"Ayah, Sisi merasa panas."
Seorang gadis kecil yang tidur di atas tempat tidur anyaman bambu tua tampak kepanasan. Keningnya yang putih halus penuh dengan keringat dan pipi kecilnya yang putih merona dengan sedikit kemerahan meski Fikri memegang kipas dan dengan lembut mengipaskannya ke arahnya.
"Sisi, tidak bisa tidur?"
"Iya. Sisi mau makan stroberi. Setiap kali Sisi menutup mata, pasti akan melihat stroberi dengan sayap terbang ke depan mata Sisi. Ayah, lihatlah, Sisi mulai mengeluarkan air liur!" Sambil mengoceh, Sisi mengangkat kepalanya dan menunjukkan air liurnya pada Fikri.Pria itu melihatnya lebih dekat, ternyata memang benar!
Dia tertawa dan mengelus kepala Sisi dengan lembut, "Baiklah, Ayah akan membawakan stroberi untukmu ketika pulang malam, oke?"
Fikri membungkuk dan mengangkat Sisi ke pelukannya. "Sekarang kita pergi ke rumah Nenek Lina untuk bermain, ayah akan menjemputmu setelah pularng kerja sore nanti, kamu harus patuh, mengerti?"
"Ya! Sisi adalah anak yang paling patuh!" jawab Sisi yang berada dipelukan Fikri dengan suara manis.
Tahun ini, Nenek Lina berusia 60 tahun. Dia adalah tetangga Fikri dan Sisi yang tinggal sendiri.
Mereka akrab karena wanita tua itu memang sungguh ramah pada keduanya meski Fikri adalah seorang ayah tunggal.
Ya, Fikri baru datang ke Kota Dakarta dari desa untuk bekerja lima tahun lalu. Namun, tidak sengaja mengirimkan paket ke rumah seorang wanita mabuk. Saat itu, mereka melakukan hubungan seks semalam. Keesokan harinya, Fikri berencana untuk menemui wanita itu dan bertanggung jawab, tapi ternyata dia sudah pindah.
Siapa sangka, setahun kemudian, seorang bayi diikat di atas kendaraan tiga roda pengiriman milik Fikri, yaitu Sisi, bersama dengan selembar kertas yang menunjukkan tanggal kelahiran Sisi.
Tentu saja, Fikri tidak bodoh.
Dia melakukan tes DNA dengan Sisi.
Ternyata Sisi 100% putri kandungnya!
Awalnya, ia begitu bingung. Tapi, Nenek Lina membantunya, hingga Fikri tidak kesulitan membesarkan putrinya itu.
Sekarang untungnya Sisi sudah masuk taman kanak-kanak, Nenek Lina menjadi sedikit lebih rileks. Namun bagi Fikri, tugasnya menjadi lebih berat!
Bagaimanapun, di Kota Dakarta, biaya untuk sekolah anak usia dini yang bagus minimal 40 juta per tahun, belum lagi biaya tambahan untuk makanan tambahan yang membantu pertumbuhan anak.
Fikri mengirim paket dengan upah bulanan minimum enam juta, ditambah bonus empat ribu per pesanan, kalau ia bekerja dengan sangat giat hanya bisa menghasilkan paling banyak 20 juta per bulan.
Ditambah dengan biaya sewa tempat tinggal, listrik dan air, tekanan yang dirasakannya sangat besar.....
Fikri melirik ke arah Sisi yang sedang berbaring manis di pangkuannya, ia diam-diam bertekad bahwa ia harus berusaha keras untuk memberikan Sisi hidup yang lebih baik.
"Sisi sudah datang ya! Sini, Nenek peluk!"
Nenek Lina membuka pintu dan mengundang Fikri dan Sisi masuk ke dalam rumah dengan antusias.
Sejak suaminya meninggal dan anak-anaknya pergi ke luar negeri, ia tinggal sendirian di sana dan kesepian.
Untungnya, Sisi muncul, sehingga ia memperlakukan Sisi seperti cucunya sendiri.
"Nenek! Sisi merindukanmu!" Sisi berkata dengan suara manisnya sambil membuka lengannya yang putih dan gemuk, lalu berlari ke pelukan Nenek Lina.
"Haha, Nenek juga merindukan Sisi!" Nenek Lina memeluk Sisi dan mencium pipinya yang kecil, wajahnya yang penuh keriput tersenyum bahagia.
