Sabrina bingung menjawab. Ia tak ingin dianggap wanita tak tahu diri di rumah ini apalagi ibu Renata sudah sangat jelas tidak menyukainya. Tidak hanya ibu Renata, Pak Sugeng dan Angelica pun tidak menyukainya.
Darren merasa kasihan melihat istrinya. Merangkul pundak Sabrina dan mengecup pelipisnya mesra. "Kamu jangan takut. Di sini ada aku. Aku tau, tadi Mama menegurmu. Jangan kamu ambil hati. Mama begitu, karena belum tau siapa kamu. Aku yakin, kalau mama udah kenal baik kamu, mama akan menyukaimu," sambung Darren berkata pelan. "Kalau begitu, izinkan aku berusaha mengambil hati Nyonya Renata. Aku punya keahlian memasak. Insya Allah Nyonya akan menyukainya." Darren menghela napas berat. Berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Ya sudah kalau itu maumu." Senyum Sabrina mengembang seraya mengucapkan terima kasih. Ia sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk mengambil hati ibu mertua. Darren duduk di kursi dapur, memerhatikan istrinya yang tengah memasak bersama beberapa asisten rumah tangga. "Tuan, lebih baik jangan di sini. Nanti badan Tuan bau dapur," celetuk Sabrina mendekati suaminya yang tersenyum bahagia melihat kecekatan Sabrina yang tengah menggoreng perkedel kentang. "Enggak apa-apa bau dapur. Yang penting, aku bisa menikmati kecantikanmu, Sabrina." Wajah Sabrina seketika memerah karena malu mendapat pujian dari Darren. Kedua asisten rumah tangga lainnya saling melempar senyum. "Tuan jangan berlebihan. Saya malu ...." cicit Sabrina berdiri di samping Darren. "Aku suka sikapmu yang malu-malu begini." Tanpa rasa malu pada kedua asisten rumah tangganya, Darren mendaratkan k3cupan di pipi Sabrina. Kedua mata Sabrina membeliak mendapati aksi mendadak sang suami. Pandangannya langsung mengarah pada Mbok Darmi dan Mbak Tuti. "Tuan ...." panggil Sabrina gemas. Ingin sekali ia mencubit Darren tetapi takut. Takut sikapnya tidak menyenangkan hati Darren. "Kenapa, Sayang? Mau balas c1umanku? Nih!" Darren semakin sengaja menggoda Sabrina. Ia menyodorkan pipi sebelah kiri tepat di depan b1b1r Sabrina. Sabrina menggelengkan kepala, meninggalkan suaminya yang terkekeh melihat Sabrina salah tingkah. "Darren!" panggilan seorang wanita tua membuat senyum Darren memudar. Sabrina jantungnya berdetak lebih cepat. Takut sekali kalau dirinya di marahi lagi. "Ngapain kamu duduk di dapur?" sentak Ibu Renata berdiri di samping Darren. Lelaki itu berdiri, menghela napas berat. "Pengen duduk aja, Ma. Aku permisi." Malas berdebat, Darren pergi meninggalkan dapur padahal ia ingin sekali menemani Sabrina memasak. Entahlah, Darren merasa nyaman dan bahagia jika berdekatan dengan Sabrina. Darren tersenyum menggelengkan kepala. Mungkin saat ini Darren tengah jatuh cinta pada Sabrina. "Kenapa kamu senyam-senyum?" Langkah kaki Darren terhenti ketika berpapasan dengan wanita yang masih mengenakan piyama. Rambut masih acak-acakan. Dari mulutnya menguar bau alkohol. "Bukan urusanmu!" Darren melengos, pergi meninggalkan Angelica yang kesal. Hatinya sangat kecewa dengan keputusan keluarga Wirawan. Mereka telah merestui Darren menikah lagi. Walau selama menikah, tidak pernah satu kali pun Darren menyentuhnya tetapi Angelica sangat tidak suka jika ada wanita lain dalam kehidupan rumah tangganya. Angelica melanjutkan langkah ke ruang makan. Ia menarik kursi, hendak menyantap sarapan yang terlambat. "Astaga, Angelica!" Baru saja Angelica menyuap roti tawar ke dalam mulut, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. "Kamu itu ... astaga, apa kamu enggak bisa mandi dulu baru keluar kamar?" sentak Ibu Renata melihat kelakuan menantunya. Angelica tampak tak peduli, tetap menikmati sarapan paginya. Ibu Renata menghela napas berat, mengambil kasar roti tawar dari tangan Angelica. "Mandi dulu sana! Mama bilang mandi dulu!" Kedua mata Angelica terpejam, napasnya memburu menahan emosi. Kalau saja tidak ingin kedua ornag tuanya, tentu Angelica sudah kabur dari rumah