Share

PESAN DARI IBU

Terdengar suara hembusan nafas panjang dari lelaki di sebelahku. Kurasa itu bentuk kelegaanya, sebab aku sudah tidak marah-marah lagi. Lega kamu sekarang, Mas. Nanti kalau aku sudah pegang bukti itu akan kubuat kamu sesak nafas, kalau perlu sampai kamu berhenti bernafas!

"Hmmm ... tidak apa-apa, Dek. Mas tau kamu khawatir, Mas juga sudah berusaha supaya pulang tepat waktu tapi mau bagaimana pekerjaan memang sedang banyak."

Ya, pekerjaan di kantor memang sedang banyak dan sekarang Mas Bima punya kegiatan tambahan, menghangatkan sekretarisnya tentu saja waktu lembur suamiku jadi lebih panjang. Awas kamu Mas, kalau kamu benar berselingkuh dengan Fina siap-siap menerima akibatnya!

"Ya sudah, Mas segeralah bersih-bersih supaya bisa cepat istirahat. Aku ke dapur dulu membuatkan teh hangat. Besok minta orang untuk memperbaiki AC di ruanganmu."

Kupaksakan mengukir senyum. Kubalas sandiwaranya dengan kepura-puraan juga, imbang bukan?

Mas Bima mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama terdengar suara air mengalir dari shower menandakan Mas Bima sudah memulai aktifitas mandinya. Ponselnya dibiarkan tergeletak di tempat tidur, aku meraih alat komunikasi itu dan menekan tombol paling bawah di bagian samping kanan. Layar datar benda itu menyala terang, aku bisa mengaktifkan ponsel Mas Bima. Pada gambar kotak kecil di sudut kanan terdapat angka 32%.

Ya, ponsel Mas Bima sengaja dimatikan bukan mati sebab kehabisan daya. Aku tersenyum getir, sempurna sekali sandiwaramu, Mas. Belum habis rasa heranku atas sandiwara ponsel yang kehabisan daya, lagi-lagi aku dibuat geram sebab sekarang ponsel sumiku dipasang kode pengaman. Dia menggunakan kata sandi berupa angka. Sejak kapan Mas Bima menggunakan kata sandi? Seingatku tadi pagi tidak ada kata sandi atau pola di ponselnya.

Setahuku Mas Bima memang tidak suka ponselnya dipasang kata sandi, alasannya sebab dia sangat pelupa. Perubahannya yang tiba-tiba memasang kata sandi semakin memperjelas kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. Selama ini kami saling terbuka mengenai alat komunikasi, dan aku juga tidak pernah memeriksa ponsel Mas Bima. Aku bukan istri yang over protectiv pada suami. Aku juga menjaga privaci Mas Bima dengan tidak melihat isi ponselnya. Begitu pun dia, kami sama-sama saling percaya. Sialnya, aku baru menyadari kebodohanku sekarang karena percaya sepenuhnya pada Mas Bima, sehingga tidak sadar kalau suamiku diam-diam menjalin hubungan khusus dengan sekretarisnya.

"Dek, tolong pakaianku."

Aku langsung menjatuhkan ponsel Mas Bima ke tempat tidur lagi. Hampir saja benda itu kulempar akibat kaget dengan suara Mas Bima yang masih di dalam kamar mandi. Aku menon aktifkan ponsel Mas Bima kemudian meletakkan pada posisi seperti semula.

Pintu kamar mandi terkuak, lalu muncul suamiku yang sudah selesai membersihkan diri. Handuk biru melilit tubuhnya sebatas pusar hingga lutut. Wangi sabun dan shampo yang menyegarkan, menyeruak masuk ke indera penciuman saat aku menghirup oksigen.

"Dek, mana bajuku?"

"I-iya, Mas sebentar aku ambilkan."

Aku beranjak ke lemari besar di kamar ini yang menjadi tempat kami menyimpan pakaian. Kupilihkan satu kaus dan celana untuk dipakai Mas Bima malam ini. Kemudian memberikan padanya.

"Makasih, Dek," katanya sembari menerima pakaian yang kuulurkan.

"Mas mau teh atau susu?"

"Hmm, enggak usah saja, Dek. Mas mau langsung istirahat. Kamu juga pasti udah ngantuk, kan? Ayo kita tidur saja."

Aku menurut saat Mas Bima menarikku ke peraduan setelah memadamkan lampu utama. Kami membaringkan tubuh masing-masing di tempat tidur yang empuk dan nyaman. Sebentar saja, sudah terdengar irama nafas Mas Bima yang beraturan, menandakan dia sudah lelap.

