-Dibentak Mas Azka
Hari ini Mama dan papaku akan datang berkunjung ke rumah baru kami. Aku sangat bahagia dan langsung membeli beberapa bahan makanan yang akan aku olah untuk kusuguhkan pada mereka. "Mama sama papa jadi datang Dek?" tanya Mas Azka, ia memelukku dari belakang sambil menciumi pipiku gemas. "Jadi Mas, ini Ayra mau masak buat mereka," jawabku penuh semangat, Mas Azka mengangguk lalu membantuku mengupas bawang. Aku menoleh dan tersenyum padanya, dia memang sosok suami sempurna. "Beruntungnya Aku, dimiliki kamu…." lagu yang mewakili perasaanku saat ini. "Ayra mau masak apa emang?" tanya Mas Azka lagi, ia menaruh bawang yang sudah dikupasnya di mangkuk dan menyerahkannya padaku untuk ku potong-potong halus sebelum menumisnya."Mau bikin Ayam kecap sama udang asam manis Mas, terus bikin oseng kangkung juga. Papa kan suka," jawabku panjang lebar, aku tersenyum padanya, dia terdiam sejenak. Aku mengerti, dan tahu pasti dia memikirkan Ibunya. Ibunya juga sangat suka dengan oseng kangkung buatanku, walaupun kadang mengomel dan mengoceh mengatakan apa yang kumasak tak enak, tapi Ibu selalu menambah nasi jika menu masakan yang kusiapkan sesuai seleranya. Aku tersenyum dan memegang pundak Mas Azka. "Nanti Mas ke rumah ibu ya, Ayra masak banyak sekalian buat Ibu juga," ucapku lembut, Mas Azka terperangah mendengar aku mengatakan itu. Aku menjadi bingung karenanya."Mas kenapa?" tanyaku heran, ia memelukku dengan erat. "Mas kira Ayra sudah nggak peduli lagi sama Ibu," ucapnya malu, membuatku tertawa mendengarnya. Sepolos itukah suamiku ini? Aku juga seorang anak dan seorang wanita yang akan menjadi Ibu, mana mungkin aku membiarkan seorang anak yang sudah dibesarkan seorang Ibu mengabaikan tanggung jawabnya. "Ada uang yang udah Ayra siapin di dalam amplop dekat meja rias, itu uang untuk ibu, tapi kalau Mas mau kasih nanti jangan sampai dilihat oleh Kak Lastri dan Ayu ya," lanjutku lagi, Mas Azka hanya mengangguk, ku lihat matanya berbinar bahagia. Padahal selama ini tak pernah sekalipun aku melarangnya untuk memberi uang pada Ibunya jika memang ada kebutuhan ibu. Aku melarangnya saat itu karena merasa kalau kami dimanfaatkan oleh kedua saudaranya yang sangat licik.Segera setelah selesai memasak, aku memasukkan masakan ke dalam rantang untuk dibawa Mas Azka ke rumah Ibunya. Mas Azka berpamitan padaku, dan aku kembali meneruskan beberapa pekerjaan yang belum selesai. ***Tepat jam dua siang Mama dan Papaku datang, ku peluk mereka dengan haru. Sangat rindu rasanya pada kedua orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang, sudah lama aku tak bisa pulang kampung karena saat ini sedang mengandung, selain itu Mas Azka memiliki banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya. "Ayra kangen Ma," ucapku terisak, aku menangis dalam pelukan mama, mama mencium keningku dengan sayang. "Mama kangen Ayra juga," jawab Mama dengan sayang, Mas Azka keluar dari kamar, dan langsung salim pada kedua orang tuaku. Mas Azka memang sangat menghargai keluargaku, karena dia merasa di anggap sebagai keluarga ketika bersama kami dibandingkan ketika bersama keluarga angkatnya."Capek Pa, Ma?" tanya Mas Azka yang kemudian mengangkatkan tas Papa dan Mama ke dalam kamar tamu yang sudah ku bersihkan. Kami makan lalu mengobrol santai di ruang tengah. Banyak yang diobrolkan terutama masalah sawah Papa yang nantinya akan dibagi untuk aku dan A Rafi, karena kami hanya dua bersaudara. Aku mengantarkan Papa dan Mama ke kamar, lalu menyuruh mereka untuk beristirahat. Setelah membereskan ruang makan, aku menyusul Mas Azka ke kamar, kulihat ia seperti memikirkan sesuatu. "Kenapa Mas? Ada masalah?" Aku menghampiri Mas Azka yang duduk di tepi ranjang. "Gak papa sayang, Mas cuma lagi agak pusing," jawabnya terlihat bingung, sebenarnya aku tahu pasti ada sesuatu, Mas Azka memang terlihat murung setelah pulang dari rumah Ibunya, tapi aku memilih tak bertanya banyak karena aku tau Mas Azka pasti sedang butuh waktu sendiri sekarang.