Share

BAB 8

-Dibentak Mas Azka 

Hari ini Mama dan papaku akan datang berkunjung ke rumah baru kami. Aku sangat bahagia dan langsung membeli beberapa bahan makanan yang akan aku olah untuk kusuguhkan pada mereka. 

"Mama sama papa jadi datang Dek?" tanya Mas Azka, ia memelukku dari belakang sambil menciumi pipiku gemas. 

"Jadi Mas, ini Ayra mau masak buat mereka," jawabku penuh semangat, Mas Azka mengangguk lalu membantuku mengupas bawang. Aku menoleh dan tersenyum padanya, dia memang sosok suami sempurna. 

"Beruntungnya Aku, dimiliki kamu…." lagu yang mewakili perasaanku saat ini. 

"Ayra mau masak apa emang?" tanya Mas Azka lagi, ia menaruh bawang yang sudah dikupasnya di mangkuk dan menyerahkannya padaku untuk ku potong-potong halus sebelum menumisnya.

"Mau bikin Ayam kecap sama udang asam manis Mas, terus bikin oseng kangkung juga. Papa kan suka," jawabku panjang lebar, aku tersenyum padanya, dia terdiam sejenak. Aku mengerti, dan tahu pasti dia memikirkan Ibunya. Ibunya juga sangat suka dengan oseng kangkung buatanku, walaupun kadang mengomel dan mengoceh mengatakan apa yang kumasak tak enak, tapi Ibu selalu menambah nasi jika menu masakan yang kusiapkan sesuai seleranya. Aku tersenyum dan memegang pundak Mas Azka. 

"Nanti Mas ke rumah ibu ya, Ayra masak banyak sekalian buat Ibu juga," ucapku lembut, Mas Azka terperangah mendengar aku mengatakan itu. Aku menjadi bingung karenanya.

"Mas kenapa?" tanyaku heran, ia memelukku dengan erat. 

"Mas kira Ayra sudah nggak peduli lagi sama Ibu," ucapnya malu, membuatku tertawa mendengarnya. 

Sepolos itukah suamiku ini? Aku juga seorang anak dan seorang wanita yang akan menjadi Ibu, mana mungkin aku membiarkan seorang anak yang sudah dibesarkan seorang Ibu mengabaikan tanggung jawabnya. 

"Ada uang yang udah Ayra siapin di dalam amplop dekat meja rias, itu uang untuk ibu, tapi kalau Mas mau kasih nanti jangan sampai dilihat oleh Kak Lastri dan Ayu ya," lanjutku lagi, Mas Azka hanya mengangguk, ku lihat matanya berbinar bahagia. Padahal selama ini tak pernah sekalipun aku melarangnya untuk memberi uang pada Ibunya jika memang ada kebutuhan ibu. Aku melarangnya saat itu karena merasa kalau kami dimanfaatkan oleh kedua saudaranya yang sangat licik.

Segera setelah selesai memasak, aku memasukkan masakan ke dalam rantang untuk dibawa Mas Azka ke rumah Ibunya. Mas Azka berpamitan padaku, dan aku kembali meneruskan beberapa pekerjaan yang belum selesai. 

***

Tepat jam dua siang Mama dan Papaku datang, ku peluk mereka dengan haru. Sangat rindu rasanya pada kedua orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang, sudah lama aku tak bisa pulang kampung karena saat ini sedang mengandung, selain itu Mas Azka memiliki banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya. 

"Ayra kangen Ma," ucapku terisak, aku menangis dalam pelukan mama, mama mencium keningku dengan sayang. 

"Mama kangen Ayra juga," jawab Mama dengan sayang, Mas Azka keluar dari kamar, dan langsung salim pada kedua orang tuaku. Mas Azka memang sangat menghargai keluargaku, karena dia merasa di anggap sebagai keluarga ketika bersama kami dibandingkan ketika bersama keluarga angkatnya.

"Capek Pa, Ma?" tanya Mas Azka yang kemudian mengangkatkan tas Papa dan Mama ke dalam kamar tamu yang sudah ku bersihkan. Kami makan lalu mengobrol santai di ruang tengah. Banyak yang diobrolkan terutama masalah sawah Papa yang nantinya akan dibagi untuk aku dan A Rafi, karena kami hanya dua bersaudara. 

Aku mengantarkan Papa dan Mama ke kamar, lalu menyuruh mereka untuk beristirahat. 

Setelah membereskan ruang makan, aku menyusul Mas Azka ke kamar, kulihat ia seperti memikirkan sesuatu. 

"Kenapa Mas? Ada masalah?" Aku menghampiri Mas Azka yang duduk di tepi ranjang. 

"Gak papa sayang, Mas cuma lagi agak pusing," jawabnya terlihat bingung, sebenarnya aku tahu pasti ada sesuatu, Mas Azka memang terlihat murung setelah pulang dari rumah Ibunya, tapi aku memilih tak bertanya banyak karena aku tau Mas Azka pasti sedang butuh waktu sendiri sekarang.

