Tangan raksasa bersisik hitam itu terus merangkak keluar dari gerbang, setiap jarinya setebal menara batu. Udara menjadi berat, seolah seluruh dunia menahan napas.
Di bawah, pasukan Kael berusaha bertahan. Nyara masih menahan dua makhluk bayangan yang membelah diri tadi. Setiap kali ia menebas, tubuh mereka terpecah dan kembali bersatu seperti asap.“Elira! Seberapa lama lagi?” teriak Lysira sambil mengayunkan tombaknya untuk mengusir gelombang bayangan.Elira menggertakkan gigi. “Segel ini tidak akan bertahan kalau tangan itu keluar sepenuhnya. Kita butuh sesuatu yang menghancurkan inti pusaran.”Arven melompat dari batu ke batu, mengincar makhluk-makhluk bayangan yang mencoba menembus lingkar perlindungan Kael. Ia menembakkan panah berujung sihir, tapi efeknya hanya memperlambat, bukan menghancurkan.Kael menatap gerbang. Di balik celahnya, ia melihat mata raksasa yang bersinar merah darah. Sosok itu lebih besar dari naga mana pun yangGetaran itu makin kuat, membuat debu dan batu kecil berjatuhan dari langit-langit gua. Aria mundur selangkah, tapi permata hitam di tangannya seperti menempel erat, tak bisa ia lepaskan. Semakin ia mencoba melemparkannya, semakin erat pula permata itu menempel di kulitnya, seperti bagian dari tubuhnya sendiri.Cahaya dari kristal di sekeliling altar meredup, seolah tersedot ke dalam permata. Dari dalam bayangan yang membesar di lantai gua, muncul siluet tinggi dengan mata merah menyala. Suara langkahnya berat, menggema di udara yang dingin.“Aku… bebas,” suara itu serak namun penuh kegembiraan. Bayangan itu mulai membentuk wujud yang lebih jelas—kulit gelap seperti asap pekat, tanduk melengkung, dan senyum yang terlalu lebar untuk disebut manusia.Aria mundur, pedangnya terangkat. “Siapa kau?”Makhluk itu menunduk, seolah ingin melihat wajah Aria lebih dekat. “Aku adalah mereka yang dibuang. Mereka menyebutku Raja dari Bayangan.”Dingin m
Suara derap kaki terdengar samar dari balik lorong batu yang gelap. Aria menahan napas, tubuhnya menempel pada dinding dingin yang terasa lembap. Udara di dalam ruang bawah tanah itu berbau logam dan darah kering, membuat tenggorokannya terasa kering. Setiap langkah yang mendekat membuat detak jantungnya semakin kencang. Ia tahu, apa pun yang bergerak di dalam kegelapan itu bukan manusia biasa.Dari arah depan, sepasang mata berwarna merah menyala muncul perlahan, seakan menggantung di udara. Cahaya itu tidak berasal dari obor atau pantulan logam, melainkan dari tatapan makhluk yang sedang mengamati mangsanya. Aria menggenggam gagang pedangnya lebih erat, mencoba mengatur napas agar tidak terburu-buru. Satu langkah salah, dan ia mungkin tak akan sempat menjerit sebelum darahnya mengalir di lantai batu ini.“Aku tahu kau di sana…” suara berat dan serak itu merambat di udara, membuat bulu kuduk Aria berdiri. Bukan teriakan, melainkan bisikan yang begitu dekat, seakan
