Share

Memilih Jalan Sendiri

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-06 20:28:38

Esti menghapus air matanya dengan cepat. Ia menarik nafas panjang, mencoba menetralkan emosinya yang masih bergemuruh di dada.

Lalu, dengan suara yang dingin namun tegas, ia berkata, "Baiklah. Kalau itu keputusanmu."

Haris mendongak, menatapnya dengan cemas, tapi Esti tidak lagi ingin melihat matanya. Ada luka yang terlalu dalam di sana, dan ia tidak ingin tenggelam lebih jauh dalam kesedihan.

"Aku akan menyiapkan semua pakaian dan barang-barangmu," lanjutnya, suaranya stabil, nyaris tanpa emosi. "Jangan tinggal di rumah ini. Kamu sudah memilih jalurmu sendiri."

Ruangan terasa semakin sunyi, semua orang menahan napas mendengar kata-kata Esti yang begitu tegas.

"Esti, kamu nggak bisa begitu!" suara Dewi terdengar tegas, matanya menatap tajam ke arah Esti. "Ini rumah Haris juga. Dia berhak tinggal di sini."

Esti, yang masih sibuk memasukkan pakaian Haris ke dalam koper, mendadak berhenti. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya, lalu menoleh perlahan ke arah Dewi.

"Oh, jadi men
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Emi Susanti
Dewi ular berkepala dua, bicara plin plan lupa dgn sejarah diri sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menunggu

    "Mungkin ucapanku ini terdengar basi, dan sudah terlalu sering kau dengar. Tapi aku akan terus mengucapkannya, Esti. Aku benar-benar minta maaf, dari hatiku yang paling dalam," ucap Haris lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara deru hujan yang membasahi jendela rumah mereka yang kini ditempati oleh Esti dan anak-anaknya. Esti menatap keluar, pandangannya kosong, seolah mencari jawaban pada langit kelabu di luar sana. Tak ada kilatan emosi di matanya. Ia seperti batu, dingin, diam, dan tak tergoyahkan.Di antara mereka terbentang jarak yang tak kasat mata. Mereka adalah suami istri, tapi hanya di atas kertas. Rumah tak lagi mereka bagi. Kehangatan pun telah lama menguap. Kesalahan Haris di masa lalu telah membuat Esti mati rasa. Apa pun itu, perselingkuhan, kebohongan, atau pengkhianatan, ia tak lagi ingin menyebutkan namanya.Esti hanya tetap berdiri disisinya karena dua alasan, Mei dan Ais. Kedua malaikat kecil yang masih membutuhkan sosok ayah, meski rapuh."Mas nggak bosan ya,

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Doakan Yang Terbaik

    Sejak terdengarnya undangan resmi dari brand Lúmina, nama Indah mulai sering dibicarakan, tak hanya di dunia maya, tapi juga di gang-gang sempit perumahan tempat ia tinggal.Sayangnya, tidak semua kabar itu bernada baik.“Lho, sekarang si Indah udah kaya ya? Lihat tuh tiap hari kiriman paket terus.”“Ah, paling juga settingan. Biasanya orang yang pernah ‘main belakang’ gitu emang pinter cari simpati.”“Dulu manggung, sekarang jual skincare. Tapi kok bisa viral? Pasti ada yang dukung di belakang.”Indah mendengarnya dari anak-anak kecil yang menirukan gaya bicara ibunya. Dari tukang sayur yang celingukan saat menyebut namanya. Dari Bu Yuni tetangga sebelah, yang pura-pura menyapa lalu menyelipkan sindiran.“Wah, Mbak Indah sekarang udah seleb ya. Tapi hati-hati lho, dunia medsos itu nggak selalu bersih."Indah tersenyum menahan rasa.Malamnya, ia duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna.“Bu, aku capek dengar omongan orang. Kenapa ya, orang lebih senang lihat kita jatuh daripada bangkit?”