***Setelah dua hari, Mama dan Papa berpamitan untuk kembali ke kampung, setengah hati aku melepas mereka, karena masih sangat rindu rasanya, tapi aku tak bisa menahan mereka. karena Papa dan Mama punya tanggung jawab pada karyawan yang bekerja di empat minimarket dan juga beberapa petani yang bekerja di sawah kami. Setelah kepulangan orang tuaku, rumah kembali sepi. Aku merasa bosan dan berencana untuk membawakan bekal makan siang untuk suamiku. Pasti dia sangat senang, aku tersenyum memikirkannya. Setelah bersiap-siap, aku mengganti dasterku dengan gamis berwarna biru malam, lalu memakai jilbab berwarna coklat mocca, tak lupa ku oleskan lip matte di bibirku.Perutku semakin membesar, membuatku harus memakai hijab berukuran panjang agar bisa menutupinya. tendangan si dede pun semakin terasa, dan kadang membuatku geli sendiri. Aku segera memakai kaus kaki dan mengambil sepatu kemudian memakai helm. Hari ini aku ke kantor dengan mengendarai motor Mas Azka yang sudah jarang digunakan, karena sekarang Mas Azka ke kantor memakai mobil.Mas Azka sedang sangat sibuk, dia tidak menyadari kedatanganku. "Assalamualaikum sayang," ucapku lembut, Mas Azka terlihat terkejut melihat kedatanganku, namun senyumnya langsung merekah setelah itu. "W*'alaikumussalam, kok Ayra tau kalau Mas lagi kangen?" jawabnya senang, Ia bangun dan memelukku, aku hanya tersenyum dan melepaskan pelukannya."Nanti ada yang liat Mas, malu," ucapku sembari menjauhkan diri, ia mencubit hidungku gemas. "Mas belum makan kan?" tanyaku, dan Mas Azka mengangguk imut menanggapi pertanyaanku. "Ini Ayra bawain cumi saus tiram buat makan siang, Mas," ucapku sembari menyiapkan makanan untuknya, Mas Azka terlihat sangat senang lalu duduk sambil menggulung lengan bajunya, ia makan dengan lahapnya, sesekali dia mencoba menyuapiku namun ku tolak, karena perutku terasa mual jika mencium bau makanan yang berbau seafood. Selesai menemani Mas Azka makan, aku akan pulang. tapi Mas Azka melarangku. Ia menyuruhku untuk menunggunya dan pulang bersama. "Tapi Ayra bawa motor Mas," ucapku bingung, karena memang aku tadi mengendarai motor ke sini."Nanti gampang, Mas bisa minta tolong karyawan yang anterin," jawab Mas Azka, aku mengangguk dan kembali duduk menunggunya menyelesaikan pekerjaannya. *** "Mas, udah malam, kok motor belum di antar?" tanyaku sembari merebahkan diri di samping Mas Azka yang sedang menonton Tv di kamar kami. "Oh iya, Mas sampai lupa. Bentar Mas telepon Ari dulu," jawab Mas Azka, ia mengambil Hpnya dan mulai menelpon Ari, karyawannya. "Assalamualaikum, Ri gimana motor?" tanya Mas Azka, sejenak ia terdiam, terlihat wajahnya agak bingung."Oh gitu, ya sudah nanti biar saya yang urus. Makasih ya Ri, maaf merepotkan. Assalamualaikum," ucap Mas Azka, ia kembali duduk di sampingku, dan aku mendekatinya."Kenapa Mas? Ada masalah?" tanyaku penasaran, Mas Azka menatapku."Motor kita diambil sama Kak Lastri Ra," jawab Mas Azka ragu. Jleb! Kembali naik tekanan darahku, mau apa sih mereka. Kenapa selalu seenaknya pada kami. "Maksudnya apa