***

Setelah dua hari, Mama dan Papa berpamitan untuk kembali ke kampung, setengah hati aku melepas mereka, karena masih sangat rindu rasanya, tapi aku tak bisa menahan mereka. karena Papa dan Mama punya tanggung jawab  pada karyawan yang bekerja di empat minimarket dan juga beberapa petani yang bekerja di sawah kami. 

Setelah kepulangan orang tuaku, rumah kembali sepi. Aku merasa bosan dan berencana untuk membawakan bekal makan siang untuk suamiku. Pasti dia sangat senang, aku tersenyum memikirkannya. 

Setelah bersiap-siap, aku mengganti dasterku dengan gamis berwarna biru malam, lalu memakai jilbab berwarna coklat mocca, tak lupa ku oleskan lip matte di bibirku.

Perutku semakin membesar, membuatku harus memakai hijab berukuran panjang agar bisa menutupinya. tendangan si dede pun semakin terasa, dan kadang membuatku geli sendiri. Aku segera memakai kaus kaki dan mengambil sepatu kemudian memakai helm. 

Hari ini aku ke kantor dengan mengendarai motor Mas Azka yang sudah jarang digunakan, karena sekarang Mas Azka ke kantor memakai mobil.

Mas Azka sedang sangat sibuk, dia tidak menyadari kedatanganku. 

"Assalamualaikum sayang," ucapku lembut, Mas Azka terlihat terkejut melihat kedatanganku, namun senyumnya langsung merekah setelah itu. 

"W*'alaikumussalam, kok Ayra tau kalau Mas lagi kangen?" jawabnya senang, Ia bangun dan memelukku, aku hanya tersenyum dan melepaskan pelukannya.

"Nanti ada yang liat Mas, malu," ucapku sembari menjauhkan diri, ia mencubit hidungku gemas. 

"Mas belum makan kan?" tanyaku, dan Mas Azka mengangguk imut menanggapi pertanyaanku. 

"Ini Ayra bawain cumi saus tiram buat makan siang, Mas," ucapku sembari menyiapkan makanan untuknya, Mas Azka terlihat sangat senang lalu duduk sambil menggulung lengan bajunya, ia makan dengan lahapnya, sesekali dia mencoba menyuapiku namun ku tolak, karena perutku terasa mual jika mencium bau makanan yang berbau seafood. 

Selesai menemani Mas Azka makan, aku akan pulang. tapi Mas Azka melarangku. Ia menyuruhku untuk menunggunya dan pulang bersama. 

"Tapi Ayra bawa motor Mas," ucapku bingung, karena memang aku tadi mengendarai motor ke sini.

"Nanti gampang, Mas bisa minta tolong karyawan yang anterin," jawab Mas Azka, aku mengangguk dan kembali duduk menunggunya menyelesaikan pekerjaannya. 

*** 

"Mas, udah malam, kok motor belum di antar?" tanyaku sembari merebahkan diri di samping Mas Azka yang sedang menonton Tv di kamar kami. 

"Oh iya, Mas sampai lupa. Bentar Mas telepon Ari dulu," jawab Mas Azka, ia mengambil Hpnya dan mulai menelpon Ari, karyawannya. 

"Assalamualaikum, Ri gimana motor?" tanya Mas Azka, sejenak ia terdiam, terlihat wajahnya agak bingung.

"Oh gitu, ya sudah nanti biar saya yang urus. Makasih ya Ri, maaf merepotkan. Assalamualaikum," ucap Mas Azka, ia kembali duduk di sampingku, dan aku mendekatinya.

"Kenapa Mas? Ada masalah?" tanyaku penasaran, Mas Azka menatapku.

"Motor kita diambil sama Kak Lastri Ra," jawab Mas Azka ragu. 

Jleb! Kembali naik tekanan darahku, mau apa sih mereka. Kenapa selalu seenaknya pada kami. 

"Maksudnya apa Mas?" aku kembali bertanya untuk memastikan, berharap hanya salah dengar saja. 

"Tadi Ari mau antar motor ke rumah kita, tapi saat nyalain motor Kak Lastri datang dan bilang motor itu mau dipinjam dan sudah izin sama kita, karena Kak Lastri kakaknya Mas, si Ari langsung kasih aja," jawab Mas Azka menjelaskan. 

"Ayra gak mau tau ya Mas, motor itu besok sudah harus di rumah kita. Bukan karena Ayra pelit! Tapi Ayra gak suka cara kak Lastri yang seenaknya gitu. Itu motor kita, wajib hukumnya dia meminta izin kita sebelum meminjam bahkan memakainya," ucapku protes karena marah, terlebih lagi karena melihat Mas Azka yang lagi-lagi terlihat tak berdaya. 

"Kalau Mas nggak sanggup buat ngomong, nanti Ayra yang kesana untuk mengambil motor itu," ucapku kesal, aku menarik selimut dan membelakanginya. sungguh sangat emosi rasanya malam ini, biarlah aku mengabaikan Mas Azka kali ini, hanya malam ini. 

***

Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan dan membuatkan kopi untuk suamiku, tapi aku masih enggan berbicara padanya. Aku kesal karena Mas Azka selalu mengalah pada keluarganya yang selalu berlaku seenaknya saja. 

