Renata mengerang ketika kesadarannya perlahan kembali. Ia membuka mata, mendapati dirinya terbaring di ranjang besar berkelambu putih.
Saat berusaha bangkit tubuhnya terasa begitu lemas.
"Kau sudah sadar?”
Renata berjengit mendengar suara itu. Penggalan-penggalan ingatan terakhirnya serentak berkumpul tanpa diminta.
“Kau,” desis Renata dengan kemarahan membuncah saat melihat sosok Lintang Timoer yang mendekat.
“Maaf, aku terpaksa,” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
“Jangan sentuh aku.” Renata menepis lengan Lintang Timoer yang merengkuh bahunya.
Lintang Timoer menatap sekilas lengan yang ditepis lantas kembali merengkuh dengan lebih bertenaga.
Renata mendengus ketika lelaki itu membantunya duduk, dengan lembut menyandarkan tubuhnya ke hulu ranjang, sementara ia sendiri duduk di depannya dengan wajah inocent seperti biasa.
“Aku menyesal harus membuatmu seperti ini Renata, su
Lintang Timoer menatap kaget sosok bertopeng yang keluar dari dalam dinding. Tak menyangka jika lelaki itu dengan mudah menemukan keberadaanya.Ya, ia memang mengingkari kesepakatan mereka. Tak membawa Renata ke tempat yang sudah ditentukan. Tempat di mana jiwa lotus Renata akan diekstraksi. Alasannya apa lagi selain karena tak tega.“Ah, maaf Tuan. Saya memang sengaja membawanya ke sini. Saya ingin membujuknya dulu agar bersedia bergabung ke pihak kita.”Lelaki bertopeng berdecih.“Kau menyukainya bukan?”Lintang Timoer terdiam namun beberapa detik kemudian tersenyum. Sadar tak ada gunanya berbohong.“Anda benar, saya menyukainya.”Lelaki bertopeng mendengus.“Dengar, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kita tidak punya banyak waktu. Saat ini Samudera Biru sudah kembali.”“Hm, cepat sekali,” gumam Lintang Timoer dengan nada sedikit cemas. Ia menatap&nb
“Tidak, jangan, Ibundaaa!!!”“Biru!! Hei, Biru!!”Samudera Biru membuka mata dengan napas memburu. Di sampingnya Renata yang baru terbangun menatap penuh khawatir.“Mimpi buruk?” tanya gadis itu sembari mengelap keringat yang terhampar seperti jejak gerimis.“Hem,” jawab Samudera Biru memijit dahi yang terasa berdenyut. “Jam berapa sekarang?”“Dua belas siang.”Samudera Biru menghembuskan napas kemudian menoleh.“Masih sakit?”“Sudah lebih baik.”“Syukurlah,” Samudera Biru bergumam lega mengingat betapa cemasnya ia karena selama berjam-jam Renata demam tinggi dan terus mengigau meski semua lukanya telah menghilang dan tulang-tulang patahnya sudah tersambung kembali.Efek semakin terbukanya segel jiwa lotus rupanya tidak main-main. Beruntung Renata memiliki ketahanan tubuh cukup baik, jika
Renata menatap pintu kamar Samudera Biru yang baru ditinggalkannya. Ia menarik napas, mencoba mengusir resah yang menggerogoti hati seperti rayap. Berjalan lunglai menuju ruang makan di lantai bawah.“Kak Renata!!!”Teriakan Shiny membuat Renata mengangkat wajah. Tersenyum ketika gadis dedemit itu melayang, menghambur memeluk dirinya yang baru sampai di pertengahan tangga.Semua mata yang ada di ruang makan sontak menoleh, menatap dengan berbagai ekspresi yang rata-rata terlihat lega.“Syukurlah kau baik-baik saja, Kak,” Shiny menggamit lengan, menggosok kepala pada bahu dengan manja seperti kucing.Sementara Renata sendiri hanya tersenyum, mengelus kepala Shiny lembut lantas mengangguk pada mereka yang mengisi meja makan.“Bagaimana kondisi Anda, Nona Renata?” tanya Panglima Kuning yang entah kapan tiba di mansion. Di sampingnya, Leon, ikut menatap ingin tahu.“Saya baik-baik saja, Panglima,&
“Berikan lengan kananmu sebagai kompensasi.”Suara Samudera Biru terdengar tegas sekaligus bengis. Matanya yang biasanya penuh daya pikat berubah menjadi penuh bahaya.Seisi ruang tamu menahan napas. Tak menyangka dengan permintaan yang terdengar tak manusiawi tersebut.“Pangeran, jangan bercanda,” Renata berusaha mencairkan suasana dengan tertawa kecil.“Aku tidak sedang bercanda,” ucap Samudera Biru dingin membuat Renata seketika menarik tawa konyolnya. “Bagaimana?” Samudera Biru kembali fokus pada Lintang Timoer.“Hamba bersedia."Desah tertahan memenuhi ruangan. Kenzio sontak bangkit, menentang keputusan gila kakaknya.“Duduklah, Zio,” gumam Lintang Timoer tenang.“Tidak, sebelum kau menarik ucapanmu.”“Ini keputusanku, tidak ada hubungannya denganmu.”“Dasar bodoh. Kenapa kau bertindak sejauh ini. Kak