"Aku harus pergi mengirim beberapa pesanan siang ini, maaf harus merepotkan Anda lagi untuk menjaga Sisi" Fikri sedikit merasa tidak enak.
"Keluarga harus saling membantu! Selama beberapa tahun terakhir, kalau tidak ada Sisi yang menemaniku, aku juga
tidak bisa bertahan! Ini, minumlah sedikit air sebelum pergi!" Nenek Lina memberikan segelas air sekaligus memberikan sebuah gelang hitam."Ini apa?" Fikri menerima gelang itu dan bertanya dengan bingung.
"Ayah suamiku dulu adalah tuan tanah, gelang ini tidak tahu sudah disimpan berapa lama di dalam lemari. Terlihat seperti kayu, mungkin tidak berharga, jadi kamu bisa coba lihat apakah bisa dijual atau tidak, lalu belikan dua baju untuk cucu kesayanganku Sisi!"
Nenek Lina merangkul Sisi dengan penuh kasih sayang, "Lihatlah roknya sudah terlalu kecil!"Sisi terkikik, hal ini membuat Fikri merasa sedikit malu.
Dia adalah seorang pekerja kasar dan hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari Sisi.
Jadi, ia kadang lupa membelikan baju untuknya.
"Baiklah, aku pergi mengirim paket dulu. Aku akan datang untuk menjemput Sisi malam nanti!" Fikri berbalik dan melambaikan tangan ke arah Sisi.
"Ayah pergi bekerja dulu, ya! Kamu harus patuh pada Nenek Lina, oke?"
Sisi mengerjapkan matanya yang bulat, lalu berkata dengan suara manis, "Ayah, jangan lupa membawa stroberi!"
"Oke!" Fikri berlari menuruni tangga, lalu mengantarkan paket.
Tak lupa, ia segera mengganti seragam SF Express, kemudian mengendarai kendaraan miliknya dan mulai mengirimkan barang satu per satu sesuai alamat.Sudah jam 7 malam ketika dia selesai bekerja.
Fikri menghela napas lega, lalumenyeka keringat dari dahinya dengan tangannya.
Dia sama sekali tidak memperhatikan bahwa keringatnya membasahi gelang kayu hitam yang mulai sedikit memancarkan cahaya dan menghilang dengan cepat.
Seolah menyerap ke dalam kulitnya....
Mengingat Sisi, Fikri pun mengendarai kendaraan roda tiganya kembali ke rumah, dia melihat kios stroberi di jalan.
Namun, sekarang bukan musim puncak stroberi, dan harganya sangat mahal: 62 ribu per 1/2 kilogram.
Kalau itu untuk dirinya sendiri, Fikri pasti tidak akan membelinya.
Tapi demi putrinya Sisi, dia berusaha membeli setengah kilogram.
Stroberinya cukup besar, sehingga totalnya hanya ada 7 biji.
Tak lup, Fikri juga membeli sekantong satu kilogram untuk diberikan kepada Nenek Lina.
Hanya saja, ketika kembali ke kendaraan miliknya, Fikri tiba-tiba teringat gelang kayu hitam yang diberikan Nenek Lina kepadanya.
Ia segera melihat pergelangan tangannya dan tertegun!
Di kulitnya yang berwarna coklat, tidak ada apa-apa!
"Di mana gelang kayu hitam itu?!" Fikri berkata dalam hati dengan cemas, tapi setelah itu, ia merasa pusing dan benar-benar memasuki ruang lain!
Di depannya, air terjun setinggi tiga meter mengalir turun dan berkumpul di kolam air bersih di kaki Fikri.
Lalu di sebelah kolam air ada sebidang tanah. Tanahnya hitam dan terlihat sangat subur.
Selain itu, ada ruang kosong tanpa ada apa-apa.
Dia ... memasuki ruang yang berbeda?
Fikri biasanya membaca novel di waktu luangnya dan tidak asing dengan hal semacam ini.
Ini pasti disebabkan oleh gelang kayu hitam!
"Aku punya ruang sendiri?!"
Fikri sangat gembira dan bergegas mengulurkan tangannya, ia merapatkan jari-jarinya dan melengkungkan telapak tangannya, lalu meminum beberapa teguk air dari kolam.