"Mas berangkat ya sayang. Assalamualaikum," ucapnya lembut, aku mencium tangan dan menjawab salamnya. 

Aku harus secepatnya berangkat mengambil motorku yang diambil tanpa izin oleh Kak Lastri. 

"Assalamualaikum," ucapku pelan, sudah berbulan-bulan aku tak menginjakkan kaki di rumah ini. 

"Waalaikumsalam," jawab Ibu datar, ia keluar dengan tampang sinisnya. 

"Mau apa kamu kesini?" Jangankan menanyakan kabarku, menyuruhku masuk saja tidak. Beginikah orang yang harus ku hormati atau segani? Aku mengomel dalam hati. 

"Mana Kak Lastri Bu, Ayra mau ambil motor Ayra yang diambil sama Kak Lastri tanpa izin kemarin." Aku langsung pada pokok pembicaraan ku, tak ingin  terlalu lama di rumah yang penuh dengan kebencian ini. 

"Sejak kapan motor itu jadi motor kamu? Itu motor Azka, anak saya!" jawab Ibu kasar, aku menatap Ibu dengan tajam, lalu terkekeh. 

"Dan sejak kapan Ibu mengakui kalau Mas Azka itu anak Ibu?Apa karena Ibu tahu sekarang Mas Azka sudah diangkat menjadi Direktur di perusahaannya?" tanyaku datar, aku sengaja menyindir Ibu yang saat ini sudah salah tingkah. 

"Kamu jangan kurang ajar ya!" Ibu mulai membentakku.

"Walaupun Ayra sopan di mata Ibu, Ayra tetap menantu kurang ajar kan? Jadi gak ada benernya," jawabku lagi, aku memainkan tanganku, menahan kata-kata agar tak mengeluarkan kalimat yang menyakiti Ibu.

"Motor itu akan jadi milik saya, jadi nggak usah berharap untuk  membawanya pulang," ucap Ibu dengan tampang kecutnya, ia masih saja ingin menahan motor itu. 

"Kalau dalam satu kali dua puluh empat jam, motor itu tak kembali ke rumah Ayra, jangan salahin Ayra kalau Ayra membuat laporan ke Kantor Polisi untuk Kak Lastri, karena dia mengambil motor itu tanpa izin dari kami." Aku berlalu meninggalkan rumah ibu, panas rasanya hatiku. Kenapa mereka selalu seenak jidat mengambil hak milik orang lain. Awas aja kalau sampai motorku tak kembali, akan ku laporkan mereka ke pihak berwajib. 

"Assalamualaikum," Mas Azka datang lebih sore dari biasanya dan hari ini wajahnya terlihat masam tak seperti biasanya. 

"Waalaikumussalam," aku mencium tangannya seperti biasa. 

"Sini dulu Dek, Mas mau ngomong," ucap Mas Azka, ia menyuruhku duduk di sampingnya. 

"Kenapa Mas?" Aku duduk tepat di samping kirinya. 

"Kamu tadi ke rumah Ibu?" tanyanya datar, ternyata mukanya tak enak dilihat karena Ibu mengadu pada Mas Azka. 

"Iya, aku cari motor kita," aku menjawabnya dengan santai. 

"Kamu mengancam mau laporin Ibu ke Kantor Polisi?" Mas Azka bertanya dengan nada dingin yang membuatku sedikit terkejut, semenjak dari awal menikah tak pernah Mas Azka berbicara dengan nada seperti ini. 

"Ayra cuma minta supaya Kak Lastri ngantar balik motor kita, Ayra dah bilang kan, Ayra gak suka caranya Kak Lastri yang selalu seenaknya pada kita." aku sedikit meninggikan suaraku. 

"Apapun alasan kamu, kamu nggak berhak buat ngancam Ibu kaya gitu Dek. Dia Ibu aku! Dan kamu harus mencoba menghormati dia, aku nggak pernah ya Dek nggak sopan sama orang tuamu." Kaget rasanya aku mendengar Mas Azka memarahiku seperti itu. 

"Aku cuma minta kembaliin motor dengan cara yang baik Mas, tapi Ibu..." belum selesai aku menjelaskan, Mas Azka memotong kata-kataku.

"Udahlah, Dek, aku capek! Kamu selalu saja merasa tersakiti oleh Ibu, padahal kamu juga melakukan hal yang sama pada Ibu, bisa nggak sih kamu ngalah aja? nggak usah cari ribut terus?" Mas Azka membentakku dengan kerasnya. 

Jleb!

Ini beneran Mas Azka menyalahkan dan nuduh aku cari masalah? Padahal yang selalu cari masalah siapa coba? 

Aku tak menjawab Mas Azka, hancur sudah hati ini saat ia membentakku tadi. Kutinggalkan ia berlalu menuju kamar, kubanting pintu dengan keras lalu menangis dalam diam. Aku memukul dadaku pelan, sangat sesak rasanya. 

"Ya Allah, sesak banget rasanya, sakit, Ya Allah," ucapku lirih, tangisku pecah namun aku berusaha menahan agar tak ada suara sekecil apa pun yang keluar, aku hanya ingin sendiri saat ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status