Beranda / Romansa / Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu / Bab 120. Keputusan sudah bulat

Share

Bab 120. Keputusan sudah bulat

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-05 23:32:07

Bimo langsung berdiri. Kursi bergeser keras hingga membuatku refleks menatapnya. Wajahnya memerah, napasnya memburu.

“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menceraikan kamu!”

Suaranya memenuhi ruangan itu.

Aku diam beberapa detik. Aku sudah menduga dia akan berkata begitu, tetapi mendengarnya secara langsung tetap membuat dadaku sesak.

“Mas … jangan mulai lagi,” ucapku pelan, mencoba tetap tenang.

“Mulai gimana? Kamu yang tiba-tiba bilang mau cerai!” Bimo menunjuk dada sendiri. “Aku suami kamu, Nia! Kamu pikir keputusan sepenting itu bisa kamu ambil sendirian?”

Aku mengerjap perlahan.

“Justru karena aku sudah terlalu lama nggak punya suara, Mas. Bertahun-tahun aku diam, sekarang aku harus bersuara demi diriku sendiri.”

Bu Marni hanya menunduk. Dia seperti tersengat antara kaget dan tidak tahu harus berkata apa. Tangannya meremas ujung jilbabnya, tapi dia tidak menyela. Mungkin dia benar-benar tidak punya argumen untuk membelaku, atau membela anaknya.

Bimo melangkah mendekat. “Kamu m
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (2)
goodnovel comment avatar
yayaku72
rasain kamu bimo brengsekkk!!!
goodnovel comment avatar
Magda
lanjut......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 122. Dia Istriku

    “Terima kasih kamu mau antar Vania. Tapi aku datang untuk jemput istriku, Lang.”Suara Bimo terdengar tegas, dan penuh penekanan pada kata istriku. Dia berdiri tepat di depan Galang, tubuhnya sedikit condong ke depan seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa.Galang tidak mundur setapak pun. Mereka berdiri begitu dekat, hanya terpisah beberapa centimeter. Dua pria dengan dua sikap yang benar-benar berbeda, keduanya saling memandang tajam tanpa berkata apa-apa.Beberapa detik tak ada yang bicara di antara kami, hanya terdengar obrolan pelan pelanggan. Lalu Galang memecah keheningan.Dengan senyum yang sulit kuterjemahkan, antara mengejek atau sekadar terlihat tenang, dia berkata,“Kamu jemput Vania, Bim?”Suaranya terdengar seperti tidak percaya.Bimo mengangguk sekali, pendek.“Ya. Kasihan istriku kerja dari pagi.”Dia menatapku sambil tersenyum … tapi senyumnya berbeda. Aku tahu itu senyum palsu. Senyum yang hanya muncul kalau dia sedang ingin menunjukkan sesuatu ke orang lain.Ak

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 121. Dia Datang

    “Nia …. Apa kabar?”Suaranya lembut. Hangat. Jantungku berdetak cepat. Aku menelan ludah, mencoba tetap tersenyum.“Mas Galang ….”Galang makin mendekat. Tatapannya tidak berpaling sedikit pun dari mataku. Ada sesuatu dalam sorot “Hei,” katanya dengan suara lebih pelan, “kamu baik-baik aja?”Aku mengangguk, meski jelas sekali aku tidak baik-baik saja.Galang menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya. “Nia, bisa keluar sebentar? Nanti aku antar pulang.”Aku menelan ludah, melirik sekeliling. Beberapa karyawan jelas mengenali Galang. Dia suami Ratna. Mereka pasti bertanya-tanya jika aku keluar bersama Galang. “Mas … maaf.” Suaraku liriih.Galang mengangguk, wajahnya tenang.Seolah ia sudah menduga aku akan menolak. Tapi tatapannya f… tetap tidak berubah. Hangat. Lembut.“Nggak apa,” katanya. “Aku ngerti.”Untuk menutupi kegugupan yang langsung memanas di wajahku, aku cepat-cepat bertanya, “Mas mau makan apa?”Galang tersenyum. Senyum itu ... kenapa membuat dadaku makin berdebar? Tidak!