Mas?" aku kembali bertanya untuk memastikan, berharap hanya salah dengar saja. "Tadi Ari mau antar motor ke rumah kita, tapi saat nyalain motor Kak Lastri datang dan bilang motor itu mau dipinjam dan sudah izin sama kita, karena Kak Lastri kakaknya Mas, si Ari langsung kasih aja," jawab Mas Azka menjelaskan. "Ayra gak mau tau ya Mas, motor itu besok sudah harus di rumah kita. Bukan karena Ayra pelit! Tapi Ayra gak suka cara kak Lastri yang seenaknya gitu. Itu motor kita, wajib hukumnya dia meminta izin kita sebelum meminjam bahkan memakainya," ucapku protes karena marah, terlebih lagi karena melihat Mas Azka yang lagi-lagi terlihat tak berdaya. "Kalau Mas nggak sanggup buat ngomong, nanti Ayra yang kesana untuk mengambil motor itu," ucapku kesal, aku menarik selimut dan membelakanginya. sungguh sangat emosi rasanya malam ini, biarlah aku mengabaikan Mas Azka kali ini, hanya malam ini. ***Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan dan membuatkan kopi untuk suamiku, tapi aku masih enggan berbicara padanya. Aku kesal karena Mas Azka selalu mengalah pada keluarganya yang selalu berlaku seenaknya saja. "Mas berangkat ya sayang. Assalamualaikum," ucapnya lembut, aku mencium tangan dan menjawab salamnya. Aku harus secepatnya berangkat mengambil motorku yang diambil tanpa izin oleh Kak Lastri. "Assalamualaikum," ucapku pelan, sudah berbulan-bulan aku tak menginjakkan kaki di rumah ini. "Waalaikumsalam," jawab Ibu datar, ia keluar dengan tampang sinisnya. "Mau apa kamu kesini?" Jangankan menanyakan kabarku, menyuruhku masuk saja tidak. Beginikah orang yang harus ku hormati atau segani? Aku mengomel dalam hati. "Mana Kak Lastri Bu, Ayra mau ambil motor Ayra yang diambil sama Kak Lastri tanpa izin kemarin." Aku langsung pada pokok pembicaraan ku, tak ingin terlalu lama di rumah yang penuh dengan kebencian ini. "Sejak kapan motor itu jadi motor kamu? Itu motor Azka, anak saya!" jawab Ibu kasar, aku menatap Ibu dengan tajam, lalu terkekeh. "Dan sejak kapan Ibu mengakui kalau Mas Azka itu anak Ibu?Apa karena Ibu tahu sekarang Mas Azka sudah diangkat menjadi Direktur di perusahaannya?" tanyaku datar, aku sengaja menyindir Ibu yang saat ini sudah salah tingkah. "Kamu jangan kurang ajar ya!" Ibu mulai membentakku."Walaupun Ayra sopan di mata Ibu, Ayra tetap menantu kurang ajar kan? Jadi gak ada benernya," jawabku lagi, aku memainkan tanganku, menahan kata-kata agar tak mengeluarkan kalimat yang menyakiti Ibu."Motor itu akan jadi milik saya, jadi nggak usah berharap untuk membawanya pulang," ucap Ibu dengan tampang kecutnya, ia masih saja ingin menahan motor itu. "Kalau dalam satu kali dua puluh empat jam, motor itu tak kembali ke rumah Ayra, jangan salahin Ayra kalau Ayra membuat laporan ke Kantor Polisi untuk Kak Lastri, karena dia mengambil motor itu tanpa izin dari kami." Aku berlalu meninggalkan rumah ibu, panas rasanya hatiku. Kenapa mereka selalu seenak jidat mengambil hak milik orang lain. Awas aja kalau sampai motorku tak kembali, akan ku laporkan mereka ke pihak berwajib. "Assalamualaikum," Mas Azka datang lebih sore dari biasanya dan hari ini wajahnya terlihat masam tak seperti biasanya. "Waalaikumussalam," aku mencium tangannya seperti biasa. "Sini dulu Dek, Mas mau ngomong," ucap Mas Azka, ia menyuruhku duduk di sampingnya. "Kenapa Mas?" Aku duduk tepat di samping kirinya. "Kamu tadi ke rumah Ibu?" tanyanya datar, ternyata mukanya tak enak dilihat karena Ibu mengadu pada Mas Azka. "Iya, aku cari motor kita," aku menjawabnya dengan