Share

PESAN DARI IBU

Author: Jenar
last update Last Updated: 2022-07-27 14:14:09

Terdengar suara hembusan nafas panjang dari lelaki di sebelahku. Kurasa itu bentuk kelegaanya, sebab aku sudah tidak marah-marah lagi. Lega kamu sekarang, Mas. Nanti kalau aku sudah pegang bukti itu akan kubuat kamu sesak nafas, kalau perlu sampai kamu berhenti bernafas!

"Hmmm ... tidak apa-apa, Dek. Mas tau kamu khawatir, Mas juga sudah berusaha supaya pulang tepat waktu tapi mau bagaimana pekerjaan memang sedang banyak."

Ya, pekerjaan di kantor memang sedang banyak dan sekarang Mas Bima punya kegiatan tambahan, menghangatkan sekretarisnya tentu saja waktu lembur suamiku jadi lebih panjang. Awas kamu Mas, kalau kamu benar berselingkuh dengan Fina siap-siap menerima akibatnya!

"Ya sudah, Mas segeralah bersih-bersih supaya bisa cepat istirahat. Aku ke dapur dulu membuatkan teh hangat. Besok minta orang untuk memperbaiki AC di ruanganmu."

Kupaksakan mengukir senyum. Kubalas sandiwaranya dengan kepura-puraan juga, imbang bukan?

Mas Bima mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama terdengar suara air mengalir dari shower menandakan Mas Bima sudah memulai aktifitas mandinya. Ponselnya dibiarkan tergeletak di tempat tidur, aku meraih alat komunikasi itu dan menekan tombol paling bawah di bagian samping kanan. Layar datar benda itu menyala terang, aku bisa mengaktifkan ponsel Mas Bima. Pada gambar kotak kecil di sudut kanan terdapat angka 32%.

Ya, ponsel Mas Bima sengaja dimatikan bukan mati sebab kehabisan daya. Aku tersenyum getir, sempurna sekali sandiwaramu, Mas. Belum habis rasa heranku atas sandiwara ponsel yang kehabisan daya, lagi-lagi aku dibuat geram sebab sekarang ponsel sumiku dipasang kode pengaman. Dia menggunakan kata sandi berupa angka. Sejak kapan Mas Bima menggunakan kata sandi? Seingatku tadi pagi tidak ada kata sandi atau pola di ponselnya.

Setahuku Mas Bima memang tidak suka ponselnya dipasang kata sandi, alasannya sebab dia sangat pelupa. Perubahannya yang tiba-tiba memasang kata sandi semakin memperjelas kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. Selama ini kami saling terbuka mengenai alat komunikasi, dan aku juga tidak pernah memeriksa ponsel Mas Bima. Aku bukan istri yang over protectiv pada suami. Aku juga menjaga privaci Mas Bima dengan tidak melihat isi ponselnya. Begitu pun dia, kami sama-sama saling percaya. Sialnya, aku baru menyadari kebodohanku sekarang karena percaya sepenuhnya pada Mas Bima, sehingga tidak sadar kalau suamiku diam-diam menjalin hubungan khusus dengan sekretarisnya.

"Dek, tolong pakaianku."

Aku langsung menjatuhkan ponsel Mas Bima ke tempat tidur lagi. Hampir saja benda itu kulempar akibat kaget dengan suara Mas Bima yang masih di dalam kamar mandi. Aku menon aktifkan ponsel Mas Bima kemudian meletakkan pada posisi seperti semula.

Pintu kamar mandi terkuak, lalu muncul suamiku yang sudah selesai membersihkan diri. Handuk biru melilit tubuhnya sebatas pusar hingga lutut. Wangi sabun dan shampo yang menyegarkan, menyeruak masuk ke indera penciuman saat aku menghirup oksigen.

"Dek, mana bajuku?"

"I-iya, Mas sebentar aku ambilkan."

Aku beranjak ke lemari besar di kamar ini yang menjadi tempat kami menyimpan pakaian. Kupilihkan satu kaus dan celana untuk dipakai Mas Bima malam ini. Kemudian memberikan padanya.

"Makasih, Dek," katanya sembari menerima pakaian yang kuulurkan.

"Mas mau teh atau susu?"

"Hmm, enggak usah saja, Dek. Mas mau langsung istirahat. Kamu juga pasti udah ngantuk, kan? Ayo kita tidur saja."

Aku menurut saat Mas Bima menarikku ke peraduan setelah memadamkan lampu utama. Kami membaringkan tubuh masing-masing di tempat tidur yang empuk dan nyaman. Sebentar saja, sudah terdengar irama nafas Mas Bima yang beraturan, menandakan dia sudah lelap.

Kupandangi wajah segar Mas Bima yang sangat polos ketika terlelap. Kenapa kamu tidak jujur saja, Mas? Siapa yang sudah membuatmu sangat lelah seperti ini?