bagai neraka baginya. Tanpa mengucap sepatah kata, Angelica berdiri, menendang kursi meja makan, lalu berlalu masuk ke dalam kamar. "Menantu s1alan! Enggak punya sopan santun!" maki Ibu Renata penuh emosi. Wanita tua itu memejamkan kedua mata, napasnya naik turun. Sebelah tangan memegang dada. Jika boleh jujur, sebenarnya Ibu Renata sudah sangat muak dengan tingkah polah Angelica yang sering kali kurang ajar padanya. "Ada apa, Ma?" Pak Sugeng yang sebelumnya ada di ruang kerja, setengah berlari menghampiri istrinya. Ibu Renata duduk di kursi meja makan sembari memegang dada. "Ma, Papa kan udah bilang, jangan sering marah-marah. Nanti dadamu sesak lagi." Pak Sugeng duduk di kursi samping Ibu Renata, mengusap-usap bahu istrinya. "Pa, si Angelica semakin kurang ajar. Dia sarapan di sini tapi belum mandi, Pa. Jorok banget. Ih, jijik. Benar-benar makin hancur itu anak." Ibu Renata masih saja marah. Sangat tidak suka akan sikap dan kebiasaan buruk Angelica. Wanita itu memang tidak tahu diri. Selalu saja membuat Ibu Renata kesal. Pak Sugeng menarik napas panjang. Bukan hanya Ibu Renata yang kerap kali dibuat kesal Angelica, Pak Sugeng pun sama. Kadang kala Pak Sugeng merasa risih jika melihat Angelica mengenakan pakaian yang sangat minim. "Sebelumnya Papa udah bilang, biarkan saja Darren menceraikan Angelica. Papa juga enggak suka Angelica dari awal. Kalau bukan Mama yang minta Papa setuju dengan pernikahan Darren dan Angelica, Papa enggak mau punya menantu sepertinya." "Sudahlah, Pa. Enggak usah ngomong yang dulu-dulu. Pokoknya Mama enggak mau Darren dan Angelica bercerai. Kalau mereka bercerai, nanti keluarga kita malu, Pa. Selama ini, keturunanku enggak ada yang rumah tangganya bercerai." Ibu Renata tetap bersikeras ingin rumah tangga Darren dan Angelica tetap utuh walaupun diantara mereka tidak pernah ada rasa cinta. Pak Sugeng tak mampu lagi menyanggah ucapan istrinya. Dia hanya menganggukkan kepala. *** Makan siang, Ibu Renata, Pak Sugeng, Darren dan Angelica sudah duduk di kursi meja makan. "Mama enggak mau, besok-besok kamu keluar kamar belum mandi Angelica. Keluar kamar, harus sudah mandi, harus sudah rapi, harus sudah wangi, harus sudah cantik. Paham kamu, Lica?" Ibu Renata memperingatkan menantunya yang tampak ogah-ogahan mendengar peringatan ibu mertua. "Paham, Ma." Mata Ibu Renata mendelik mendengar jawaban singkat Angelica. Kemudian, semua orang yang ada di situ, menyantap makan siang yang telah disajikan Sabrina dan kedua asisten rumah tangganya. "Kenapa masakan ini beda? Rasanya kok ...." Wajah Darren menegang, memandang Sabrina yang mengintip di dinding pembatas antara ruang makan dan ruang dapur. "Iya, ya. Kok masakannya beda, ya? Peh, enggak enak. Ini pasti hasil masakan wanita kampung itu." Angelica ikut-ikutan bicara. "Enggak ... bukan enggak enak," ralat Ibu Renata, sambil mencicipi semua masakan yang tersaji di atas meja. Kemudian, lidahnya mencecap sambil matanya terpejam. Sabrina yang mendengar perbincangan keluarga Wirawan bersedih. Mbok Darmi dan Mbak Tuti yang berdiri di samping kanan kiri Sabrina memegang bahu wanita itu. Berusaha menenangkan. "Enggak enak ya, Ma?" Pak Sugeng dan Darren menunggu penilaian Ibu Renata dari hasil masakan Sabrina dan kedua asiten rumah tangganya. "Masakan ini beda banget rasanya. Rasanya tuh ... enak. Lezat. Semua bumbu dan rasanya pas. Ini ... ini siapa yang masak? Mbok Darmi ... Mboook ...." Sabrina tak menyangka kalau ibu Renata ternyata menyukai hasil masakannya. Darren tersenyum bahagia mendengar pujian yang meluncur dari mulut Ibu Renata. "Iya, Nyonya?" Mbok Darmi membungkukan setengah badan. Berdiri di samping Ibu Renata. "Mbok, ini siapa yang masak? Apa di rumah kita ada pembantu lain?" selidik Ibu Renata menatap wajah tua yang berdiri di sampingnya. "Enggak ada, Nyonya. Masakan ini ... eu ... masakan ini dibantuin sama Nona Sabrina, Nyonya." "Hah?","Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka