Share

#3 Kabar

Sudah satu bulan sejak pertemuan Diana dan Setya namun tak kunjung ada kabar dari Setya. Diana berpikiran bahwa Setya tidak tertarik dengannya dan sudah dekat dengan perempuan lain. Karena sejak awal niatnya hanya untuk menambah teman, Diana berusaha merasa biasa saja walaupun di dalam hatinya ia menunggu respon dari Setya.

“Gimana Di ketemuan sama Setya kemarin? Sukses ga?” Raka menepuk bahu Diana dari belakang.

“Ga ada kabar mas. Ngilang aja orangnya abis ketemu kemarin. Gue kurang oke kali ya” jawab Diana.

“Elunya sendiri gimana? Oke ga sama dia?” tanya Raka

“Sebenernya oke aja kalo mau dilanjut mas. Tapi orangnya kayaknya ga mau tuh. Ga ada kabar sampai sekarang” ucap Diana pasrah kali ini. Sedikit heran ia melihat Raka terus mendesaknya dengan pertanyaan tentang Setya secara tiba – tiba.

“Denger sendiri kan lu apa jawabannya. Udah ya gue matiin dulu mau kerja” tiba – tiba Raka menutup telephone tepat di sebelah Diana.

Wait, barusan maksudnya apa ya mas? Telponan sama siapa lu?” tanya Diana bangkit dari kursinya dan meraih handphone Raka. Tertulis nama ‘Setya’ di panggilan keluarnya.

“Kalian tuh ya. Sama – sama hobi ngerepotin orang. Padahal chat langsung ke yang bersangkutan kan bisa. Ngapain mesti gue yang jadi perantara.” Raka terkekeh.

“Ya kan elu pak comblangnya mas”

Setelah mengetahui bahwa sedari tadi Setya mendengarkan jawaban Diana melalui telephone. Kesal, malu dan marah bercampur jadi satu di pikirah Diana.

“Hai Diana teman kerjanya Raka” sebuah pesan teks masuk ke handphone Diana.

Sebulan ternyata ini mereka memiliki pikiran yang sama. Diana mengira Setya ilfil dengannya, sedangkan Setya mengira Diana tidak suka dengannya karena terlalu banyak bicara tempo hari.

Diana pun tersenyum dan membalas pesan dari Setya. Lega, karena setidaknya saat ini Diana punya tidak lagi menebak – nebak seperti apa kesan Setya padanya hari itu, walaupun ia belum tahu akan berakhir kemana hubungan ini.

---

Diana dan Raka ditunjuk sebagai panitia acara serah terima proyek kali ini. Menandakan bahwa sebentar lagi akan ada surat penugasan baru yang berarti memindahkan mereka ke lokasi proyek baru. Doa Diana masih sama, semoga kali ini juga masih ditempatkan di sekitar Pulau Jawa. Diana masih enggan jauh dari keluarganya.

“Yah, elu dipindah ke Pasuruan mas? Ga seproyek lagi dong kita?” Diana dan Raka mengobrol di smoking area usai serah terima pekerjaan sore ini.

Diana mendapatkan surat penempatan kerja di Magelang, sementara Raka di Pasuruan, akhirnya setelah tiga tahun mereka selalu bersama dalam sebuah proyek, kini harus berpisah juga pada akhirnya.

“Iya nih Di. Masih jauh aja dari rumah. Mana disuruh langsung on site.” Jawab Raka “Tapi santai, kan tiga bulanan kita bisa tetap ketemu. Magelang juga masih deket dari Semarang” lanjut Raka lagi.

“Kisah cinta gue gimana dong ini? Pak comblangnya jauh. Hahaha” mereka tekekeh besama.

“Kan bisa telpon Oneng. Gue pantau aja, kalau Setya macem – macem atau berulah, kabarin gue ya Di. Gue maju paling depan kalo elu kenapa – kenapa.” Ucap Raka lagi.

“Eh Di, tapi elu masih berhubungan sama temen kuliah lu itu ga sih? Siapa Namanya gue lupa?”

“Oh, kenapa emangnya mas?”

“Ya kan jangan sampai elu nyakitin temen gue juga. Ntar tau – taunya elu malah pacaran sama temen kuliah lu itu terus temen gue lu buang gitu aja” Raka bertanya penuh curiga.

“Ya engga gitu lah mas. Aman kalo itu. Tenang aja. Lagian kan sama Setya niatnya masih temenan, belum ada obrolan ke arah lain.” jawab Diana dengan senyum getir di mukanya.

