Share

8. Hati yang Luluh

“Ah ... tidak!” teriak Oceana sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang. Dengan reflek ia menutupi wajahnya dari benda tajam yang hendak melayang ke arahnya.

Untungnya hal itu tidak terjadi. Sebab Bimo langsung berlari dan memukul Kalvin dari belakang menggunakan panci yang berbahan tebal.

Hal ini menyebabkan Kalvin langsung pingsan karena Bimo memukulnya tepat di bagian tulang tengkuk. Yang mana area itu sangat rentan sekali untuk dipukuli, karena  hal itu dapat mengakibatkan aliran darah dan saraf dari tengkuk ke otak terhenti sesaat  yang menyebabkan seseorang pingsan.

“Kalvin!” pekik Oceana yang dengan spontan membangunkan suaminya. “Bimo, bagaimana ini?”

“Apa dia mati?” tanya Bimo dengan polosnya. Ia pun tiba-tiba menjatuhkan panci dan berteriak, “aah ... Bimo sudah membunuh Kalvin. Bimo sudah membunuh Kalvin.”

Oceana dengan panik langsung memeriksa kepala suaminya.

“Syukurlah tidak berakibat fatal.” Oceana langsung berdiri dan menenangkan Bimo yang berlarian di sekitar ruang tamu, berputar-putar karena panik. “Bimo, Bimo! Kamu tidak membunuh Kalvin.”

“Tidak, Bimo membunuh Kalvin ... Kalvin mati!” Bimo semakin histeris sambil memukul kepalanya dan menangis.

Oceana dengan penuh kesabaran, dengan kuat menahan Bimo yang sedang menyakiti diri sendiri. Ia pun  berteriak, “KALVIN TIDAK MATI, DIA HANYA PINGSAN!”

Untuk sesaat Bimo terkejut mendengar teriakan Oceana. Pria itu terdiam sejenak dan mencoba mencerna memahami situasi. Ia pun berujar, “K-kalvin tidak mati?”

“Tidak, Bimo! Dia hanya pingsan.”

“Bimo tidak membunuh Kalvin? Bimo tidak membunuh Kalvin?”

“Tidak, kamu tidak membunuhnya. Sekarang bantu aku membawanya ke kamar lalu kita beresin hal yang berantakan ini,” jelas Oceana sambil melihat ke sekelilingnya. Rumahnya seperti habis kemalingan.”Ayo!”

Bimo langsung menurut. Ia menaruh panci di kabin dapur. Ia membantu Oceana dengan menyeret kaki Kalvin ke dalam kamar Oceana yang tepat berada di samping kiri tangga.

Mereka kesulitan menariknya karena bobot badan Kalvin yang begitu berat. Kalvin memiliki tubuh yang besar. Besar yang dimaksud bukan besar karena gendut atau lemak, tapi badannya yang tinggi sekitar 188 cm dan ototnya yang besar. Kalvin termasuk lelaki yang hobi berolahraga.

Tidak heran apabila Oceana dan Bimo sering kalah dari lelaki ini.

Setelah menaruh Kalvin ke atas kasur dengan asal-asalan. Mereka pun berdiri di ruang dapur. Oceana berdecak pinggang, ia tidak habis pikir rumahnya sangat kacau seperti habis dirampok. Ulah suaminya yang sedang mabuk menambah kerjaan Oceana sore ini. Padahal rumah ini sangat bersih dan rapi sebelum ia meninggalkan rumah.

“Bimo mau bantu aku?” tanya Oceana dengan wajah memelas.

“A-apa? Bimo tidak mendengar.” Bimo memutar badannya dan matanya melihat ke arah tak menentu. Ia pura-pura tidak mendengar Oceana.

“Ayolah, bantu aku.”

Bimo langsung memutar badannya dan berjalan mengijak anak tangga menuju kamar lotengnya. “Bimo mau mandi, semangat Oceana!”

Oceana yang ditinggal dengan kekacauan rumahnya hanya mengendus kesal menatap punggung Bimo. Ia pun meracau, “ada kalanya lelaki ini sangat menyebalkan. Ada kalanya kedua pria ini memiliki kesamaan yang bikin aku kesal.”

Oceana melakukan bersih-bersih rumah secepat mungkin sebelum hari semakin malam dan Kalvin bangun dari pingsannya. Ia juga harus segera membuat makan malam untuk suaminya jika tidak ingin kena amukan lagi.