Airnya sangat jernih dan membuatnya merasakan kesejukan yang menyegarkan dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Bahkan, semua rasa sakit yang menumpuk karena mengantarkan paket sepanjang hari pun menghilang!
Hanya saja, dia teringat sang putri....
Gegas, Fikir menggerakkan pikirannya dan keluar dari ruang, lalu membawa dua kantong stroberi ke dalam.
Sekarang cuaca panas. Stroberi adalah buah yang sangat lembut, kalau terbentur atau tergores di cuaca panas, akan mempengaruhi rasa!
Jika dimasukan ke dalam air untuk didinginkan, rasanya akan lebih segar dan manis saat pukang nanti.
Fikri lantas memperhatikan sekitar dengan cermat.
Setelah menyadari tidak ada yang memperhatikan dirinya, Fikri akhirnya memasuki ruang dan mengambil dua kantong stroberi.
Untungnya, perjalanan tak lama.
Fikri mengetuk pintu rumah Nenek Lina, lalu memberikan kantong berisi satu kilogram stroberi kepadanya, dan berkata sambil tersenyum, "Ketika pulang aku melihat ini di kios, jadi kubelikan untu Anda bisa makan."
"Kalau tidak habis, letakkan di dalam lemari es dan pastikan Anda menghabiskannya besok!"
Nenek Lina merasa senang, tapi agak sayang menghabiskan uang untuk membeli itu. "Sekarang stroberi sangat mahal! Kenapa menghabiskan uang sia-sia seperti ini, aku tidak suka makan ini! Bawa saja untuk Sisi!"
Wanita tua itu mengembalikannya ke tangan Fikri yang segera menolak sambil tersenyum. "Aku juga ada membelinya untuk Sisi! Anda makan saja! Jangan khawatir!"
Di saat yang sama, Sisi keluar dari rumah dengan kaki yang putih dan halus.
Ketika melihat Fikri, matanya bersinar, dan dengan manis berkata, "Ayah sudah pulang?!"
Fikri menggenggam artefak itu lebih erat. Di tangannya kini bukan hanya sekadar kunci rahasia tapi juga sumber kekuatan yang entah datang dari mana, yang mungkin bisa menjadi penyelamat... atau penghancur. “Kalau begitu,” kata Fikri perlahan, menahan gemetar dalam suaranya, “kau harus melewatiku dulu.” Pria itu tertawa pelan, langkah kakinya bergema di ruang bawah tanah yang dingin dan sunyi. “Itu memang rencanaku sejak awal.” Ia mengangkat tangan, dan dari balik jasnya muncullah senjata kecil dengan cahaya merah berkedip di sisinya—teknologi canggih, jelas bukan milik orang biasa. Tapi sebelum pria itu sempat menekan pelatuk, artefak di tangan Fikri mulai berdenyut. Simbol-simbol di permukaannya menyala lebih terang, dan seketika, cahaya biru menyambar keluar dari benda itu, membentuk semacam pelindung energi yang melingkupi tubuh Fikri. Sinar itu menghantam pria tersebut dan melemparkannya ke dinding dengan keras. Ia jatuh dengan suara dentuman, pingsan seketika. Fikri terd
Fikri duduk di ruang kerjanya, menatap peta yang terhampar di hadapannya. Setiap garis, setiap titik, dan setiap jalur yang ada di sana seolah-olah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang ia bayangkan. Perjalanan yang baru saja dimulai tampaknya akan mengarah ke arah yang tidak terduga. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, dan lebih berisiko daripada yang ia kira.Di luar, suasana malam semakin gelap, tetapi Fikri tahu bahwa ini bukan waktunya untuk beristirahat. Apalagi setelah lelang yang sukses, dunia yang ia masuki semakin sempit. Semua orang menginginkan sesuatu darinya—dan tak sedikit yang siap menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Fikri menoleh, melihat nama yang tertera di layar: Asha. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkatnya."Asha," kata Fikri, suara serius namun penuh rasa ingin tahu. "Ada apa?"Asha terdengar sedikit cemas. "Kita tidak punya banyak waktu. Mereka mulai bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan
Beberapa hari setelah lelang, Fikri merasa angin perubahan berhembus kencang. Ada sesuatu yang telah ia keluarkan ke dunia, dan meski perasaan puas menyelimuti dirinya karena harga yang ia dapatkan dari lelang tersebut, ia juga tahu bahwa hal itu hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Penawarannya berhasil, tetapi harga yang dibayarkan—baik secara finansial maupun psikologis—belum sepenuhnya ia pahami.Di ruang kerjanya, Fikri duduk di depan meja besar yang penuh dengan dokumen dan catatan penting. Pikiran-pikirannya melayang jauh, kembali ke percakapan dengan para pengusaha yang hadir di lelang. Ada yang tampak tertarik, ada juga yang ragu-ragu. Namun satu hal yang pasti, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ia sembunyikan.Chelsea menghubunginya melalui telepon, menyadari kegelisahan di balik keputusan besar yang Fikri buat. "Kamu yakin sudah siap, kan?" tanya Chelsea dengan nada khawatir, meskipun ia tahu Fikri tak akan membiarkan apa pun mengganggu rencananya.Fikri
Keputusan Fikri untuk menanam apel langka itu tidak hanya menarik perhatian ruang ajaibnya, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang lebih besar di benaknya: apakah ruang itu benar-benar bisa mengubah nasibnya, atau justru mengarahkannya pada jalan yang tidak bisa ia kendalikan? Apakah dia sudah cukup siap dengan semua yang akan datang?Beberapa hari setelah menanam apel tersebut, Fikri mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa dunia di luar sana tidak akan membiarkannya tenang, terutama dengan potensi yang tersembunyi dalam ruang ajaib dan kekuatan buah langka yang baru saja ia temukan. Ketika tawaran lelang datang dari sebuah perusahaan besar, Fikri merasa ini adalah kesempatan untuk menguji apakah dunia luar bisa menerima ‘keajaiban’ yang ada dalam hidupnya, atau justru menghancurkannya.Perusahaan itu, Sura AgriCorp, dikenal luas karena kemampuannya dalam meneliti dan mengembangkan produk pertanian eksklusif. Mereka menawarkan lelang khusus yang hanya dihadiri oleh sege
Pertarungan terus berlangsung dalam gelap malam, hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu teras dan kilatan ponsel yang tak sengaja menyala. Asha dan timnya bekerja cepat dan senyap, seperti bayangan yang menari di antara suara benturan dan teriakan teredam. Fikri tetap menjaga pandangannya pada Raymond, yang meski mulai goyah, tidak kehilangan keangkuhannya. Raymond mundur satu langkah, wajahnya masih tersenyum tetapi matanya mulai mencari jalan keluar. “Kau pikir ini sudah berakhir? Ini baru permulaan, Fikri. Aku bukan orang bodoh yang datang hanya dengan satu rencana.” Tiba-tiba, terdengar ledakan kecil dari sisi timur rumah. Asap putih menyelimuti bagian taman, membuat pandangan terganggu. Asha langsung memberi perintah, “Asap gangguan! Tetap waspada, mereka mungkin membawa senjata!” Benar saja, dua dari lima pengawal Raymond yang semula tumbang, bangkit kembali dan mulai menembakkan peluru karet ke arah Asha dan timnya. Namun Fikri telah mengantisipasi kemungkinan itu. I
Raymond menatap Fikri dengan tatapan tajam, seolah-olah mengetahui setiap langkahnya. Fikri bisa merasakan ketegangan di udara—sebuah ancaman yang tak terucapkan, namun jelas terasa. Semua ini bukan lagi hanya soal anggur atau bisnis. Ini adalah permainan yang lebih besar, yang melibatkan nyawa dan masa depan keluarganya."Kenapa kau datang ke sini, Raymond?" tanya Fikri, suara tenang namun dipenuhi perhitungan.Raymond mengangkat bahu. "Mungkin aku datang untuk mengingatkanmu, atau mungkin aku datang untuk menawarmu sebuah 'kesepakatan'. Aku tahu betul apa yang kau simpan di ruang rahasiamu. Tapi aku juga tahu, kau bukan tipe yang mudah dibujuk.""Kesepakatan?" Fikri mendengus, tidak terpengaruh. "Aku tidak butuh tawaran dari orang seperti kamu."Raymond melangkah lebih dekat, seolah tidak peduli dengan jarak yang ada di antara mereka. "Jangan terlalu percaya diri, Fikri. Kau punya banyak hal yang orang-orang seperti aku inginkan—termasuk informasi tentang ruang itu. Anggurmu bukanla