Kupandangi wajah segar Mas Bima yang sangat polos ketika terlelap. Kenapa kamu tidak jujur saja, Mas? Siapa yang sudah membuatmu sangat lelah seperti ini?

Gara-gara memikirkan pasal perselingkuhan Mas Bima, aku jadi terserang insomnia. Aku melambai-lambaikan tangan di depan wajah Mas Bima, memastikan dia sudah benar-benar lelap. Aku juga menepuk pelan pipinya, Mas Bima bergeming setelah yakin suamiku sudah larut di alam bawah sadar aku beranjak dari tempat tidur. Mengambil ponselku di laci meja hias.

Kuketik pesan penting berisi perintah kemudian mengirim pesan itu pada seseorang yang menjadi kepercayaanku. Tidak perlu menunggu lama, pesanku langsung di baca dan mendapat balasan.

[Siap!]

Senyumku mengembang saat membaca balasan pesan itu. Malam ini misiku sudah dimulai. Kita lihat, Mas seberapa pandai kamu menyimpan kebusukan ini.

Aku meletakkan ponsel di nakas, lalu kembali merebahkan diri di sebelah Mas Bima yang sudah mendengkur. Aku memejamkan mata, berdoa dan rileks, membayangkan yang indah-indah dan berusaha untuk tidur.

-

-

-

[Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Nduk? Kalian sehat, tho? Ibu kangen sama cucu-cucu. Kapan ada waktu ke sini?]

Kubaca sederet pesan di layar tujuh inchi yang dikirim oleh Ibu Sekar, ibunya Mas Bima. Kami memang sudah lama tidak mengunjungi Ibu, terakhir sekitar dua bulan yang lalu saat Ibu ulang tahun. Biasanya kami rutin mengunjungi Ibu dua minggu sekali. Namun, karena Mas Bima belakangan ini sangat sibuk jadi kami belum ada waktu ke rumah Ibu.

[Waalaikumsalam. Kabar kami sehat dan baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Nanti siang insyAllah, Welas ajak anak-anak ke rumah Ibu.]

Kukirim balasan pesan ke pada Ibu. Kuletakkan kembali posel di nakas, lalu membangunkan Mas Bima sebab sudah terdengar suara azan subuh yang berasal dari pengeras suara masjid.

"Mas, bangun udah subuh."

Aku mengguncang tubuhnya yang terbalut selimut tebal. Mas Bima menggeliat, matanya terbuka sedikit lalu terpejam lagi. Aku menepuk pipinya, butuh beberapa kali sampai akhirnya bisa membuat Mas Bima benar-benar membuka mata.

"Udah subuh. Sana jamaah ke masjid!" suruhku seraya mengambil sarung dan kopiah dari dalam lemari, menyiapkan di atas tempat tidur lalu bergegas hendak berwudhu.

"Solat di rumah saja, Dek. Mas masih ngantuk, nanti abis solat nyambung tidur lagi, ya." Suara paraunya khas orang bangun tidur terdengar sebelum aku menutup pintu kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi kulihat dia masih di tempat tidur merenggangkan tubuh, menguap dan mengucek mata lalu menyibak selimut. Mas Bima bangkit dari berbaring, masuk ke kamar mandi untuk wudhu. Aku tidak menunggu sampai dia selesai berwudhu, kutunaikan dua rokaat subuh seorang diri.

"Mas, Ibu katanya kangen anak-anak nanyain kapan kita ke sana," kataku mengawali setelah kami selesai solat.

"Nanti siang setelah anak-anak pulang sekolah aku mau bawa mereka ke rumah Ibu boleh, Mas?"

"Tapi nanti siang aku enggak bisa, Dek."

"Kamu lembur lagi hari ini, Mas?"

"Belum tau. Kalau kerjaan banyak, ya terpaksa lembur lagi," jawab Mas Bima tidak pasti.

"Diluangkan sebentar apa enggak bisa, Mas? Kasihan Ibu, lho. Udah lama juga kan kita enggak ke sana."

"Gimana, ya? Hmmmm ... coba nanti aku tanya Fina dulu, jadwalku semua dia yang atur."

Mendengar nama Fina disebut darahku berdesir. Posisinya sebagai sekretaris seolah bisa mengendalikan diri Mas Bima. Bahkan aku, istrinya mengajak berkunjung ke rumah ibu kandung Mas Bima pun harus mengikuti jadwal yang sudah Fina buat. Astagfirullah. Apakah begini rasanya cemburu?

"Atau kalau kamu memang enggak bisa biar aku sama anak-anak diantar sopir saja, Mas."

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu buntutin aj sh laki lu ribet amat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status