"Kejarr..! Bangsat kowe..! Asu..!!” seru Projo, pemimpin gank Streets Bat, pada rombongan motor ganknya yang turun malam itu. Bagai serombongan ‘nyamuk gila’, maka ke-14 motor gank Streets Bat mengejar motor Elang, yang telah agak jauh di depan mereka. Mobil dan motor yang melalui jalan Parang Tritis saat itu, serentak mereka menepikan kendaraannya. Mereka merasa lebih baik mengalah, daripada jadi bulan-bulanan gank Streets Bat yang terkenal ganas itu. Di sebuah pertigaan agak besar, Elang melihat ada jalur kekiri (Tegalsari-Donotirto). Jalur yang merupakan area persawahan dan perkebunan, yang masih asri dan agak gelap. Elang menghentikan motornya, di tengah jalan yang belum sepenuhnya di aspal itu, “Keina, tetaplah di dalam lingkaran yang saya buat ya. Tenanglah kamu akan aman di dalamnya,” ucap Elang sambil, menerapkan aji ‘Perisai Sukma’ miliknya. Perlahan sosok Elang di selimuti cahaya kehijauan. Lalu Elang berkelebat memutari Keina dan motornya, sebanyak 7 kali putaran. Na
Padahal dahulunya, Bimo adalah putra dari orang berkecukupan di kota Jogja. Hingga akhirnya kedua orangtuanya sering cekcok dan bercerai, lantaran ayah si Bimo yang mulai senang berjudi. Ayah Bimo yang tadinya adalah seorang pegawai swasta, di sebuah perusahaan bonafide. Tiba-tiba saja dia dipecat dari perusahaannya. Karena ayah Bimo terlibat dalam menggelapkan uang perusahaan, demi memuaskan kegemarannya berjudi. Bimo baru berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas 3 SD saat itu. Sedangkan kakaknya Nina, berusia 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD. Akibat perceraian kedua orangtua mereka, maka Bimo dan Nina pun terpisah. Bimo ikut sang ayah, sedangkan Nina ikut ibunya kembali ke rumah neneknya di Madiun. Kegemaran berjudi sang ayah tidak berhenti sampai di situ. Sejak perceraiannya dengan sang Ibu. Maka kegemaran berjudi sang Ayah malah semakin menggila.! Ayahnya menjual semua harta berharga yang ada di rumah, untuk melanjutkan hobinya berjudi. Bimolah yang akhirnya harus mengal
"Ok honey," sahut Keina, sambil menutup pintu kamar mandi. Tepat jam 7:55 Keina checkout dari hotel dan langsung menuju stasiun Tugu Yogyakarta, yang berada di jalan Pasar Kembang yang tak jauh dari Hotel Asri. Tak sampai 10 menit mereka sudah sampai di stasiun Tugu Yogyakarta. Elang tak ikut masuk ke dalam peron, dia hanya memberikan tas dorong Keina pada seorang porter yang agak sepuh. Porter itu pun dengan senang hati menerima order jasanya pagi itu. Keina menatap Elang lama sekali, sebelum masuk ke dalam stasiun. Tiba-tiba saja Keina memeluk Elang erat sekali. Keina membenamkan wajahnya di dada Elang, mata indahnya terlihat beriak basah. “Berjanjilah kau akan datang ke negaraku Mas Elang,” Keina berkata serak. “Iya Keina, saya akan menyempatkan waktu membuat pasport nantinya,” sahut Elang meyakinkan Keina. Di kecupnya kening Keina, yang nampak resah di saat perpisahan mereka ini. “Aku menunggumu Mas Elang, selalu menunggumu..” Keina pun membalikkan badannya, memasuki sta
“Ayah dan Ibu bercerai Om,” sahut Bimo. Sementara suara rintihan kesakitan ketiga pemuda begajulan itu, seakan menjadi ‘sound back’ pembicaraan antara Elang dan Bimo. Sungguh aransemen yang sempurnah! “Baiklah Bimo, kamu ikut Om saja. Sementara kamu bisa tinggal di rumah nenek Om dulu. Sampai nanti kamu bertemu Ibu dan Kk Nina ya,” akhirnya Elang mengambil keputusan yang dirasanya tepat. Dia bisa melihat sifat kejujuran dan ketabahan hati, dari bocah yang satu ini. “Terimakasih Om, nama Om siapa ya?” ucap Bimo terharu, baru kali ini dia menemukan orang sebaik om ini dalam hidupnya. Matanya pun beriak basah. Padahal saat dia di pukuli dan di aniaya oleh ke tiga pemuda tadi, sama sekali tak ada air mata di pipinya. Bocah yang tegar! “Elang, itu nama Om, Bimo.” “Terimakasih Om Elang,” titik air mata bergulir jatuh, saat Bimo mengucapkan rasa terimakasihnya pada Elang. Elang langsung membawa Bimo ke toko pakaian. Disuruhnya Bimo berganti pakaian langsung di toko itu. Lalu Elang m
