pikiran begitu runyam saat ini. Sedangkan Angga menatap Nicky dengan tatapan serius. “Tuan muda! Dikarenakan Tuan Archer mengalami hal ini, sebaiknya anda memegang perusahaan terlebih dahulu sampai beliau dinyatakan sembuh.” Puspita menatap tak paham pada majikannya. “Tuan Angga, apa ini tidak terlalu terburu-buru? Bagaimanapun Om baru saja terkena musibah yang bertubi-tubi.” “Saya tau, tapi perusahaan tetap berjalan dan saya sebagai tangan kanan
“Kakak pita!” tangis dua anak lelaki yang baru saja kehilangan ibunya, Puspita sengaja datang kemari untuk menenangkan dia bocah itu. Dan ternyata benar mereka masih menangis meratapi kepergian ibu mereka, dua anak yang masih kecil itu malah mendapatkan kenyataan pahit yang begitu menyiksa jiwa polos mereka. Puspita segera memeluk keduanya, dan menenangkan tangisan mereka. “Kenapa kalian terus menangis, hhhmm? Ini sudah malam sebaiknya kalian tidur.” “Hiks! Kami tidak bisa tidur karena mama gak ada, huuuaa. Mama hiks, mama hiks,” tangis Vano yang begitu menyayat hati, Puspita tak tega melihat mereka dia serasa ingin menangis juga, tapi jika ikut melakukan hal itu makan suasana akan semakin kacau. “Vano! Vino! Dengar kakak! Mama gak kemana-mana! Dia hanya sekarang pindah tempat.” “Pindah tempat?” tanya Vino yang merasa bingung dengan ucapan wanita muda di depannya. Puspita tersenyum. “Iya, saat ini mereka ada di hati kecil kalian, mama akan selalu ada sama kalian dan mama gak per
Pemakaman ini Nicky berlangsung dengan air mata, ucapan menyesal bercampur tangisan kerasa dari bibir kecil adik kembar Nicky, begitu terdengar pilu memecahkan keheningan yang ada di sana. Puspita juga ikut terisak, dia mengenang semua kebaikan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua, walau harusnya tidak pantas namun sikapnya membuat dia tak pernah percaya apa yang terjadi. Puspita berdiri cukup jauh dari pemakaman itu, lagipula dia bukan siapa-siapa untuk maju paling depan. Ia sekarang melihat Nicky yang terdiam mematung dengan air mata yang kering, tentu saja Puspita merasa lebih sakit lagi melihatnya. Pasti pria itu sangat terpukul, Puspita yang melihatnya kembali tak dapat menahan tangisannya. Ibu dan ayahnya sekarang ada di sampingnya, mereka juga ikut menangis sedih, tapi tidak seperti Puspita yang terdengar begitu pilu.Satu persatu orang pergi meninggalkan pemakaman yang masih basah itu tersebut, Nicky menoleh kebelakang dan pandangan mereka bertemu. Setelahnya Nick
Puspita mengemas beberapa baju yang akan di pakai nanti, saat ini jam baru menunjukkan pukul 5:54. Pukul 6 lewat Angga akan menjemput, walau sore mereka akan kembali tapi tetap saja dia harus mempersiapkan dengan baik. Mulai dari makeup juga peralatan lainnya, setelah semuanya ia hafal puspita cukup percaya diri untuk hadir di acara meeting itu. Ibu Puspita masuk ke kamar sambil membawa beberapa kue juga minuman. “Lama emang kerjanya?” Puspita menggeleng. “Enggak tau juga mah, tapi sore pita pulang kok.” “Iya ya udah, hati-hati aja di jalan!” ujar Ibunya yang nampak khawatir, apalagi Puspita adalah anak satu-satunya tentu saja orang tua takut terjadi sesuatu. Puspita mengangguk, sambil tersenyum lebar. “Iya mah.” Saat sedang berbincang-bincang dengan ibunya, sebuah suara klakson mobil membuat keduanya menoleh. “Itu mobilnya Puspita?” “Iya kali mah, katanya jam 6 lewat untung aja aku udah siap semua.” “Ya udah buru-buru sana! Mungkin rapatnya lebih cepet.” Puspita mengangguk p
Gadis belia itu sekarang bergerutu kesal, karena pusing dengan semua pekerjaan yang seperti tak ada habisnya, kenapa ia harus mengiyakan hal yang tak ia suka, walau gajinya lumayan juga mendapat bonus tapi sama saja dia menggali kuburnya sendiri. Saat sedang frustasi, sebuah ketukan di meja membuat dia menoleh. Wajahnya sekarang terkejut juga merasa malu, dengan apa yang terjadi. Namun ada yang aneh dengan pria yang menatapnya kosong, juga penampilan yang terkesan berantakan, apalagi wajahnya yang terlihat basah. Puspita bangkit dari duduknya, dengan mimik khawatir. “Om! Ada apa? Om gak apa-apa?” Nicky masih terdiam sambil mengatur nafas. “Bisa kita keluar sebentar?” Puspita seketika tau apa yang baru saja terjadi, pria di depannya ini baru saja menangis, terbukti dari suaranya yang serak dan nada yang sedih namun tertahan. Akan tetapi dia juga banyak kerjaan sekarang, matanya sekarang melihat sekitar. Beberapa orang yang melihat mereka kembali bekerja, lagipula tak ada yang bis
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments