Share

Episode 02

"Eh, itu dia Zella dan Ghina. Hei!" Panggil Nia.

"Eh, Nia, ngapain?" Tanyaku, saat berpapasan dengannya.

"Aku mau ke kantin." Jawabnya. Aku menatap bingung ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya.

"Itu siapa?" Bisikku.

"Oh iya, aku lupa!" Dia menepuk jidatnya pelan.

"Kenalin, ini yang namanya Lian." Jawabnya memperkenalkan orang yang di sampingnya.

"Hai!" Sapa Ghina antusias.

"Hai!" Balasnya malu.

"Waah, ternyata laki-laki ada juga yang pemalu, ya?" Lian hanya menunduk malu.

Aku menyenggol lengan Ghina. Tidak sopan bicara seperti itu. Ghina hanya nyengir, tanpa merasa bersalah.

"Eh, lebih baik kita ngobrolnya di kantin aja." Usul Nia.

"Ide yang bagus!" Ghina mengacungkan jempol. Aku dan Lian mengangguk setuju.

"Ayo!" Saru Ghina memimpin. Kami berjalan beriringan menuju kantin.

"Kamu mau pesan apa?" Tanya Nia kepadaku, saat kami sudah mendapatkan tempat duduk masing-masing.

"Aku mau mie ayam." Jawabku.

"Kalau kamu, Ghina?" Tanya Nia lagi.

"Aku batagor." Jawab Ghina.

"Kalau kamu?" Tanya Nia menyenggol lengan Lian.

"Terserah kamu." Jawabnya singkat.

"Tidak ada yang namanya TERSERAH!" Bentak Nia kesal.

"Cepat, kamu mau apa?!" Paksa Nia mulai jengkel.

"Iya, iya. Aku mau mie goreng aja." Jawab Lian akhirnya.

"Huh, itu aja lama!" Umpat Nia.

Aku dan Ghina tertawa kecil melihat tingkah mereka.

"Baiklah, tunggu sebentar, ya!" Kami mengangguk.

"Makasih, Nia." Ucapku dan Ghina bersamaan.

"Iya, sama-sama." Balas Nia tersenyum, dan berlalu meninggalkan kami.

"Eh, kamu sejak kapan berteman dengan Nia?" Tanya Ghina mencari topik, agar tidak terlalu canggung.

"Eh, itu. Sejak kecil." Jawabnya patah-patah. Kami mengangguk-angguk. Ternyata Nia dan Lian sudah saling kenal sejak kecil.

"Hei, tidak perlu canggung kali." Ucap Ghina melambaikan tangan, menatap Lian yang sedari tadi menunduk malu-malu.

"Kita kan berteman, kenapa harus canggung?" Tanya Ghina mencoba bergurau. Aku tertawa, Lian hanya tertawa kecil.

"Kamu kenapa canggung gitu? Kami tidak akan menuntut kamu kok." Ghina terus mencoba bergurau.

"Aku canggung karena kalian orang terkenal, bagaimana aku tidak canggung?" Kami berdua saling tatap.

Terkenal?! Kami?! Sulit untuk dipercaya!

"Aku sangat senang bisa berteman dengan kalian, karena kalian orang yang baik, tidak seperti orang kaya lainnya." Gumamnya pelan, walau masih terdengar oleh kami. Aku dan Ghina saling pandang, tertegun mendengar jawabannya.

Saat dia hendak bicara lagi, ada yang memotong ucapannya  lebih dulu, "nih pesanan kalian sudah siap, maaf lama." Ucap Nia seraya duduk, sambil meletakkan nampannya ke atas meja.

"Bagaimana? Kalian sudah akrab?" Tanya Nia. Kami mengangguk.

"Oh ya, Nia. Kamu kok bisa kenal aku? Padahal aku jarang sekali ke perusahaan Papaku." Ucapku menatap Nia.

"Memang, kamu jarang ke perusahaan. Tapi setiap kali kamu ke perusahaan, orang-orang pada membicarakan kamu dan Ghina. Walaupun kamu hanya pergi sekali, itu sudah menjadi perbincangan hangat di perusahaan." Jawabnya. Aku mengangguk mengerti.

"Waah, seru ya berteman dengan kalian!" Puji Nia. Aku dan Ghina hanya tersenyum salah tingkah, atas pujiannya.

"Yaah, udah bel tuh!" Keluh Nia, saat mendengar suara bel masuk.

"Padahal masih banyak yang harus kita bicarakan." Nia menghela nafas panjang.

"Tenang saja, masih ada besok-besok, kok." Aku mencoba menghiburnya. Dia mengangguk, tersenyum.

"Ayo, masuk!" Ajak Lian. Kami mengangguk, menyusulnya.

                               ***

"Bagaimana, sekolah barunya?" Tanya Papa, saat makan malam.

"Tentu saja seru, Pa." Jawab Mama.

"Benar bukan, nak?" Tanya Mama menatapku. Aku mengangguk.

"Syukurlah kalau begitu." Papa menghela nafasnya.

"Oh ya, Ma, Pa. Tadi Zella bertemu dengan Ghina, Ma, Pa." Aku memberitahukan apa yang ada di benakku.

"Apa?!" Tanya Mama hampir tersedak.

"Kenapa, Ma?" Tanyaku bingung.

"Kenapa Bunda atau Ayahnya tidak mengabari Mama?!" Tanya Mama sedikit kesal.

"Mungkin dia ingin membuat surprise ke kita, Ma." Hibur Papa, menenangkan.

"Huh!" Mama mendengus kesal, lalu kembali menyendok kan makanan ke dalam mulutnya.

Papa hanya tersenyum sumbang. Merasa serba salah. Hanya beberapa menit saja, mood Mama berubah.

Entah kenapa suasananya menjadi canggung seperti ini.

Aku melirik ke arah Mama dan Papa.

Mereka hanya diam-diaman saja.

Aku sudah tidak tahan lagi, aku harus pergi.

"Ma, Pa." Panggilku.

"Ya?" Tanya mereka berdua secara bersamaan.

"Zella udah selesai makan, Zella duluan ya." Pamitku.

"Iya." Jawab Mama datar.

"Iya, sayang." Jawab Papa lembut, mengelus rambutku.

Aku berjalan menaiki tangga menuju kamarku. Lebih baik seperti itu, pergi menjauh dari situasi canggung yang tidak bisa aku kontrol itu.

                              ***

"Waah, bel istirahat udah bunyi, tuh!" Seru Sierra salah satu teman baruku.

Ternyata tidak terasa sudah bel istirahat saja.

"Baik, anak-anak kalian boleh istirahat." Saru Bu Afna sedikit berteriak, mengalahkan suara bel.

"Kamu, ke kantin tidak?" Tanya Ghina.

"Iya, ayo!" Jawabku.

Aku dan Ghina terus berjalan menelusuri koridor.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status