Yepa mengerjap ketika Sergio menata banyak tiket dari berbagai jenis alat transportasi massal di atas meja.
"Ini untukku?" ungkapnya ragu. "Semua?"
Taveti yang tengah duduk berseberangan dengan sang cucu mengangguk. "Anggap saja tugas ini sebagai liburan. Bukankah kedengarannya bagus?"
Apa ia membutuhkan atau pasti akan menggunakan seluruh tiket tersebut? Yepa tidak yakin dengan hal itu.
"Aku benar-benar akan bepergian ke berbagai tempat dalam sekali kesempatan?"
Kenapa terasa sangat merepotkan?
"Tentu saja." Taveti tersenyum ramah. "Aku sudah mendengar kabar tentang keberadaan kakakmu. Dia suka be
Deska memasang wajah kesal saat ia mengetahui bahwa keluarga Hirawan menolak mentah-mentah permintaan yang dirinya ajukan untuk bertemu dengan Yepa. Jika itu dulu, ia tidak perlu membuat izin terlebih dahulu. Tinggal datangi saja tempat tinggalnya. Lantaran statusnya kali ini agak istimewa, ada beberapa prosedur yang harus ia lewati bahkan hanya demi sekedar melakukan panggilan telepon."Seseorang pasti sengaja menghalangiku," gumamnya. Ia menatap perlintasan kosong yang tepat berada di depan matanya dengan pandangan hampa. "Apa yang orang ini inginkan?"Tiba-tiba sebuah pikiran buruk melintas. Yuvika menghilang dan bukan tidak mungkin jika mereka sudah membongkar masa lalunya dengan Yepa. Andai hal ini nyata terjadi, itu berarti dirinya sedang mencari masalah di bawah hidung Taveti.
Bunyi sirene terdengar sangat jelas ketika Yepa dan Laiv hendak meninggalkan sebuah pusat perbelanjaan."Itu ambulans?" Laiv menengok mobil yang baru saja melewatinya dengan tergesa-gesa."Lalu apalagi kalau bukan itu?" Yepa menatap bosan. "Gangster?""Yah, apakah sesuatu terjadi? Kecelakaan?" lanjutnya sedikit cemas."Kau ini kenapa?" balasnya dengan tatapan aneh. "Yang mendapat musibah bukan kita, kenapa kau sangat peduli dengan hal ini?""Bukan begitu." Laiv menghindari mata Yepa. "Bagaimana kalau orang yang terluka itu kenalan kita?""Apa peduliku?" Yepa sedikit berang. "Ayo pergi!" Ia pun meni
Di bawah sebuah payung, lengkap dengan pakaian tebal yang ketat membungkus tubuh, Yepa dan Laiv berdiri berdampingan di suatu jalan yang ramai pengunjung. Mereka melihat hujan salju di Milano. Orang-orang berpikir itu sangat romantis, tetapi bagi keduanya cuaca tersebut tidak menyenangkan sama sekali.Mereka berdua tidak ingin pergi ke mana pun di saat musim dingin tiba."Kita tahu hal ini akan terjadi dan tetap menyiapkan perlengkapan di musim dingin, tapi aku benar-benar tidak berharap akan seperti ini," kata Yepa setengah mengomel. "Sial. Ini masih bulan Januari dan baru akan berganti musim setelah bulan berikutnya."Laiv yang tengah memegang payung besar di tangan, menghela napas. "Kak
"Kau lihat itu? Dia sangat sempurna untuk bos kita!""Pelankan suaramu bodoh! Nanti dia mendengarnya!"Orang pertama yang berbicara, Jarno, mengaduh saat ia menerima ketukan di kepala dari sang rekan, Mirko, yang sudah hilang kesabaran.Jarno memelototinya dan berkata dengan tidak puas, "Sialan! Kenapa kau menjitakku?"Mirko balas mendelik tajam. "Mulut bodohmu yang memintanya!""Hei, kau sendiri lebih berisik dariku!""Omong kosong!""Nyalimu terlalu besar, Bung!""Ayo, maju!"