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ancaman

    Bu Ratna, yang awalnya hanya mengamati diam-diam, kini mulai ikut membantu. Ia sering memegangi ponsel saat Indah butuh angle dari atas. Bahkan sesekali memberi ide caption, atau komentar seperti, "Tadi suara kamu agak serak, ulangi ya."Indah tahu, perjuangannya masih panjang. Tapi satu hal pasti, ia sudah bukan lagi perempuan yang bergantung pada panggung atau pada lelaki yang menjanjikan dunia.Ia kini seorang ibu, perempuan tangguh, dan affiliate marketer yang membangun masa depan dari suara dan niat baiknya sendiri.Sore itu, Indah baru saja selesai melakukan live singkat mempromosikan produk serum baru yang sedang diskon. Ia mematikan kamera, lalu menyimpan ponsel di atas meja. Tubuhnya lelah, tapi hatinya puas. Sudah lima produk laku hanya dari live singkat itu.Ia berjalan ke dapur, menuangkan teh untuk ibunya yang sedang menjahit. Fania tertawa-tawa di teras bersama Haikal yang bermain mobil-mobilan. Heningnya rumah itu berubah menjadi rumah yang hidup. Rumah yang perlahan te

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Affiliate Partner

    Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Indah duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Haikal dan Fania masih tertidur, Bu Ratna sibuk menyapu halaman, dan suasana rumah cukup tenang untuknya mencoba sesuatu yang sejak tadi malam terus ia pikirkan.Ia membuka aplikasi catatan yang semalam ditulisnya. Tangan kanannya berkeringat, dan jantungnya berdetak tak karuan."Mulai dari suara dulu. Jangan takut."Ia membaca ulang kalimat itu, seperti mantra yang menenangkan.Dengan perlahan, ia menyiapkan botol skincare yang tadi malam ia lihat banyak dijual orang-orang di media sosial.Kebetulan ia memakai produk itu. Lalu, ia letakkan botol itu di atas meja kayu yang ia bersihkan khusus pagi ini. Cahaya matahari yang masuk dari jendela membuat produk itu terlihat bersih dan segar.Ia mengatur ponselnya di atas tumpukan buku, mencoba mencari sudut terbaik. Lalu, menekan tombol rekam suara."Halo, Kak... Aku mau ngenalin produk yang bikin kulit glowing dan lembap seharian..."Suara it

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Inspirasi

    Tangis Indah pecah begitu pintu rumah tertutup kembali. Suara langkah Gina dan ibunya masih terngiang di benaknya, seperti gema yang tak mau pergi. Ia terduduk di lantai ruang tamu, wajahnya ditutupi kedua tangan yang gemetar. Air mata jatuh satu per satu, seolah mewakili rasa bersalah yang selama ini ia tekan dalam-dalam.Hari ini, Gina, istri Pratama, datang bukan sebagai tamu biasa. Ia datang membawa luka, amarah yang ditahan, dan permintaan yang mengguncang hati Indah."Tolong, jauhi suamiku. Aku mohon..."Kata-kata itu masih terngiang jelas. Lembut, tapi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tidak ada makian. Hanya mata yang sembab dan suara yang nyaris pecah.Tak lama setelah mereka pergi, Indah menoleh ke arah ibunya yang berdiri mematung di depan pintu kamar. Wajah Bu Ratna datar, tapi mata tuanya menyimpan kecewa yang dalam.“Begitu hinakah seorang biduan, Bu?” tanya Indah lirih, nyaris seperti bisikan di antara isaknya.Bu Ratna menarik napas panjang sebelum duduk di samping

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Berhenti Bernyanyi

    Pagi itu, matahari menembus sela tirai, menyinari ruang makan kecil yang sederhana.Indah duduk di lantai beralaskan tikar lusuh, menyuapi Haikal yang baru delapan bulan.“Ini suapan buat adek, ya… Nih, aaaa..”Haikal membuka mulut kecilnya, lalu tertawa sambil mengeluarkan suara khas bayi yang belum berbicara.“Hmmmhh… ahh… euhh…”Indah ikut tertawa, matanya berbinar. Sekejap, semua beban terasa jauh.Anak itu, meski belum bisa bicara, selalu tahu cara membuat ibunya bertahan.Tiba-tiba, Tok tok tok.Suara ketukan di pintu membuat Indah dan Bu Ratna, ibunya, saling melirik.“Biar Ibu yang buka.”Bu Ratna bangkit perlahan dari tikar, merapikan kerudung yang setengah tergeser, lalu berjalan ke arah pintu depan.Saat pintu dibuka, dua perempuan berdiri di ambang. Yang satu setengah baya, dengan sorot mata tajam dan ekspresi penuh kontrol.Yang satu lagi, lebih muda, mungkin sebaya dengan Indah. Matanya memindai isi rumah, lalu berhenti pada suara lenguhan Haikal dari dalam.“Cari siapa,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status