santai. "Kamu mengancam mau laporin Ibu ke Kantor Polisi?" Mas Azka bertanya dengan nada dingin yang membuatku sedikit terkejut, semenjak dari awal menikah tak pernah Mas Azka berbicara dengan nada seperti ini. "Ayra cuma minta supaya Kak Lastri ngantar balik motor kita, Ayra dah bilang kan, Ayra gak suka caranya Kak Lastri yang selalu seenaknya pada kita." aku sedikit meninggikan suaraku. "Apapun alasan kamu, kamu nggak berhak buat ngancam Ibu kaya gitu Dek. Dia Ibu aku! Dan kamu harus mencoba menghormati dia, aku nggak pernah ya Dek nggak sopan sama orang tuamu." Kaget rasanya aku mendengar Mas Azka memarahiku seperti itu. "Aku cuma minta kembaliin motor dengan cara yang baik Mas, tapi Ibu..." belum selesai aku menjelaskan, Mas Azka memotong kata-kataku."Udahlah, Dek, aku capek! Kamu selalu saja merasa tersakiti oleh Ibu, padahal kamu juga melakukan hal yang sama pada Ibu, bisa nggak sih kamu ngalah aja? nggak usah cari ribut terus?" Mas Azka membentakku dengan kerasnya. Jleb!Ini beneran Mas Azka menyalahkan dan nuduh aku cari masalah? Padahal yang selalu cari masalah siapa coba? Aku tak menjawab Mas Azka, hancur sudah hati ini saat ia membentakku tadi. Kutinggalkan ia berlalu menuju kamar, kubanting pintu dengan keras lalu menangis dalam diam. Aku memukul dadaku pelan, sangat sesak rasanya. "Ya Allah, sesak banget rasanya, sakit, Ya Allah," ucapku lirih, tangisku pecah namun aku berusaha menahan agar tak ada suara sekecil apa pun yang keluar, aku hanya ingin sendiri saat ini.-Azka mulai ragu.Dua hari berlalu, Ayra akhirnya sudah lebih sehat dan diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Setelah sampai di rumah orang tuanya, Ayra langsung melepaskan rindunya pada Reyhan.“Maafin Umi ya sayang, Umi sudah ninggalin ade lama banget,” ucap Ayra menyesal, untung saja Ayra memang selalu memperhatikan kebutuhan putranya sehingga stok ASIPnya terpenuhi hingga satu minggu kedepan dan ia tak perlu mengkhawatirkan itu.“Ra, coba kamu lihat ini,” ucap Rafi, ia menunjukkan sebuah foto dimana terlihat Azka dan Keisha yang sedang duduk berdampingan di sebuah sofa yang terletak di sebelah ranjang Lastri.“Bukankah ini wanita yang dulu sempat mencari masalah padamu dan juga Azka, kenapa dia bisa kembali dekat dengan Azka? Apa sebenarnya tujuan Azka dan wanita ini?” tanya Ayah Ayra yang terlihat sudah semakin muak dengan menantunya itu.“Nggak ada tujuan atau masalah apa pun Pa, Keisha hanya membantu Kak Lastri saja,” ucap Ayra berusaha membela suaminya.“Jangan terus-terusan
-Ayra dipindahkan “A, Ayra mau sama Mas Azka. Kenapa Ayra harus dipisahkan dari Mas Azka?” ucap Ayra, ia terus menangis di samping Rafi yang menemaninya dalam mobil ambulance.Ayra dipindahkan di rumah sakit pusat kota dekat dengan rumah Rafi, orang tua Ayra sengaja memindahkannya agar mempersulit pertemuan antara Ayra dan Azka.“Azka harus diberi pelajaran atas segala yang sudah dia lakukan padamu Ra,” jawab Rafi, ia memilih untuk tak menatap ke arah adik semata wayangnya karena ia tak tahan melihat kesedihan Ayra.“Tapi...”“Ibu jangan banyak pikiran dulu ya, lebih baik istirahat agar tenaganya tak terkuras dan bisa cepat pulih,” ucap perawat yang mendampingi mereka.Ayra hanya diam dan terus menangis dalam diam, Rafi sesekali menoleh pada Ayra dan menghela nafasnya pelan, karena ia juga merasakan kesedihan yang dirasakan adiknya itu.‘Maaf Ra, tapi ini adalah hal yang harus kami lakukan agar Azka tak melakukan perbuatan yang sama lagi nantinya’ batin Rafi.***“Umi, Umi di mana?”