"Akhirnya aku bisa tidur!"Yepa mengempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Berguling-guling selama beberapa detik dan kemudian berbaring dengan nyaman.Beruntung setelah mencari penginapan ke berbagai lokasi, masih ada yang bisa menampung mereka. Salahkan lantaran tidak satu pun dari keduanya yang berencana menetap di sana. Terlalu mendadak. Belum lagi kunjungan dari para wisatawan asing yang membeludak. Kalau tidak? Mungkin tidur di dalam mobil menjadi pilihan.Taveti hanya membekali mereka dengan tiket dan kartu, serta sebuah kendaraan. Tanpa menyiapkan fasilitas lain sebagai pendukung. Karena itu, baik Yepa maupun Laiv harus berusaha sendiri saat sesuatu yang mendesak terjadi. Seperti mencari tempat untuk bermalam.
Yepa terbangun dengan napas tersengal. Jantungnya masih berdebar kencang. Meski ia ingin menyangkal adegan tersebut, ia tidak memungkirinya sebagai pertanda masa depan. Tangan yang berlumur keringat dingin itu meremas seprai dengan amat erat. Siapa wanita jahat itu? Kenapa Laiv memberikan nyawanya semudah itu? Dua pertanyaan itu menjadi duri di dalam batin. Ia menekur. Wanita itu mengatakan bahwa Laiv membunuh prianya. Bukankah itu artinya ada perselisihan di antara mereka? Perasaan yang tak berbalas? Cinta segitiga? Oh, astaga! Berita ini memperburuk sanubarinya! "Laiv sialan! Ternyata ada orang lain di dalam hatimu!" Matanya mendelik tajam ke arah jam dinding yang terpajang di dalam ruangan tersebut. Waktu
Jarno dan Mirko saling memandang saat target mereka, Yepa, tidak keluar lagi dari kamar sewaan milik Laiv yang berada tepat di seberang bilik keduanya."Gadis dan pria itu punya hubungan khusus?" terka Mirko seraya menutup pintu dengan hati-hati."Sepertinya begitu," gumam Jarno yang ada di belakang Mirko dengan perasaan rumit. Ia pun melanjutkan dengan nada aneh, "Kenapa aku merasa tidak asing dengan tampang pria itu?"Sebelumnya mereka tidak terlalu memerhatikan sosok lain yang selalu ada di samping Yepa. Kini keduanya agak menyesal lantaran terlambat menyadari hal tersebut dan tidak sempat mencari tahu tentang Laiv.Mirko berbalik dan memandang Jarno dengan tatapan biasa. "Mungkin hanya kebetulan," balasnya ringan, tanpa mau banyak berpikir. Meski dirinya juga merasakan hal yang serupa dengan sang rekan."Yakin?" Jarno menekur sembari berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Padahal ia pikir bisa menyenangkan hati bos mereka jika berhasil membawa gadis itu sebagai hadiah. "Ah!" Ia
Melihat target tumbang, Jarno dan Mirko menerobos masuk dengan cekatan. Yang satu membawa Yepa pergi dan yang lainnya membersihkan tempat kejadian. Setelah itu, mereka meninggalkan motel melalui jalan darurat dengan terburu-buru.Mirko mengemudikan mobil. Kendaraan beroda empat itu menyusuri jalanan Milan yang masih sepi. Sementara Jarno yang duduk di kursi depan penumpang tengah sibuk membuat beberapa panggilan pada rekan-rekannya yang berada di lokasi lain."Mereka akan membereskan sisanya," kata Jarno seraya menutup telepon."Oke." Mirko mengangguk ringan. Ia menatap lurus jalanan. "Biarkan mereka melakukannya.""Itulah gunanya persiapan. Kita sudah lancang mengambil risiko ini. Maka kita juga perlu menuntaskannya dengan rapi."Mirko bersiul. "Kau semakin tangguh saja, Bung!""Sialan kau!" Jarno mendengkus. "Berulah lagi, aku akan mogok bicara!""Uh, ancamanmu membuatku gentar!""Berengsek!"Yepa yang malang tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak bisa berteriak. Apalagi menangis. Ak