“Assalammu'alaikum, Bos. Udah mulai sehat?”“Wa'alaikumussalam, Bang Dion. Alhamdulilah, besok juga mau pulang ke sana. Gimana kabar Abang dan Tante? Maaf, ya. Gak bisa ikut menemani.”“Gak apa-apa, Bos. Yang penting biar sehat dulu. Sesuai pembicaraan kita di telepon, pagi ini kami melanjutkan dengan Septa. Udah gak ada masalah. Tinggal kalian urus semua berkas pendukung.”“Terima kasih banyak atas bantuan Bang Dion dan Tante. Entar aku sediakan semua dana untuk semua. Tolong diskusi dengan Septa agar minggu ini terlaksana.”Dion yang mendengar pembicaraan Arga tak bisa menahan tawa.“Ada yang salah, ya, Bang? Terus terang aku panik. Sangat menyesal telah melakukannya. Yang pasti, aku harus segera bertanggung jawab. Apalagi seperti kata Tante, Bibik pun menduga kalo Septa hamil.”“Dan Bos percaya?”“Percaya dong! Yang kasih tau, orang-orang yang berpengalaman. Tapi, Septa masih menyangkal tuh. Bilang dia punya bukti akurat. Apa pun itu, aku harus nikah dengan dia.”“Sebentar! Maaf, y
“Jadi udah aman. Kita pulang, Ma,” ucap Dion segera bersalaman dengan Bibik lalu di susul oleh mamanya.Septa mengikuti sampai tempat parkir sedang Bibik segera masuk rumah besar. Saat di tempat parkir, Dion menyempatkan telepon Arga.“Assalammu'alaikum, Bang.”“Wa'alaikumussalam, Bos. Aku pinjam mobil, ya?”“Kan emang buat Abang dan Tante. Pake-pake aja.”“Terima kasih, Bos.”“Gak usah pake Bos, kale. Arga aja.”“Kaga enak, Bro.”“Nah. Ini keren, Bro.”“Kami pamit dulu. Assalamualaikum.”“Wa'alaikumussalam. Salam buat Tante.”“Oke.”Dion mengakhiri hubungan telepon lalu segera membuka pintu mobil dan naik. Beberapa saat Bu Rita memberi wejangan kepada Septa. Setelah itu, wanita setengah baya tersebut masuk mobil. Septa tampak masih kangen dengan mamanya.“Ma, sering-sering kemari, ya?”“Habis ini, kamu yang harus sering ajakin Nak Arga pulang. Ni kerja, gak pulang-pulang. Saingan sama Bang Toyib," sindir Bu Rita yang ditimpali tawa oleh Dion.“Belum juga tiga kali lebaran," sahut Sep
“Ah, gak jadi, ya. Padahal aku udah siapkan nama untuk calon bayi. Kan ada aku, bapaknya yang akan tanggung jawab sampai dia dewasa.”“Iya, ngerti, Pak.”Arga tak berucap sepatah kata pun setelahnya. Ada sedikit rasa bahagia yang lenyap sebagian dari hatinya. Helaan panjangnya terasa di punggung Septa.“Paaak?”“Panggil yang mesra dikit.”“Ya, Hati.”“Gitu dong, Mata.”“Kok hati?”“Karena kamu tuh sepenuh hati banget padaku. Terus panggilan mata?”“Kamu ini selalu terliat di mataku padahal yang lain tak tampak olehku. Makasih.”Septa memberi balasan dengan kecupan di pipi. Arga semakin bahagia karenanya. Malam semakin larut, akhirnya Septa turun dari pangkuan. Wanita berkuncir ini berdiri menghadap calon suaminya lalu menggenggam kedua tangan pria tersebut dan diletakkan ke dadanya.“Janji padaku! Akan berusaha menghilangkan rasa trauma karena mulai saat ini, ada aku yang selalu ada untukmu.”“Insyaallah, My eyes! Thanks.”“My heart! Udah malam. Buruan istirahat biar makin sehat.”“Ok
“Okey.”Arga segera menelepon Bibik mengenai hal itu. Namun, beberapa kali melakukan panggilan, tidak dia angkat oleh wanita tersebut. Arga berjalan ke arah jendela.Ia melihat ada sebuah mobil mewah sedang terparkir di depan. Tampak Bibik sedang berbicara dengan penumpang mobil. Arga tidak bisa melihat orang tersebut. Ia bisa tahu kalo itu Bibik karena masih pakai daster yang sama dengan tadi. Siapa orang itu? Siapa yang kasih izin masuk?Arga mengetik pesan kepada Bibik. Tampak langsung dibaca olehnya. Beberapa saat kemudian, Arga mendapat balasan dari Bibik. Lega sudah hati Arga.“Mau dipesankan sesuatu lewat online?”tanya Arga sesaat setelah kembali duduk di sisi ranjang.“Enggak usah. Kita jadi keluar, kan?”“Jadi. Oh, iya! Kenapa aku sepikun ini.”Septa tertawa mendapat jawaban dari Arga yang terkesan konyol, tetapi ia semakin tahu akan ketulusan cintanya. Seorang pria dengan penglihatan unik ini karena trauma.Terdengar langkah kaki mendekat dan ternyata Bibik datang membawa pe
