Share

Rumah yang Semu
Rumah yang Semu
Author: Olivia Atmodjo

#1 Diana

Tidak seperti hari – hari biasanya, rutinitas di proyek hari ini sedikit melambat karena hujan yang tak kunjung reda sedari pagi membuat kantor ramai. Semua orang berkumpul di assembly point karena kegiatan kerja tidak mungkin dilanjutkan.

Sudah sebulan ini semangat Diana hilang entah kemana setelah mengakhiri hubungan dengan Malik, lelaki yang sudah setahun ini menemani hari – harinya. Jangankan tersenyum, untuk membuka mata dan mengawali hari pun enggan rasanya.

“Kayaknya gue ga bisa LDR lagi, Di. Gue minta pengertian lu ya. You deserve someone better than me.” Kata – kata Malik sebulan lalu kembali terngiang di kepala.

Awalnya Diana terkejut mendengarkan kata yang keluar dari mulut Malik, namun akhirnya Diana menyadari hubungan jarak jauh Kediri – Jakarta bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan pasangan muda seperti dirinya dan Malik.

Ketika Diana tahu lelaki yang sangat ia sayangi ingin mengakhiri hubungan, Diana sadar, mempertahankan hubungan ini pun akan semakin menyakiti dirinya sendiri. Namun di sudut hatinya yang terdalam ia tahu, Malik sudah dekat dengan teman sekantor yang sering Ia ceritakan saat video call.

“Lu kalo mau cerita, cerita aja Di, jangan dipendem sendiri. Walaupun gue ga akan bisa ngerasain apa yang elu rasain, seenggaknya kan gue bisa jadi pendengar yang baik.” Ucap Raka sahabatnya menyadarkan Diana dari lamunan.

Raka adalah sahabat Diana sejak mereka ditempatkan di proyek Yogyakarta 2 tahun yang lalu. Sosok Raka sudah seperti kakak baginya. Mereka berdua juga berasal dari kota yang sama, Semarang. Namun, jenis kakak yang menyebalkan, seperti itulah Raka di mata Diana.

“Susah mas ngomongnya. Pikiran gue kalah kali ini sama perasaan gue. Ga tau lah ini. Ga enak banget rasanya.” Ucap Diana sambal menyalakan sebatang rokok.

Raka paham betul, Diana ini perempuan mandiri yang logikanya lebih dominan daripada perasaannya. Jarang sekali Raka melihat Diana sampai segalau ini dalam hubungan percintaan.

“Eh Di, lu mau gue kenalin ke temen kuliah gue ga? Temen se gank gue nih. Tapi kita ga deket – deket banget sih. Cuma kalo se gank lagi ngumpul ya kita ketemu.” Lanjut raka sambil melihat chat di handphonenya.

“Nih, Adhimas Setyanegara namanya. Panggilannya Setya. Orangnya agak berisi gitu, lumayan tinggi lah orangnya, keluarga pengusaha dia tuh, bocah old money nih ga kaleng – kaleng. Yang paling penting, si Setya ini senasib sama elu. Sama – sama abis putus cinta. Baru sebulanan lah kali. Sabi banget nih buat temen adu nasib.” Lanjut Raka sambil menunjukkan sebuah photo.

“Lah, old money dibawa – bawa. Bocahnya bisa kerja ga? Ntar Taunya ngandelin duit bokapnya doang, tapi gabisa kerja” jawab Diana sedikit kesal mendengarkan Raka mempromosikan temannya seperti sales marketing.

“Bisa lah Di, seumuran kita juga orangnya. Eh, dia setahun dibawah gue, setahun di atas elu berarti. Gimana, masuk kriteria kan Bu? Dilanjut jangan nih?” sahut Raka.

“Tanyain dulu ke orangnya gih mas. Mana tau dianya ga mau. Mana tau dia belum move on dari mantannya. Ya kan?”

“Okelah kalau begitu. Gue langsung tanyain ke yang bersangkutan ya.” Tutup Raka.

---

Sudah seminggu ini hujan tidak berhenti mengguyur kota Kediri. Ditemani secangkir kopi hitam, Diana menghampiri Raka yang tengah duduk sendirian di smoking area menikmati rintik hujan dan asyik memainkan game di handphonenya.

“Eh gimana tadi ceritanya temen lu yang kemarin mas?” tanya Diana menghampiri Raka sambil duduk dan menyalakan rokoknya.

Melihat antusiasme Diana, Raka bergegas menyelesaikan permainannya dan mencoba menjelaskan secara singkat tentang Setya teman kuliahnya.

“Jadi ni temen gue, namanya Adhimas Setyanegara, Setya panggilannya. Anaknya baik, ga neko – neko sih setau gue. Cuma ya itu Di, tipikal anak orang kaya lainnya, mayan tengil lah pasti menurut elu. Kayanya itu doang sih Di yang bisa gue certain. Sisanya elu ulik sendiri aja ke orangnya. Gimana? Gue kasih nomer elu ke dia ya?” ucapnya dengan penuh semangat.

“Yaudah deh kasih aja mas. Tapi ntar di tengah jalan kalo ga ku lanjutin ga papa ya?” tanya Diana sedikit heran melihat Raka yang sangat bersemangat.

“Itu semua terserah kalian. Tugas gue sebagai mak comblang cuma sampe saling kasih nomer handphone kalian aja. Buat seterusnya gue balikin ke kalian aja. Deal?” ucap Raka sekali lagi meyakinkan Diana.

“Oke mas. Nothing to lose ya kita.” Kata Diana.

Diana tidak berharap banyak dengan teman Raka ini. Namun ada sedikit rasa lega, karena sekarang ia tidak terlalu terhanyut dalam kesedihan akan kisah cintanya yang kemarin pupus.

Sore itu juga saat Diana berkemas untuk Kembali ke mess, Raka yang sudah rapi dan menuju ke mobil jemputan mampir ke meja Diana.

“Di, Setya nge – chat elu tadi tapi katanya kagak dibales. Gue sih jawabnya elu lagi ribet banget hari ini. Ntar bales aja kalo uda free.” Ucapnya sambal berlalu menuju ke mobil.

Buru – buru Diana mengecek handphone yang sedari pagi Ia simpan di laci.

“Hai Diana, ini Setya teman kuliahnya Raka.”

Sebuah pesan teks dari Setya baru terbaca oleh Diana.

“Hai mas Setya, ini Diana teman kantornya mas Raka.” Jawab Diana sambal tersenyum simpul.

Diana meraih tasnya dan berjalan menuju gerbang depan. Senyum tak henti menghiasi bibirnya sore itu.  Akan seperti apa kisah ini nantinya, Diana masih menunggu akan seperti apa percakapan mereka nantinya.

Diana dan Setya berencana akan bertemu di acara Pekan Arsitek yang akan diadakan dua minggu lagi bertepatan dengan tanggal cutinya. Sebelumnya Diana sudah berjanji akan menghadiri acara tersebut dengan sahabat baiknya.

Banyak hal yang membuat Diana merasa insecure akan dirinya yang tomboy dan cenderung cuek dengan penampilannya. Banyak kalimat – kalimat yang menghantui pikirannya.

Besok pas ketemu gimana ya? Orangnya kayak gimana ya? Bakalan nyambung ga orangnya? Bakalan iflil ga ya ngeliet gue? Mesti bilang apa nih ke Setya kalo gue ternyata ga sendirian datang ke acara itu? 

"Aaaargghhh. Apa – apaan sih kamu Diana." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status