---

Dan akhirnya hari perpisahan pun tiba. Usai berpamitan, rombongan pegawai yang pindah ke daerah lain di sekitar Jawa Timur sudah meninggalkan proyek. Diana Kembali ke mess melanjutkan merapikan barang – barang yang akan dibawa pulang sebelum diantarkan ke stasiun siang ini.

Ketika Diana melangkahkan kakinya meninggalkan mess. Banyak sekali kenangan di rumah itu. “Selamat tinggal. Mari kita mulai perjalanan yang baru” ucapnya dalam hati.

Terbayang di benaknya suasana baru dan orang – orang baru yang akan ia temui, dan pastinya harus beradaptasi dari awal lagi.

Di perjalanan menuju Semarang, Diana memasang headphonenya mendengarkan playlist lagu indie kesukaannya. Sebuah notifikasi muncul Ketika ia hendak memasukkan handphone ke dalam jaketnya.

“Nanti jam 19.00 nyampe di stasiunnya?”

“Iya. Tapi bawaanku lumayan banyak nih. Gapapa?” tanya Diana memastikan.

“Okay. Jam 19.00” jawaban yang singkat, padat dan cukup jelas.

Diana hanya tersenyum sampai akhirnya ia tenggelam dalam tidurnya.

Kaget. Diana terbangun dari tidurnya Ketika checker tiket memberitahunya bahwa sepuluh menit lagi kereta akan sampai di stasiun Tawang Semarang. Buru – buru Diana berdiri mengecek barang bawaannya bersiap untuk turun.

Setibanya Diana di Stasiun Tawang Semarang, Diana tidak melihat sosok yang ia kenal di depan pintu keluar. Ia berjalan ke arah ruang tunggu di dekat area drop off. Diana masih mencari di sekitar ruang tunggu dan masih belum menemukan orang yang ia cari.

Sampai pandangannya tertuju pada seseorang yang tengah duduk terkantuk – kantuk dan Nampak sekali mukanya sangat elah.

“Mas Ghany” Diana menghampiri dan menepuk bahu lelaki itu.

Ghany kaget melihat Diana sudah berdiri di belakangnya. “Kamu dari tadi berdiri di situ? Katanya banyak barang bawaannya” Ghany heran karena hanya dua koper besar yang Diana bawa.

“Lama ya nunggunya?”

“Enggak kok. Mau makan apa nih? Belom makan kan pasti?”

“Terserah kamu aja mas. Capek banget ga bisa mikir. Hehe”

“Kamu nih kebiasaan. Yaudah, nasi goreng Bahagia di Pecinan aja ya kalo gitu” ujar Ghany beranjak dari tempat duduknya dan menarik koper yang diana bawa.

Diana dan Ghany dulu pernah mempunyai mimpi yang sama. Membangun rumah tangga yang indah berdua. Dada Diana masih saja sesak menghadapi kenyataan itu sampai detik ini. Ghany sangatlah memenuhi kriteria pria yang ingin ia jadikan pasangan hidupnya kelak. Namun perbedaan kepercayaan yang mereka pegang, membuat keduanya tidak sanggup untuk melangkah lebih jauh lagi.

Walaupun sekarang Ghany selalu ada untuk Diana, ia tidak mau membiarkan Ghany terpaku akan dirinya sehingga Ghany dapat menemukan perempuan lain yang lebih layak dari dirinya.

“Jadi udah ada cowo nih sekarang? Senyum – senyum terus tiap bales chat” tanya Ghany melihat Diana selalu tersenyum membalas chat sepanjang perjalanan. Biasanya Diana jarang melihat handphonenya ketika mereka sedang berdua.

”Belum mas, masih kenalan aja kok ini. Kamu sendiri gimana?”

“Waduh, salah ngomong nih gue” pikir Diana.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Ghany hanya terdiam. Tidak satu patah kata pun keluar dari mulut Ghany untuk menjawab pertanyaan Diana tadi.

Selesai menurunkan koper dan tas Diana, Ghany langsung masuk ke dalam mobil.Biasanya Ghany mampir sebentar untuk sekedar menyapa Ayah Diana. Namun tidak kali ini. 

“Gampang ya Di buat kamu.” Ghany menutup jendela mobil dan langsung berlalu begitu saja dari rumah Diana.

Diana masih mematung di depan rumah. Ia masih tak mengerti perasaan apa yang menyelimuti hatinya.

Marah. Jelas sekali dari perkataan Ghany yang tajam dan langsung meninggalkannya begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status