"Hahahaa..! Keina, saya sudah terbiasa hidup dalam kekurangan sejak kecil.” “Jangan berkata begitu Mas Elang, bukankah Mas yang mengajarkan Keina untuk berbagi kehidupan. Jadi anggap saja Keina titip uang itu untuk di bagikan pada yang membutuhkan, kalau perlu Keina akan mengisi rekening Mas Elang setiap minggu ya.” “Waduh, jangan Keina. Cukup. Terimakasih ya. Baiklah Mas terima pemberian Keina, tapi jangan kirim lagi ya. Jumlah ini sudah terlalu banyak buat saya,” suara Elang terdengar panik, dia paling anti berhutang budi terlalu banyak pada orang. “Hihihi..! Mas Elang lucu. Mau dikirimkan uang malah ketakutan, Mas Elang orang baik. Keina makin sayang sama Mas Elang. O iya Mas Elang, Keina baru saja tiba di hotel. Keina istirahat dulu ya Mas Elang.” “Iya Keina, beristirahatlah. Kamu pasti lelah sekali, selamat tidur Keina.”Klik.! Tak lama Elang pun tertidur pulas, karena tubuhnya memang membutuhkan itu. *** “Nadya, sampai kapan kau akan menyendiri begini Nak?” tanya Sunda
“Wahh! cincin ini bagus sekali Mas Elang. Nadya suka sekali Mas,” seru Nadya dengan mata berbinar gembira. Ya, Nadya merasa bahagia sekali, menerima pemberian teromantis dari seorang pria, sebuah cincin! Elang memandang tercengang ke wajah Nadya, yang auranya kini nampak hijau ke emasan bagai seorang ratu. ‘Jelita sekali kau Nadya, rupanya kharisma cincin Mustika Nagandini itu memang berjodoh denganmu’, bathin Elang. Nagandini adalah nama Ratu dari sekalian ratu para naga di tanah Jawa berabad lampau. “Kamu cantik sekali Nadya. Jaga dirimu baik-baik ya," Elang berkata sambil meremas lembut tangan Nadya. “Terimakasih Mas Elang. Mmfh,” tak disangka oleh Elang, Nadya mengucap terimakasih sambil berjinjit mencium pipinya. Lalu langsung beranjak menuju kamar ibunya. Elang meneruskan langkahnya ke teras rumah. Dilihatnya Bambang sudah duduk di sana seolah menunggunya. “Sudah mau berangkat Elang?” tanya Bambang tersenyum. “Iya Pak, saya hendak menuju ke arah Surabaya Pak Bambang,” s
Tatapan mata Kamal pun sontak “berubah ‘hijau’. Saat dia melihat wajah cantik, serta tubuh ramping padat milik Ayu. Ayu yang saat itu kebetulan menggunakan kaos lengan panjang krem muda ketat, serta celana legging sebatas betis, cukup membuat mata Kamal nanar. Ayu, gadis berusia 19 tahun lebih, dan memasuki semester 4 kuliahnya di UNS. Gadis itu memang terhitung sebagai salah satu ‘primadona’ di kampusnya. Maka tak heran jika mata Kamal menjadi berminyak dan liar, menyusuri lekuk tubuh putri Brian ini. “Siapa namamu cah ayu?” tanya Kamal menyeringai. Nampak mata liarnya bergantian melirik ke arah bokong padat, dan buah kembar mencuat di tubuh Ayu. “Saya Ayu, Pak,” Ayu menyahut singkat. Ya, hati Ayu merasa muak bukan main, melihat pandangan ‘liar’ dari tamu ayahnya itu. Bahkan tamu itu terlihat lebih tua dari ayahnya sendiri. “Hmm. Cah ayu yang Ayu,” gumam Kamal, dengan mata menyeringai penuh hasrat. Ayu bergegas kembali ke belakang. Dia enggan menanggapi gumaman tamu ayahnya
‘Degghh!’ Jantung Brian sontak berdetak kencang. Karena uang yang dikumpulkannya masih kurang separuh, dari angsuran yang harus di bayarnya. Bergegas Brian menuju kamarnya, dan mengambil sejumlah uang yang masih kurang itu, untuk membayar tagihan Kamal. Dia pun melangkah menuju ke ruang tamu, dan menemui Kamal. Nampak saat itu Kamal sudah duduk angker di sana, dengan dikawal oleh 2 penjaga di belakangnya. “Bagaimana Pak Brian, sudah kamu siapkan uang angsurannya?” Kamal bertanya serius. Sesungguhnya dia tak berharap Brian bisa membayar angsurannya. Karena dia mengharapkan ‘sesuatu’ yang lain, sebagai kompensasinya. Dia sudah menenggak satu setengah sloki ‘madu lanang’ sebelum berangkat ke rumah Brian ini. Sungguh ‘niat’ buaya bangkotan berusia 55 tahun ini. “Mohon maaf sebelumnya Pak Kamal. Saya baru bisa membayar separuh dulu, dari angsuran hari ini. Sisanya akan saya bayarkan dua hari lagi Pak,” Brian berkata sambil menyerahkan uang sebesar 1,25 miliar rupiah dalam koper, ya
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a