Gara-gara memikirkan pasal perselingkuhan Mas Bima, aku jadi terserang insomnia. Aku melambai-lambaikan tangan di depan wajah Mas Bima, memastikan dia sudah benar-benar lelap. Aku juga menepuk pelan pipinya, Mas Bima bergeming setelah yakin suamiku sudah larut di alam bawah sadar aku beranjak dari tempat tidur. Mengambil ponselku di laci meja hias.

Kuketik pesan penting berisi perintah kemudian mengirim pesan itu pada seseorang yang menjadi kepercayaanku. Tidak perlu menunggu lama, pesanku langsung di baca dan mendapat balasan.

[Siap!]

Senyumku mengembang saat membaca balasan pesan itu. Malam ini misiku sudah dimulai. Kita lihat, Mas seberapa pandai kamu menyimpan kebusukan ini.

Aku meletakkan ponsel di nakas, lalu kembali merebahkan diri di sebelah Mas Bima yang sudah mendengkur. Aku memejamkan mata, berdoa dan rileks, membayangkan yang indah-indah dan berusaha untuk tidur.

-

-

-

[Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Nduk? Kalian sehat, tho? Ibu kangen sama cucu-cucu. Kapan ada waktu ke sini?]

Kubaca sederet pesan di layar tujuh inchi yang dikirim oleh Ibu Sekar, ibunya Mas Bima. Kami memang sudah lama tidak mengunjungi Ibu, terakhir sekitar dua bulan yang lalu saat Ibu ulang tahun. Biasanya kami rutin mengunjungi Ibu dua minggu sekali. Namun, karena Mas Bima belakangan ini sangat sibuk jadi kami belum ada waktu ke rumah Ibu.

[Waalaikumsalam. Kabar kami sehat dan baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Nanti siang insyAllah, Welas ajak anak-anak ke rumah Ibu.]

Kukirim balasan pesan ke pada Ibu. Kuletakkan kembali posel di nakas, lalu membangunkan Mas Bima sebab sudah terdengar suara azan subuh yang berasal dari pengeras suara masjid.

"Mas, bangun udah subuh."

Aku mengguncang tubuhnya yang terbalut selimut tebal. Mas Bima menggeliat, matanya terbuka sedikit lalu terpejam lagi. Aku menepuk pipinya, butuh beberapa kali sampai akhirnya bisa membuat Mas Bima benar-benar membuka mata.

"Udah subuh. Sana jamaah ke masjid!" suruhku seraya mengambil sarung dan kopiah dari dalam lemari, menyiapkan di atas tempat tidur lalu bergegas hendak berwudhu.

"Solat di rumah saja, Dek. Mas masih ngantuk, nanti abis solat nyambung tidur lagi, ya." Suara paraunya khas orang bangun tidur terdengar sebelum aku menutup pintu kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi kulihat dia masih di tempat tidur merenggangkan tubuh, menguap dan mengucek mata lalu menyibak selimut. Mas Bima bangkit dari berbaring, masuk ke kamar mandi untuk wudhu. Aku tidak menunggu sampai dia selesai berwudhu, kutunaikan dua rokaat subuh seorang diri.

"Mas, Ibu katanya kangen anak-anak nanyain kapan kita ke sana," kataku mengawali setelah kami selesai solat.

"Nanti siang setelah anak-anak pulang sekolah aku mau bawa mereka ke rumah Ibu boleh, Mas?"

"Tapi nanti siang aku enggak bisa, Dek."

"Kamu lembur lagi hari ini, Mas?"

"Belum tau. Kalau kerjaan banyak, ya terpaksa lembur lagi," jawab Mas Bima tidak pasti.

"Diluangkan sebentar apa enggak bisa, Mas? Kasihan Ibu, lho. Udah lama juga kan kita enggak ke sana."

"Gimana, ya? Hmmmm ... coba nanti aku tanya Fina dulu, jadwalku semua dia yang atur."

Mendengar nama Fina disebut darahku berdesir. Posisinya sebagai sekretaris seolah bisa mengendalikan diri Mas Bima. Bahkan aku, istrinya mengajak berkunjung ke rumah ibu kandung Mas Bima pun harus mengikuti jadwal yang sudah Fina buat. Astagfirullah. Apakah begini rasanya cemburu?

"Atau kalau kamu memang enggak bisa biar aku sama anak-anak diantar sopir saja, Mas."

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu buntutin aj sh laki lu ribet amat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MEMAAFKAN (ENDING)

    Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   LAMARAN

    Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEGUMPAL KERTAS

    Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MAAF DARI IBU

    “Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   BAYI ADOKSI (POV BIMA)

    “Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MENGAKHIRI KISAH YANG SALAH

    Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   POV ERINA

    “Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CEMBURU BUTA (POV BIMA)

    “Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   CAPER (POV BIMA)

    Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status