Tangan raksasa bersisik hitam itu terus merangkak keluar dari gerbang, setiap jarinya setebal menara batu. Udara menjadi berat, seolah seluruh dunia menahan napas.Di bawah, pasukan Kael berusaha bertahan. Nyara masih menahan dua makhluk bayangan yang membelah diri tadi. Setiap kali ia menebas, tubuh mereka terpecah dan kembali bersatu seperti asap.“Elira! Seberapa lama lagi?” teriak Lysira sambil mengayunkan tombaknya untuk mengusir gelombang bayangan.Elira menggertakkan gigi. “Segel ini tidak akan bertahan kalau tangan itu keluar sepenuhnya. Kita butuh sesuatu yang menghancurkan inti pusaran.”Arven melompat dari batu ke batu, mengincar makhluk-makhluk bayangan yang mencoba menembus lingkar perlindungan Kael. Ia menembakkan panah berujung sihir, tapi efeknya hanya memperlambat, bukan menghancurkan.Kael menatap gerbang. Di balik celahnya, ia melihat mata raksasa yang bersinar merah darah. Sosok itu lebih besar dari naga mana pun yang
Kabut gelap merayap di tepi Pegunungan Elyra, menelan puncak-puncak batu yang biasanya memantulkan cahaya matahari pagi. Kael berdiri di tebing paling tinggi, memandang ke arah awan hitam yang berputar di kejauhan. Di belakangnya, pasukan bersenjata lengkap berbaris rapi, namun tatapan mereka menyiratkan ketegangan yang sama.“Aku tak suka ini,” gumam Arven yang ikut berdiri di sisi Kael. “Udara di sini terlalu... berat. Seperti ada sesuatu yang mengintai.”Kael menarik napas panjang. “Bukan ‘seperti’, Arven. Memang ada.”Tiba-tiba, angin menderu membawa suara serak yang seperti berasal dari ribuan mulut sekaligus. Suara itu berbisik dalam bahasa kuno yang bahkan Kael sulit mengerti, namun maknanya jelas: Gerbang akan terbuka.Di sisi lain, Elira dan Lysira memimpin kafilah menuju Lembah Nirva. Jalanan di sana lebih tenang, tapi kesunyian itu justru terasa memancing waspada. Burung-burung tak berkicau, pohon-pohon tidak bergoyang meski angin lewat
Hari-hari berikutnya di Alevor tidak lagi diisi duka semata. Setelah kedatangan Lysira dan naga peraknya, istana mendadak menjadi tempat diplomasi baru. Para penasihat kerajaan, prajurit elit, bahkan penyihir tua dari Akademi Sinar Utara dipanggil untuk menyusun langkah menghadapi ancaman yang akan datang.Elira duduk di kursi pemimpin ruang strategi—kursi yang dulunya ditempati Riyel, tapi kini terasa asing dan berat.“Aku tahu kalian masih meragukan niat Kerajaan Angin,” ucap Elira, suaranya mantap. “Tapi kita tidak punya kemewahan untuk curiga terlalu lama. Jika yang dikatakan Lysira benar, kita butuh mereka.”Salah satu penasihat, seorang pria tua berjenggot abu-abu, mengangkat tangan. “Kita bahkan belum tahu bagaimana bentuk ancaman ini. Apa bukti bahwa naga hitam itu benar-benar akan bangkit?”Elira menoleh ke Lysira yang duduk di sisi ruangan. Wanita itu berdiri, matanya tajam dan jernih.“Di utara, tanah mulai merekah dan asap hit
Tiga hari telah berlalu sejak Riyel menghilang dalam cahaya perak di medan perang. Tiga hari sejak keheningan menyelimuti seluruh Alevor—bukan keheningan karena ketakutan, melainkan karena duka yang mendalam. Kota itu masih berdiri, tapi jiwanya terasa kosong. Rakyat berjalan tanpa semangat, pasar-pasar sepi, dan lonceng kuil berdentang pelan setiap pagi seolah meratapi sang Raja.Elira berdiri di balkon istana, mengenakan jubah putih berkabung dengan lambang naga emas tersemat di dada. Matanya bengkak, tapi tak ada air mata yang tersisa. Ia sudah menangis selama tiga malam berturut-turut. Kini yang tersisa hanyalah kehampaan... dan beban.“Rakyat menunggumu,” ucap Arven pelan dari belakang.Elira menoleh, menatap adik tirinya yang juga tampak kelelahan. Bekas luka di pipinya belum benar-benar sembuh. Tapi mata itu—mata yang dulu sering nakal dan penuh ambisi—kini terlihat matang dan tulus.“Aku tidak siap,” jawab Elira lirih. “Aku bukan dia. Aku