Sebelum Ayra di bawa ke rumah sakit.“Ajeng sudah keluar semenjak enam bulan yang lalu, bahkan kata petugas sipir tempat ia ditahan, Ajeng sudah sembuh dari penyakit menularnya,” ucap Aril yang merupakan kaki tangan Sandi dalam mencari informasi.“Apa kamu sudah menemukan informasi tentang siapa yang membantu perawatan dan mengeluarkannya dari tahanan?” tanya Sandi, terlihat ia mengerutkan keningnya karena sedang berpikir keras.“Sepertinya ia memiliki sedikit kekuasaan yang lebih besar dari kita sehingga agak sulit menembus info dari dalam, bahkan aku menawarkan uang yang lebih banyak tapi mereka tetap memilih menutup mulut dan tak mengatakan apa pun,” jawab Aril yang akhirnya diangguki oleh Sandi.‘Harusnya semua ini ku diskusikan bersama Azka, karena biar bagaimanapun jika aku dan Azka bekerja sama maka masalah yang kami lalui akan lebih cepat terselesaikan’ batin Sandi.***Sandi yang memang mencurigai gerak-gerik Keisha memilih untuk tak segera meninggalkan rumah sakit tepat sete
Ayra sudah di pindahkan di ruang perawatan VIP rumah sakit, dehidrasi yang dialaminya sungguh sangat berat sehingga agak sulit untuknya cepat pulih selain itu luka yang terdapat di tubuh Ayra juga memperburuk keadaannya.Ayu dan Sandi terus berada di sisi Ayra, mereka memendam kekesalan yang sama karena sudah seharian Azka tak kunjung datang padahal Ayu dan Sandi sudah mengirimkan banyak pesan untuknya.“Keterlaluan sekali Azka,” geram Sandi, Ayu yang mendengarnya juga ikut merasa marah.“Aku nggak ngerti otak Kak Azka dia taro di mana?” ucap Ayu menimpali.“Otaknya pindah ke dengkul Yank, sudah kebanyakan di cuci sama kedodolannya,” jawab Sandi sambil terus menatap kosong ke arah Ayra yang kini terbaring dengan lemah.“Kasian banget Kak Ayra,” ucap Ayu sedih.“Reyhan sama Aldi kasian kalau terlalu lama ditinggal Yank, apa aku hubungi saja keluarganya Kak Ayra?” tanya Ayu sambil menatap lurus pada suaminya.“Apa nggak nambah masalah kalau kita melibatkan mereka Yank?” tanya Sandi ragu
“Maaf Sus, pasien di kamar ini dipindahkan ke ruangan mana ya?” tanya Sandi saat mengetahui bahwa Lastri dan Azka tak berada di ruang VIP tempat Lastri harusnya dirawat.“Ibu Lastri sedang menjalani operasi kedua Pak, dan saat ini beliau ada di ruang operasi lantai tiga rumah sakit,” jawab Perawat wanita yang kebetulan sedang lewat, Sandi mengucapkan terima kasih lalu segera menuju lift untuk mencari Azka yang ia yakin berada di sana.Pintu lift terbuka Sandi mempercepat langkahnya namun ia sangat terkejut melihat Azka yang sedang terlelap di pundak seorang wanita yang saat ini sedang menatap Azka dengan penuh cinta, Sandi meradang dan menghampiri mereka dengan amarah yang membuncah.“Bangun Ka!” teriak Sandi, membuat Azka dan Keisha terkejut.“Apa-apaan sih Ndi?” tanya Azka sedikit kesal, ia mengucek matanya yang memang masih terasa panas karena sangat mengantuk.“Kamu yang apa-apan?” sanggah Sandi sembari menatap tajam pada keduanya.“Maksud kamu apa Ndi?” tanya Azka yang mulai ikut
Ajeng menatap nanar ke sebuah ruangan tempat putrinya berada, ia merasakan penyesalan yang begitu mendalam karena sudah membuat Lastri terluka.“Maaf Bu,” kata seorang perawat yang tak sengaja menabraknya, Ajeng segera menarik pashmina yang ia pakai untuk menutupi wajahnya dan berlalu dari sana untuk menghindari tatapan Azka yang menoleh ke arah mereka.“Ibu Lastri sekarang dalam keadaan kritis dan karena ada pendarahan saat operasi kedua, dia membutuhkan lebih banyak darah. Stok darah AB di rumah sakit ini sedang kosong, jadi tolong carikan pendonor untuk Bu Lastri secepatnya,” ucap Dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi, Azka mengangguk dan segera menghubungi beberapa teman, rekan, dan anak buahnya agar menemukan pendonor yang cocok untuk Kakaknya.“Yu, golongan darahmu apa?” tanya Azka saat telepon sudah tersambung.“Aku B kak, kenapa?” jawab Ayu khawatir.“Kak Lastri butuh pendonor Yu, golongan darahnya AB dan rumah sakit tak memiliki stok. Coba kamu tolong hubungi teman-
