Nenek Lina terdiam sebentar, lalu tersenyum penuh pengertian. Ia menyentuh tangan Nio dengan lembut.
“Nio, sayang… aku sangat tersentuh dengan niatmu itu. Tapi aku sudah berpikir matang. Tinggal di sini bukan karena aku tidak ingin bersama kalian. Tapi karena aku ingin sembuh dengan bahagia.”Nio menatapnya dalam diam.“Di sini, aku punya teman-teman seumuranku. Kami mengobrol, ikut kelas senam ringan, berkebun, bahkan kadang karaokean. Aku tertawa lebih sering, dan itu jauh lebih baik daripada hanya berbaring atau menghabiskan waktu sendirian saat kalian sibuk bekerja.”“Tapi…” Nio menunduk. “Aku merasa seperti cucu yang tidak bertanggung jawab, Nek. Rasanya seperti… meninggalkan Nenek.”Nenek Lina menggeleng pelan, kemudian menepuk tangan Nio. “Tidak, kamu tidak meninggalkanku. Kamu mengizinkanku untuk memilih kebahagiaanku sendiri. Dan kamu datang ke sini, meluangkan waktu. Itu artinya kamu tetap peduli. Kamu tetap cucuku yang paling bNenek Lina terdiam sebentar, lalu tersenyum penuh pengertian. Ia menyentuh tangan Nio dengan lembut.“Nio, sayang… aku sangat tersentuh dengan niatmu itu. Tapi aku sudah berpikir matang. Tinggal di sini bukan karena aku tidak ingin bersama kalian. Tapi karena aku ingin sembuh dengan bahagia.”Nio menatapnya dalam diam.“Di sini, aku punya teman-teman seumuranku. Kami mengobrol, ikut kelas senam ringan, berkebun, bahkan kadang karaokean. Aku tertawa lebih sering, dan itu jauh lebih baik daripada hanya berbaring atau menghabiskan waktu sendirian saat kalian sibuk bekerja.”“Tapi…” Nio menunduk. “Aku merasa seperti cucu yang tidak bertanggung jawab, Nek. Rasanya seperti… meninggalkan Nenek.”Nenek Lina menggeleng pelan, kemudian menepuk tangan Nio. “Tidak, kamu tidak meninggalkanku. Kamu mengizinkanku untuk memilih kebahagiaanku sendiri. Dan kamu datang ke sini, meluangkan waktu. Itu artinya kamu tetap peduli. Kamu tetap cucuku yang paling b
Nio memandangi layar laptopnya, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya tertuju pada angka dan grafik di depannya. Pikirannya melayang pada pesan ancaman yang masuk di ponselnya, dan bangkai burung yang masih meninggalkan jejak bau besi dan busuk di kepalanya. Itu bukan sekadar peringatan. Itu adalah pesan yang jelas bahwa mereka mengawasi.Namun yang lebih mengusik bukan hanya ancamannya, melainkan cara pelakunya bergerak. Terorganisir, tapi cukup cerdik menyamarkan jejak. Kurir fiktif, kendaraan tanpa identitas, dan paket tanpa pengirim semuanya menunjukkan bahwa orang di balik ini bukan amatir. Dan itu hanya berarti satu hal: Nio telah menyentuh sesuatu yang sangat sensitif.Ia membuka folder berlabel “Audit Produksi” di laptopnya dan melihat kembali beberapa laporan manipulasi gudang yang ia curigai berasal dari masa kepemimpinan Dharma dan timnya. Banyak nama muncul berulang, termasuk beberapa vendor bayangan yang tidak tercatat dalam kerja sama resmi. Semua masih
Di tengah kesibukan memeriksa laporan keuangan terbaru dari salah satu cabang baru, Nio duduk dengan serius di balik meja kerjanya. Pandangannya fokus, jemarinya mengetuk-ngetuk ringan dokumen sambil sesekali melirik ke layar laptop. Angka-angka memenuhi kepalanya, setiap ketidaksesuaian langsung ia catat.Namun, konsentrasinya buyar seketika saat suara notifikasi dari ponselnya berdenting. Ia meraihnya tanpa berpikir, mengira itu pesan biasa dari Ruby atau laporan tambahan dari tim audit. Tapi alisnya langsung bertaut saat membaca isi pesan itu.[Apa kau senang? Kita lihat, sampai kapan kau akan bertahan!]Nio menatap layar ponsel itu dalam diam, rasa dingin menjalar di tengkuknya. Nomor pengirim tidak dikenal. Tidak ada nama, tidak ada tanda siapa pelakunya. Hanya kata-kata tajam dan dingin yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih gelap di balik pekerjaan yang tengah ia jalani.Pintu ruangannya diketuk pelan.“Masuk,” kata Nio tanpa melep
“Proyek ini sudah dalam tahap perencanaan akhir?” tanya Nio setelah mendalami isi dari brosur proyek yang dia baca.Wilona mengangguk. “Benar. Dan sekarang kami sedang memilih mitra strategis untuk sistem logistik dan distribusi material, serta pengelolaan pembangunan yang efisien. Karena itulah kami menghubungi perusahaan Anda, Nio.”Nio menatapnya, sedikit terkesan dengan pendekatannya yang langsung dan terstruktur. “Anda ingin menjalin kerja sama dalam bentuk joint-operation atau kontrak jasa?”“Awalnya kontrak jasa,” jawab Wilona. “Namun jika memungkinkan, saya tidak menutup peluang untuk kolaborasi investasi dalam proyek lanjutan. Kami mencari mitra yang bukan hanya efisien, tapi juga memiliki komitmen terhadap nilai keberlanjutan.”Nio menautkan jari-jarinya. “Saya menghargai pendekatan Anda. Jujur saja, proyek seperti ini menarik. Kami memang sedang mencari peluang kerja sama yang sejalan dengan visi masa depan. Tapi ada satu hal yang ingin
Perjalanan menuju kantor cukup lancar. Cuaca cerah, langit biru bersih, seolah ikut merayakan kehidupan baru mereka yang perlahan tapi pasti menjelma indah. Saat tiba di kantor, ia masuk dari pintu samping, tak ingin membuat kehebohan. Namun beberapa pegawai yang melihatnya tetap menyapa ramah, dan Nio membalas dengan anggukan tenang.Di lantai atas, Ruby sudah menunggunya di ruangannya.“Kamu cepat juga,” kata Ruby sambil menyimpan dokumen ke dalam map.“Karena aku lapar,” jawab Nio sambil tersenyum.Ruby tertawa kecil. “Ayo, aku tahu tempat yang enak.”***Restoran Jepang itu tampak tenang, dengan arsitektur kayu khas dan lampion gantung yang berayun pelan setiap kali pintu digeser terbuka. Begitu memasuki ruangan, aroma kaldu dashi dan kecap asin menyambut Ruby dan Nio, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa lapar.Nio membuka pintu geser dengan satu tangan, mempersilakan Ruby masu
Mentari pagi menyelinap hangat melalui jendela besar kamar, membasuh ruang itu dengan cahaya keemasan yang lembut. Di atas ranjang luas dengan selimut yang masih kusut oleh malam penuh kehangatan, Ruby mengerjapkan mata perlahan. Cahaya menyentuh wajahnya, dan ia menggeliat kecil, merenggangkan tubuh yang masih lelah. Saat itulah suara lembut terdengar, memecah keheningan dengan hangat.“Selamat pagi,” ucap Nio yang masih berada di sebelahnya.Ruby menoleh, tersenyum kecil. Matanya masih sayu tapi penuh kehangatan. “Selamat pagi,” balasnya lirih.Tanpa perlu berkata lebih banyak, mereka saling mendekat dan bertukar ciuman lembut di pagi hari. Ciuman itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan tanda syukur bahwa mereka masih di sini, bersama.Nio membelai rambut Ruby sejenak sebelum perlahan turun dari ranjang. “Aku bersihkan diri dulu, lalu aku buatkan sarapan.”Ruby hanya mengangguk, masih menikmati kehangatan selimut