Selama bersih-bersih, otaknya selalu berputar untuk mencari cara bagaimana memberi alasan kepada Kalvin tentang perkara Bimo memukulnya. Sangat menakutkan apabila suaminya menyadari Bimo telah berbuat seperti itu.

Oceana berharap Kalvin tidak ingat apapun. Kalau perlu lupa selamanya. Apakah orang yang hilang ingatan dapat melupakan kebiasaan buruknya juga?

Selesai bersih-bersih, Oceana melanjutkan memasak.

Langit sudah semakin gelap. Bimo juga turun dari kamar lotengnya. Kini pria itu tengah asik makan buah jeruk sambil menonton TV. Dia melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Semudah itu memang.

Oceana yang tengah mengaduk sayur daun ubi, ia mendengar suara pintu menderak. Langkah kaki yang berat dan suara pria berdehem. Jantung Oceana mulai berpacu dengan cepat. Sebab, ia takut jika imajinasinya sekarang terjadi, yang mana Kalvin menyadari dirinya habis dipukul Bimo.

Adukan di kuali semakin tidak terarah, pikiran Oceana sibuk membayangkan skenario buruk yang mungkin saja akan terjadi.

“Sayang, kenapa kepalaku terasa sakit ya di bagian belakang?” tanya Kalvin sambil mengusap tekuknya.

Irama jantung Oceana semakin tidak karuan. Di sisi lain, Bimo terpaku mendengar pertanyaan Kalvin. Ia juga ikut cemas. Skenario buruk apa lagi yang terjadi.

“Uh, ta-tadi kamu terjatuh dari atas kasur dan kepala kamu terbentur nakas.”

“Aaah, sialan! Kenapa aku tidak terbangun tadi?”

“Ya ... itu kamu masih dalam pengaruh alkohol," jawab Oceana dengan gugup

Wajah Kalvin hanya menyerengit dan tangan kanannya masih mengusap tengkuknya. Ia pun berjalan mendekati Oceana.

Oceana memutar badannya, ia siap menerima serangan dari Kalvin lagi. Akan tetapi, saat ia memejam matanya, skenario yang ia bayangkan ternyata salah. Lelaki itu langsung memeluknya dengan sangat erat. Kadang, suaminya mencium kepalanya. Ini di luar bayangannya.

“Sayang, makan malam kita apa hari ini?”

“Uh? sayur daun ubi, ikan goreng sama tempe.”

“Tidak ada cabe hari ini?” tanya Kalvin dengan kepalanya yang menunduk menatap mata istrinya.

“Cabe di kulkas habis. Mau beli tapi uang tinggal sedikit. Aku takut kalau uangnya tidak cukup untuk makan beberapa hari ke depan.”

Kalvin mendongak kepalanya sambil memutar matanya. Oceana dapat mendengar napasnya yang berat.

Kalvin pun mengusap rambut istrinya. “Bulan ini, aku belum kasih kamu uang belanja, ya?”

Oceana menggeleng.

“Maafkan aku. Besok akan aku usahakan kasih kamu uang bulanan. Apa kamu bisa menunggu?”

Oceana mengusap pipi suaminya. Ia pun berkata, “sayang, apa kamu punya masalah dengan keuangan?”

Kalvin melepas pelukannya dari Oceana. Ia memutar badannya dan memejamkan matanya. “Apa kamu habis dari Taman Safir?”

“I-iya.”

“Pasti kamu sudah dapat informasi dari si tukang ice cream itu, kan?”

Oceana berjalan mendekat dan memegang pundak kiri suaminya. Kalvin menoleh.

“Kenapa kamu tidak menjelaskan padaku tentang masalah itu?”

“Aku tidak ingin membebani masalah yang telah kubuat padamu terlalu banyak. Kamu telah banyak menderita karena masalah emosiku yang sulit aku kendalikan. Aku benar-benar minta maaf!”

Melihat mata Kalvin yang berbinar itu membuat hati Oceana menjadi luluh. Inilah harapan yang ia katakan. Harapan yang ia yakini. Harapan bahwa suaminya pasti akan kembali seperti dulu lagi. Ia berharap perubahan sikap Kalvin ini tidak sementara seperti sebelumnya yang terus terjadi.

Oceana mengecup kening suaminya. Dia memeluk suaminya sambil berkata, “sekarang, apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku masih memikir-“

Perkataan Kalvin terhenti saat mendengar suara keras yang memenuhi seisi ruangan. Bimo yang sedang nonton langsung berdiri dan menutup telinganya sambil memejam mata.

Terdengar suara pecahan kaca yang berasal dari jendela.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status