"Saya bikinkan resep untuk Nona Septa dulu.”“Gak usah, Dokter. Dia trauma minum obat. Kalo ada yang berupa suntik, bisa dilakukan,”ucap Arga dengan tangan masih mengetuk-ngetuk pintu toilet.“Hanya ada vitamin yang bisa disuntikkan, Tuan. Yang lain secara oral. Pemeriksaan belum selesai. Tolong nanti sample urin dan cairan muntah taruh ini,”ucap Dokter Sebastian sambil menyodorkan dua buah botol kecil ke air.Arga menerima kedua botol. Dokter Sebastian berpamitan untuk kembali bertugas ke rumah sakit.“Saya antar ke tempat kerja Dokter atau langsung ke laboratorium rumah sakit?” tanya Arga.“Langsung ke laboratorium saja. Oh, ya, maaf. Surat rujukan ini dibawa saat ke laboratorium. Saya permisi, Pak. Semoga Nona Septa lekas membaik,” balas Dokter Sebastian sambil mengulurkan amplop putih berlogo tempat prakteknya.“Terima kasih, Dokter. Maaf, saya gak bisa antar sampe bawah.”“Gak apa, Tuan Arga. Selamat pagi.”“Selamat pagi, Dokter.”Pria berjas putih tersebut berlalu. Septa sudah ti
Septa segera menghubungi sopir untuk mengantar mereka ke rumah sakit. Sedang Pak Dokter berangkat terlebih dahulu. Mereka akan bertemu di rumah sakit. Sepuluh menit dari kepergian Pak Dokter, mobil jemputan telah datang.Arga hanya diam saja, meski melangkah berdampingan dengan Septa. Mereka bagai dua orang asing yang baru bertemu. Septa semakin menangis terisak-isak diperlakukan seperti ini oleh calon suaminya.“Saya," ucap Arga sembari celingukan. "Ya, duduk di depan saja." Tampak raut wajah kecewa Arga sembari membuka pintu. Ia langsung naik ke mobil di kursi dekat sopir.Septa seketika salah tingkah karenanya. Padahal sedari tadi, tangannya telah membuka pintu tengah untuk Arga. Pak Sopir yang melihat ekspresi jengkel di raut wajah Septa, ikut merasa prihatin.“Septa ke mana, ya?” tanya Arga yang tentu saja membuat kedua orang di dalam mobil jadi keheranan. Namun, Septa mencoba paham akan hal itu “Pak, Non Septa dari tadi bersama Bapak. Tuh ada di belakang,” ucap Pak Sopir mengha
“Maaf, Bu. Sudah ada pihak keluarga yang menunggu di dalam.”“Bagaimanapun, saya keluarga inti. Mana ada keluarga pasien di sini selain saya? Siapa dia?”“Pasien merasa nyaman dengan dia. Itu yang utama. Agar mempercepat proses penyembuhan.”“Ya udah. Terima kasih.”“Terima kasih kembali, Bu. Selamat siang.”Wanita ini adalah Mama Sarah—ibu tiri Arga—melengos lalumelangkah ke tempat tunggu dan duduk di salah satu kursi. Raut wajahnya tampak kesal.Wanita dengan rambut dicepol memakai baju terusan motif bunga sakura berbalut blazer warna merah maron segera melakukan panggilantelepon.Wanita ini terlihat semakin sewot karena nomor yang dihubungi sedang tak aktif meski telah dilakukan panggilan beberapa kali.“Maksudnya Arga ini gimana? Udah disempetin besuk. Ponsel gak aktif. Sengaja tak mau terhubung dengan keluarga lagi.”“Maaf, Bu. Pasien atas nama Bapak Arga memang tidak diperkenankan untuk memakai ponsel selama masa perawatan. Semoga bisa dimaklumin. Terima kasih,” jelas bagian inf
"Udah main rahasia-rahasiaangini. Mending Bibik pulang saja,” ujar Bibik tiba-tiba sambil tersenyum ke arahdua sejoli.“Bukan rahasia, kok, Bik. Nanti aku ceritain ke Bibik,” ucap Septa yang sukses mematik rasa penasaranArga.“Kamu ngomong apa?”Cuma ngomong kalo kamu akan segera sembuh. Gak usah khawatir, Sayang.Kemudian, Septa menyodorkan tulisan tersebut kepada Arga. Namun, sang pria masih saja tidak percaya.“Jujur!”Septa pun tak bisa menyembunyikan rasa gelinya dan hal itu membuat Bibik ikut tertawa. Arga yang melihat kedua orang dekat tertawa tanpa tahu penyebab karena gangguan pendengarannya segera melotot tidak terima.“Susah, Bik, ngomong dengan orang yang sombong telinganya,” ucap Septa dan semakin membuat Bibik tertawa lebar.Arga yang tampak tidak terima lalu mengetik sebuah pesan dan dikirimkan ke salah satu nomor kontak.“Liat aja kalian nanti saat akubbisa mendengar kembali,” ucap Arga sembari menatap ke arah Septa dan Bibik bergantian.Septa yang mendengar ucapan san