“Kenapa kamu kirim alamat ke Kak Lastri, Yank? Kenapa kamu bisa seceroboh itu sih?” teriak Ayu pada Sandi yang kini hanya mampu terdiam menunduk karena rasa bersalah. Ayu menyusul mereka semua setelah mendapat kabar dari Sandi.Sandi mengakui segalanya pada Ayu, Ayra, dan Azka namun hanya Ayu yang memaki suaminya dengan penuh amarah. Azka tak mampu mengatakan apapun lagi, ia sibuk menenangkan dirinya sendiri dan juga menenangkan Ayra yang terus saja menangis.“Kita harus apa Bi? Kita harus apa sekarang?” tanya Ayra yang merasa tubuhnya semakin melemah.“Sabar Mi, kita pasrahkan semuanya sama Allah semoga Allah memberikan keselamatan pada Kak Lastri,” jawab Azka, ia mengusap pelan punggung istrinya, ia pun tak henti mengusap air matanya yang juga ikut mengalir karena perasaan bersalah.“Maafin aku Yank,” ucap Sandi lirih.“Maaf kamu bilang? Maaf kamu apa bisa menyelamatkan Kak Lastri? Maaf kamu apa bisa membuat Kak Lastri sadar?” teriak Ayu, ia sangat murka terhadap apa yang sudah dila
-Ajeng dan KeishaAyra sedang berada di sebuah minimarket untuk berbelanja bulanan, ia pergi setelah menitipkan Reyhan pada Lastri. Ayra tak henti tersenyum karena ia berencana untuk menjodohkan Lastri dengan Rafi. Ia baru tahu bahwa Kakaknya itu memiliki perasaan pada Lastri. Setelah membayar semua belanjaannya Ayra keluar dan akan segera pulang, namun sebuah mobil hitam menghalangi pandangannya.Tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan merangkulnya, membuat Ayra merasa terkejut namun sebuah benda tajam terasa menusuk di pinggangnya. “Diam dan jangan coba berteriak!” ancam lelaki itu dengan berbisik. Ayra dibawa ke sebuah gedung tua dalam kondisi pingsan karena saat di jalan ia disuntik obat penenang oleh orang suruhan Keisha, Keisha sendiri sudah menunggu kedatangan mereka bersama dengan Ajeng yang saat ini memakai kaca mata hitam, ia sangat tak sabar menunggu kedatangan mantan menantunya itu walaupun sebenarnya ia tak pernah menganggap Ayra sebagai seseorang yang menjadi bag
-Lastri resmi bercerai.Surat gugatan cerai sudah keluar, kini Lastri dan Romi sudah resmi berpisah. Lastri sekarang sudah jauh lebih baik bahkan terlihat sangat baik dan terurus, tubuhnya yang dulu sangat kurus kini sudah berisi. dan satu hal perubahan yang paling mencolok darinya adalah kini ia memakai hijab dan pakaian longgar, terlihat sangat sederhana namun juga sangat anggun. "Cantik," ucap Ayra memuji kakak iparnya yang saat ini sedang bersiap menuju rutan tempat mantan suaminya ditahan."Iss, apaan sih Ra? Lebay tau nggak?" jawab Lastri, ia tersipu malu karena Ayra terlalu sering memujinya semenjak ia memutuskan menutup auratnya."Seriusan Kak, aku yakin deh lelaki baik akan segera melamar kakak," ucap Ayra tersenyum sangat manis. "Aamiin ya Allah," jawab Lastri sembari mengangkat kedua tangannya, ia meng aamiini doa Ayra dengan hati yang penuh harap. "Bu Ibu, dah selesai belum ngobrolnya? Soalnya aku bisa telat meeting nih," ucap Azka yang mengetuk pintu kamar Lastri. "S