"Mohon maaf, Paduka Raja. Menurut hamba adalah hal yang aneh, jika seorang Adipati tidak mengetahui persis kejadian ini. Bukankah letak istana kadipaten dan istana kademangan tidaklah terlalu jauh. Wedana Suralaga telah mengatakan pada hamba. Bahwa dia dan keluarganya kini, berada dalam tekanan pasukkan pemberontak Panglima Api itu. Namun dia tetap bersetia pada kerajaan Dhaka. Yang jadi pertanyaan hamba adalah, bagaimana seorang Adipati tidak tahu soal kejadian ini..?!" ujar Elang, seraya menyerukan keheranannya. Dan pancingan Elang pun mengenai sasarannya. "Ampun Paduka Raja. Hei..! Pengawal Gusti Putri..! Apakah kau mencurigai aku berkhianat pada kerajaan..?! Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tuduhanmu itu, jika tak ada bukti..?!" Nalika menghormat terlebih dulu pada sang Raja. Lalu dia berdiri berseru seolah menantang pada Elang, seraya menuding Elang dengan telunjuknya. Emosi Nalika langsung naik ke ubun-ubun, mendengar tuduhan Elang. Yang sesungguhnya memang benar ad
"Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra
Elang pun menerapkan aji 'Perisai Sukma' pada tangannya. Cahaya hijau terang seketika menyelimuti telapak tangannya. Dia hendak menyediakan tangannya itu, untuk menjadi 'sasaran' hantaman. Dari dua hantaman jarak jauh Tantri, dan si pemuda baju putih itu. Sekaligus melerai pertarungan adu energi tersebut. "Maaf, tulangnya berbahaya jika melayang begini, bisa melukai orang lewat," ucap Elang tenang, seraya menggenggam potongan tulang kambing yang agak runcing tersebut. Taph! Brashk..! Blasth..! Dua energi pukulan jarak jauh menghantam tangan Elang. Gelombang dua energi itu pun pecah disekitar tangan Elang itu. Namun tentu saja hal itu tak berpengaruh terhadap tangan Elang, yang sudah terlambari aji 'Perisai Sukma'nya. Sraghk..!! Sosok Tantri dan si pemuda baju putih sama tersentak ke belakang. Namun mereka berdua seolah lepas, dari tindihan energi yang sejak tadi saling mendorong itu. "Ahh..!" sentak kaget Tantri dan si pemuda bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak, menatap
"Ahhh! Awas!!" seketika para pengunjung rumah makan itu panik ketakutan. Mereka lalu bubar tunggang langgang, meningalkan meja makan mereka begitu saja. Tentu saja pemilik warung dan para pelayannya, tak bisa mencegah dan menyalahkan mereka. Kendati hampir semua pengunjungnya belum membayar, makanan yang mereka pesan. Mereka hanya bisa menatap bingung, panik, dan ketakutan. Lalu akhirnya mereka pun ikut bergegas keluar, dari rumah makan mereka. Kini yang tinggal di rumah makan itu adalah Bopak dan tiga kawannya, Tantri dan Baraga, Elang dan Ratih, serta dua orang pemuda gagah berpakaian putih itu. "Majulah jika kalian berempat ingin mati cepat..!" sentak Tantri, seraya mengalirkan 'power' tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Jurus pukulan 'Mentari Membakar Awan' segera disiapkannya. "Paman Baraga..! Kau mundurlah..!" seru Tantri, menyuruh Baraga yang telah bersiaga untuk mundur. Maka tak ada pilihan lagi, Baraga segera mundur ke belakang, menuruti suruhan tuan putrinya itu. "
"Keparat memang pemuda yang bersama gadis cantik itu..! Andai dia tak datang dan ikut campur..!Pasti kita bisa bersenang-senang dengan gadis denok itu sekarang. Mumpung Tuan kita belum kembali dari Galuga..!" seru salah seorang dari mereka. "Hei, Bopak..! Kaupikir jika gadis itu berhasil kita tawan, kau akan dapat kesempatan mencicipi gadis itu..?! Mimpi kau..! Yang pasti, 'Tiga Kalajengking Merah' yang akan mendapatkan kesempatan itu. Paling-paling kau cuma kebagian mendengar desah nafas mereka saja, dan disuruh berjaga di depan kamar..! Hahahaa..!!" sentak seorang kawannya, seraya terbahak mengejek. "Hahahaa..!! Jangan mimpi Bopak..!" ejekkan itu diikuti pula oleh gelak mengejek, dari dua rekannya yang lain. Elang melihat kedua tangan Ratih yang mengencang. Sepasang mata Ratih juga memicing marah, menatap ke arah 4 orang berbaju hitam tersebut. Elang sangat memaklumi jika Ratih menjadi naik darah, mendengar pembicaraan empat orang itu. Karena gadis yang sedang jadi pembicaraa