Samudera Biru menatap Renata yang menunduk. Kecewa, sedih, bingung dan amarah bercampur di bola mata cemerlangnya.“Baiklah,” ucap lelaki itu sembari melepas pelukan perlahan.Wajah Renata seketika terangkat. Apa ini? Kenapa Samudera Biru menyetujui begitu cepat?Renata ingin bertanya tetapi kelu. Lagi pula ia yang meminta, memalukan jika sekarang kecewa dengan responnya yang terlalu cepat setuju.Apa ia ingin lelaki itu bersikap impulsif? Berteriak tak terima atau merayu sedemikian rupa? Hah, mimpi.Dia seorang pangeran dengan visual, kekuasaan dan kekayaan luar biasa. Kehilangan satu wanita biasa sepertinya hanya seperti kehilangan koin receh, tak berarti.Ya, pasti seperti itu.Renata menarik napas, menyimpulkan sepihak dengan otak wanitanya yang kompleks.“Mengenai ayahku, kau tak ....”“Jangan khawatir, aku akan tetap membebaskannya.”“Tapi ....”&l
Rombongan Samudera Biru beriringan menyusuri jalan lebar di atas permukaan laut. Tak ada yang bicara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Renata dan Shiny yang bergandengan tangan juga tampak anteng mengamati keadaan sekitar yang begitu lengang.Laut di bawah mereka terasa misterius, tenang tanpa gelombang, hanya menunjukkan riak-riak kecil.Tak ada angin, tak ada awan, tak ada hewan, tak ada tumbuhan bahkan sekedar semak berduri.Jalan yang terbuat dari batu alam pipih tampak begitu rapi, presisi dan bersih tanpa secuil lumut atau jamur. Bahkan tiang penyangga selaiknya jalan atau jembatan di atas laut pun tak ada. Mengundang tanya bagaimana proses pembuatannya?Lain Shiny dan Renata lain juga Lintang Timoer dan Kenzio. Fokus mereka lebih banyak terarah pada Renata yang terlihat kasual dengan jeans blue wash, kaus, sneakers dan tas ransel.Gayanya seperti hendak piknik ke taman wisata alam bukan bertamu ke sebuah kerajaan yang identik
Aula agung begitu hening. Seluruh mata terarah pada Renata, menunggu keputusan sang gadis yang seperti membeku.Kenapa mereka ingin melihat jiwa lotusnya? Apa yang ingin mereka pastikan?Cerita tentang Ratu Galuh Triwardhani yang diekstraksi berputar di kepala Renata, membuatnya menjadi waspada. Tanpa sadar ia menyentuh pinggang di mana pedang giok perak melingkar.“Tenanglah, turuti saja. Aku jamin tidak akan ada yang berani melukaimu.”Renata menoleh, menatap Samudera Biru yang berbisik di telinganya tanpa membuka mulut. Lelaki itu tersenyum, menyentuh pundaknya lembut kemudian mengangguk tipis. Memberi isyarat agar ia menurut.Dengan enggan Renata mengangkat telapak. Menunjukkan lotus putih biru dengan kilau jutaan pelangi berbau sangat harum.Semua mata menatap tanpa kesip. Terpikat tanpa sadar. Membuat Renata buru-buru menarik kembali lengannya. Tak tahan pada berbagai hasrat yang terasai energi jiwa lotusnya.Ini per
Mata Samudera Biru terpicing. Menelisik wajah imut yang menatap dengan berani.“Kenapa? Kau begitu menyukai istanaku, anak kecil?”Kenzio mendengus.“Kuakui istanamu indah tapi aku memilih tinggal lebih untuk menemani Kak Renata. Aku tak bisa membiarkannya sendirian di sarang para serigala.”Samudera Biru menyeringai. Geli, kesal sekaligus kagum dengan keberanian dan ketidaktahumaluan remaja ini. Dia seperti anjing kecil yang menggigit setelah ditolong.“Jangan repot-repot. Aku yang akan menemani Renata. Kau pulang dan kembali belajar saja yang rajin di sekolah,” ejek Samudera Biru.Lengan Kenzio terkepal. Samudera Biru menyerang telak di titik lemahnya. Pelajar, anak kecil. Cih, Kenzio kesal setengah mati. Memangnya kenapa kalau dia masih sekolah? Secara fisik dia tak terlalu kalah dengan Samudera Biru.“Jangan mengurus hal yang bukan urusanmu. Aku akan tetap menemani Kak Renata dengan atau t