Hai, teman-teman, dan ini adalah cerita ke tiga. Semoga kalian suka dengan ceritanya. Hari ini adalah hari Rabu, hari dimana wanita-wanita yang dari luar negeri pulang kampung. Sungguh matang persiapan dari ketua Rt kami menyambut mereka, mulai dari jamuan makan, orkes dangdut, bendera merah putih, sampai suami-suami dari wanita yang akan pulang juga mendapatkan riasan. Untungnya tidak ada janur kuning disana, bersama menyan yang dibakar. Hari ini hari spesial bagi mereka semua. Tapi tidak untuk diriku.“Cepat, jangan sampai terlambat! Kita akan menyambut orang-orang penting!” kata Suwadi. Aku mendengar teriakan itu dari teras rumah, sebab lokasi penyambutan berada di tanah lapang sebelah rumahku. Memang begitulah adat desa kami, ketika ada TKW yang pulang kampung, maka tanah lapang sebelah rumahkulah yang menjadi lokasi penyambutan.Acaranya setelah TKW sampai di rumah, mereka akan dimintai urunan sebagai ganti modal pesta penyambutan. Aku suka-suka saja dengan acara seperti har
Menjadi TKW adalah salah satu cita-cita mulai di desaku. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan kesempatan itu. Minimal dari mereka harus lulusan SMA, katanya. Kalau aku tidak begitu percaya dengan syarat itu. Masak iya? Ingin jadi pembantu saja harus sampai lulusan SMA. Aku benar-benar tidak percaya, karena tidak pernah mengalami juga. Jelasnya, aku tidak ingin menjadi pembantu. Aku mempunyai cita-cita besar. Aku ingin menjadi bos, bukan bawahan. Bukan anak buah. Jika tidak menjadi bos, lebih baik menanam singkong di ladang saja.Kalian tahu? Kenapa TKW, atau orang-orang yang bekerja di luar negeri di desaku ini begitu dihargai? Karena mereka adalah orang-orang kaya. Bayangkan saja jika kalian berada pada posisi kami. Mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan bule. Pulang pergi naik pesawat. Mungkin ada juga yang naik kapal laut. Tidak ada yang bisa naik pesawat di desaku kecuali orang-orang penting itu. Maka, dengan berbagai alasan itulah masyarakat desa kami menghormati para T
Musim hujan telah datang kembali sekian lama sembunyi. Mereka datang dengan lebih banyak diam. Menyirami tanaman yang mulai tumbang. Memberi kehidupan kepada tanah yang kian gersang. Kehidupan mulai baru lagi. Petani berangkat pagi, membawa benih jagung, menuju lereng gunung, sebagai tanaman utama masyarakat desa ini, selain padi. Mereka yang mempunyai sawah telah sibuk dengan padinya. Mencangkul.Musim hujan telah datang kembali setelah sekian lama hilang. Mendatangkan asa sekalian mendatangkan beberapa kekhawatiran. Kemarin, sekitar setengah empat sore, hujan datang deras. Berhenti satu jam kemudian. Setelah dua hari, berarti sekarang, belum ada hujan datang lagi.persiapan kayu bakar di dapur kian menipis. Berarti tugasku sekarang adalah mencari kayu bakar. Perlu kalian ingat, tiada kompor gas di sini, primitif. Kayu bakar menjadi sangat penting. Aku harus masuk hutan untuk mencari kayu. Tidak terlalu sulit, tidak terlalu jauh pula. Inilah yang aku suka dari Indonesia. Tiada rotan
Siang itu, pada tujuh bulan lalu, desa heboh dengan kedatangan salah satu calon lurah. Calon lurah itu mempromosikan dirinya. Dia janji ini-itu. Dan yang paling diingat warga adalah dia akan membangun gapura masuk desa kami.“Nanti kalau saya berhasil menjadi kepala desa, saya berjanji akan membangunkan desa ini gapura masuk. Agar apa? Agar desa ini menjadi seperti desa. Makam saja ada gapuranya, masa desa tidak ada?” begitu kanyanya kepada kami semua. Seluruh warga desa kami memilih Pak Khosir, calon kepala desa yang menjanjikan gapura itu. Entah seberapa kuat dukun yang dia sewa, hasilnya dia menjadi pemenang pemilihan. Apakah gapura sudah menjadi kenyataan? Aku rasa tidak akan, tidak akan pernah menjadi nyata. Itu hanyalah sebuah kalimat yang dia gunakan untuk membodohi kami.Isu panas berkeliaran. Warung kopi satu-satunya di desa kami membicarakan hal itu. Pos ronda malam juga demikian. Katanya, desa ini akan mengadakan semacam demo kepada lurah. Katanya lagi, lurah se