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 120. Keputusan sudah bulat

    Bimo langsung berdiri. Kursi bergeser keras hingga membuatku refleks menatapnya. Wajahnya memerah, napasnya memburu.“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menceraikan kamu!”Suaranya memenuhi ruangan itu. Aku diam beberapa detik. Aku sudah menduga dia akan berkata begitu, tetapi mendengarnya secara langsung tetap membuat dadaku sesak.“Mas … jangan mulai lagi,” ucapku pelan, mencoba tetap tenang.“Mulai gimana? Kamu yang tiba-tiba bilang mau cerai!” Bimo menunjuk dada sendiri. “Aku suami kamu, Nia! Kamu pikir keputusan sepenting itu bisa kamu ambil sendirian?”Aku mengerjap perlahan.“Justru karena aku sudah terlalu lama nggak punya suara, Mas. Bertahun-tahun aku diam, sekarang aku harus bersuara demi diriku sendiri.”Bu Marni hanya menunduk. Dia seperti tersengat antara kaget dan tidak tahu harus berkata apa. Tangannya meremas ujung jilbabnya, tapi dia tidak menyela. Mungkin dia benar-benar tidak punya argumen untuk membelaku, atau membela anaknya.Bimo melangkah mendekat. “Kamu m

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 119. Kejanggalan

    Pintu kamar terbuka. Aku masih memegangi gagangnya ketika mataku membesar tak percaya. Ruangan itu terang, bersih, dan begitu rapi Perlahan aku melangkah masuk. Lantai kayu berwarna terang terasa halus di bawah alas kaki. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan jantungku berdetak cepat.Ada sebuah ranjang besar di tengah ruangan, sprei warna pastel lembut, itu warna kesukaanku. Seprei itu membungkusnya rapi seperti baru saja diganti. Di sisi kiri, sofa panjang dengan meja sudut kecil yang tampak nyaman untuk duduk berjam-jam. Sisi kanan ruangan terdapat meja rias minimalis dengan cermin besar, sementara lemari pakaian tinggi berdiri tegak, pintunya sedikit terbuka. Isinya kosong, seakan-akan memang disiapkan untuk seseorang untuk menaruh barang.Tapi bukan itu yang membuatku benar-benar terpaku.Ada rak susun kecil di dekat dinding. Dan di sana … mataku membulat sempurna.Ada camilan sehat, vitamin ibu hamil, susu khusus kehamilan. Semua tersusun rapi, lengkap, dan masih ter

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 118. Kamar di Dalam Restoran

    Hari ini hari pertama restoran dibuka. Rasanya seperti mimpi. Dari pagi aku sudah mondar-mandir, memastikan semua bahan siap, bumbu aman, dan karyawan tidak ada yang kelabakan. Restoran ini berada tepat di tepi jalan besar, persis di pertigaan yang selalu ramai dilalui kendaraan. Area parkirnya luas. Itu yang membuatku sangat bersyukur, pelanggan mobil roda empat jadi lebih mudah datang.Dan benar saja, saat jam makan siang, tempat ini penuh sesak.Pelanggan berdatangan tanpa henti. Banyak di antara mereka yang datang dengan mobil mewah, sebagian besar adalah para pekerja kantor sekitar sini yang mampir karena penasaran melihat restoran baru. Aroma masakan memenuhi ruang makan. Terdengar suara sendok garpu, kursi bergeser, orang tertawa dan berbincang.Aku hanya duduk di kursi dekat kasir, memandangi keramaian sambil menahan perutku yang mulai sering kencang. Kehamilanku sudah besar sekali. Untungnya Rini dan Bu Iman gerakannya cepat, mengatur dapur supaya tidak ada pesanan yang terti

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 117. Bimo Tetaplah Bimo

    Sejak malam, aku terus memantau pengepakan barang-barang warung. Kardus-kardus sudah menumpuk di dapur. Wajan, panci, bumbu-bumbu, bahkan toples-toples sambal yang harus dipindah satu-satu. Rasanya campur aduk, lelah, tapi ada harapan baru yang menyemangati.Rini membantu dari tadi sore. Tangannya cekatan merapikan alat-alat masak sambil sesekali melucu biar suasana tidak terlalu tegang.“Mbak Van,” katanya sambil mengikat kantong bumbu. “Berarti warung nasi kita udah jadi restoran dong. Kasih nama yang bagus, Mbak.”Aku tersenyum. “Iya. Aku udah pesan spanduk. Karena menunya campuran dari berbagai daerah… aku namain Restoran Nusantara.”Rini berseru kecil, matanya berbinar. “Wah! Keren! Cocok banget sama menu kita.”Obrolan kami terus mengalir, dari dapur sampai ke teras. Kami bekerja sambil ngobrol sampai malam, sampai benar-benar selesai. Rasanya seperti sedang menyiapkan masa depan yang baru.Bimo tidak tahu apa-apa soal ini. Dan aku memang sengaja tidak memberi tahu.Besok pagi,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status