Akhir-akhir ini aku sering sedih tanpa sebab. Mana mungkin tiada sebab? Mungkin aku yang belum mengetahui penyebabnya. Binti? Biasa saja. Aku tidak sedih karena dia. Kayu bakar? Masih banyak di belakang. Bayam? Sudah tumbuh juga di belakang. Lalu apa yang seharusnya menjadi penyebab kesedihan ini?Aku memegangi buku yang diberikan Binti dua hari lalu. Indah, seperti yang memberi. Aku tidak tega mencoretnya dengan tangan berdosaku. Aku tidak tega melihatnya menjadi hitam. Akhirnya aku belum memberikan tulisan sama sekali kepada buku itu sampai saat ini.Aku membayangkan wajah Binti ketika memberikan buku itu. Dia sedikit tersenyum. Walaupun sedikit, rasanya seperti madu paling mahal. Manis sekali. Mungkin dia kasihan kepadaku yang putus sekolah.Sudah dua hari ini aku tidak melihat Binti lewat depan rumahku untuk berangkat sekolah. Satu hari karena hari Minggu. Dan hari Senin sengaja aku tidak menunggu dia di depan rumah. Aku memilih minum kopi bersama ayam di belakang rumah, tempatku
Dua bulan berjalan menyenangkan, sekaligus agak membingungkan. Berkali-kali aku datang ke toko milik ibunya Binti. Berkali-kali pula aku melihat senyum manisnya. Berkali-kali pula aku tidak dapat menyimpulkan, apakah isi hati ini perlu dikeluarkan. Jika tidak, aku takut akan membuat sesak. Lalu, satu sudut hatiku berpendapat bahwa beban harus tersampaikan.Sore itu, sekali dari berkali-kali datang ke toko Binti, aku berusaha sekuat jiwa dan raga untuk menyampaikan niat, bahwa aku mencintainya. Namun sepertinya saat itu gagal kembali. Bahwa aku akan merantau, meninggalkan desa ini untuk beberapa bulan. Bahwa aku mencintainya, dan berharap, atau lengkapnya meminta kepadanya untuk menungguku kembali. Bahwa cintaku hanya untuknya. Aku harap sebaliknya juga sama.Tapi apalah daya, bahwa aku yang mencintainya, sama sekali tidak mempunyai kuasa. Sore itu aku hanya membeli cabai hijau, dan juga merah. Pedas, seperti kehilangan senyum indah itu. Sore-sore yang lainnya, ketika mencari-cari alas
Dua bulan menunggu, akhirnya ibu memanggilku dengan serius. Aku datang kepadanya, di balai rumah. Di sana, hanya ada aku dan Ibu. Bapak entah kemana tidak ada di rumah. Biasanya, lepas maghrib dia main kerumah teman, bercanda ria di sana. Atau, bicara soal masa-masa kecil dahulu.“Tujuh hari lagi kamu akan berangkat, nak!” kata Ibu kepadaku.Tujuh hari lagi, berarti sudah sangat pendek waktuku di desa ini. Apa yang akan aku lakukan? Biaya belum ada, aku harus datang kepada Pak Rt. Dia akan membantu, mungkin.“Tenang saja, biaya sudah ibu tanggung. Kamu tinggal berangkat saja!” katanya lagi.Bibirku bergetar, seperti ada rasa baru dalam hidup yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Rasanya, aku tidak percaya dengan apa yang Ibu katakan tadi.“Ibu sudah jual jagung yang selama ini kita rawat!” tambahnya.Oh, aku menangis kali ini. Ternyata ibu menahanku untuk tidak merantau saat itu karena belum ada biaya untuk ongkos berangkat. Rasanya aku malu. Rasanya aku sangat bersalah atas penj
Hujan belum datang setiap hari, masih jarang-jarang. Desa ini selalu indah dengan setiap musimnya. Kemarau kami indah dengan debu-debu, daun jati menggugurkan diri, panas udara, lalu datang sapuan angin menyejukkan. Dan yang tidak kalah dengan keindahan pantai di Bali adalah musim layangan. Setiap sore, angin yang stabil, tidak terlalu kencang, selalu menjadi incaran anak-anak desa. Termasuk diriku yang mengejar angin itu untuk menerbangkan layangan. Di desa kami, remaja sepertiku masih sangat layak bermain layangan, bukan hanya anak-anak kecil.Sore ini panas, tidak terlalu panas juga. Langit mendung, menampakkan awan yang tidak terlalu hitam, hanya keabu-abuan. Angin dingin menyampaikan salam kepada penduduk desa, bahwa Tuhan sedang bahagia di atas sana. Bahagialah orang desa saat itu, walaupun persediaan beras mereka sudah tidak cukup untuk besok lusa.“Pegangnya yang bener, To… Kamto kamprett!” kata seorang anak yang tidak terima. Layanganya tersangkut di dahan pohon mangga.Sumil