“Jangan pedulikan Dalton,” kata Reila. “Saat di Padang Anushka, dia punya waktu tidur sangat panjang. Kau tahu? Dia sering melewati latihan pagi karena telat bangun, jadi aku yakin dia takkan dengar apa yang kita bicarakan. Kita punya waktu empat mata cukup lama. Atau kau takut padaku?”
Aku masih sibuk membersihkan sisik ikan, menusuknya melintang dengan ranting, sebelum mulai membakarnya di api unggun. Setelah dua ikan berlalu, aku baru berkata, “Mau memastikan aku bukan musuh?”
“Aku tahu kau yang menyelamatkanku,” sahutnya. “Aku cukup yakin sudah tak lagi selamat, tapi kau di sana—mungkin aku hanya mimpi, tapi—banyak yang terlintas di kepalaku. Aku tidak mau meragukanmu.”
“Lalu?” lanjutku.
“Aku punya hipotesis,” dia mengambil ikan yang masih hidup di kotak, lalu membersihkannya meski dia cukup sulit membuatnya menjadi bangkai siap santap. “Tapi aku perl
Aku bermimpi yang menyakitkan.Aku berada di gang kecil, sempit, dan gelap. Tak ada situasi yang harus bisa kumengerti karena begitu semua itu terjadi, aku sudah dilempari batu, botol, atau apa pun oleh anak-anak kecil. Mereka berteriak girang. “ANAK IBLIS!”Tidak ada yang kulakukan, hanya berdiri tegak.Dan ada anak yang lumayan tua. Cukup tinggi. Dia mencengkeram kausku, kemudian menonjok keras. Aku terbanting, dan anak-anak yang melempariku batu terdiam. Mereka kaget—atau takut. Anak-anak lebih tua itu semakin banyak, mulai mengelilingi gang sempit, dan aku diangkat.“Jadi, ini anak dukun?”Aku tidak bisa merasakan apa yang terjadi, tetapi mataku melihat beragam macam pukulan mendarat ke wajahku, perut, atau punggung. Hidungku perih bak mengeluarkan cairan. Gigiku penuh rasa besi. Namun, tidak ada yang terasa ketika pukulan itu mendarat ke tubuhku. Hanya efek samping yang terasa kemudian.Serangan itu berakhi
Aku mulai bisa merasakan keberadaan tubuhku saat kepalaku terasa segar. Barangkali semua bermula sejak mataku setengah terbuka, yang membuatku bisa mendapati seorang perempuan dengan aroma manis bernuansa ketenangan. Binar matanya langsung cerah begitu mendapati mataku terbuka. “Kau bisa mendengarku?” tanyanya.Entah bagaimana aku mengangguk.Dia memandang sekeliling, seolah memastikan ruangan memang kosong. “Sudah mulai bekerja,” katanya. “Kau bisa minum ini?”Dia menawariku sesuatu. Bibir botol yang dingin, dan sesuatu terasa melalui tenggorokanku. Segar. Atau dingin. Namun, senyum manis perempuan itu berhasil membuatku tenang. “Aku menjagamu sampai bangun.”Kesadaranku menjauh lagi.Dan tiba-tiba mataku terbuka. Sepenuhnya.Kali ini aku bisa merasakan jelas apa yang terjadi pada tubuhku. Tidak ada perasaan aneh yang timbul seperti mimpi buruk, hanya tiba-tiba saja duduk tegak, melihat sekeli
Layla benar. Aku berada di loteng. Kami menuruni tangga sempit yang hanya bisa memuat satu orang, dan ini hanya tangga kayu seperti yang biasa kugunakan memperbaiki atap bocor pondok. Loteng seperti ruangan isolasi terpisah. Butuh tenaga untuk masuk. Jadi, ketika kami berhasil sampai di lantai—yang tampaknya lantai kedua pondok—di sana ada ruang tengah dengan sofa melingkar, karpet bulu, dan televisi layar lebar yang tidak menyala. Di sana tersebar bingkai yang memajang potret tiap orang. Rasanya aku tahu itu potret penghuni, tetapi—terlalu banyak. Maka saat aku menatap itu dengan heran, Dalton berkata, “Tidak sebanyak itu.” “Apa?” sahutku. “Setiap daerah punya jumlah bingkai beda. Sepuluh tahun ini, bingkainya di lantai satu. Jadi, yang kau lihat di sini bukan penghuni sekarang.” “Berarti ini penghuni sepuluh tahun sebelumnya?” “Untuk mengenang,” ujarnya. “Sebagian besar sudah gugur.” Itu bukan topik yang ingin kubicarakan, ja
Reila bilang ada beberapa yang harus kumengerti sebelum bergaul dengan penghuni lain, tetapi dia tidak punya waktu menjelaskan. “Mungkin Dalton yang cerita—eh,” dia seperti baru teringat, “Dalton bukan tipe yang menganggap itu penting, sih, jadi mungkin Jesse atau Nuel.” “Maksudmu, tentang mereka yang akan menjauhiku?” “Kurang lebih, tapi, lihat, deh, sepertinya kita tidak bisa bicara itu.” Kami hampir keluar pondok, dan tampaknya aku mengerti mengapa Reila seperti diburu sesuatu. Seorang wanita terlihat menunggu di ambang pintu bersama Kara dan Dokter Gelda. “Nah, itu Reila,” sebutnya. “Jangan tiba-tiba hilang, dong.” “Maaf,” kata Reila. “Lebih cepat pergi, lebih cepat juga kita kembali,” katanya. “Dan—” Dia menemukanku. “Wah! Forlan?” Aku bergidik, kaget wanita itu tahu tentangku. Kemudian wanita itu mendekat. Wanita yang punya rambut lurus dan diikat dengan gaya memikat—aku tidak tahu bagaimana cara dia menyusun, men
Aku agak sulit mempercayai apa yang kulihat.Pertama yang kulihat, adalah bagian dalam Balai Dewan seperti istana. Dari pintu masuk ada dua tangga yang dipisahkan meja resepsionis. Lalu di sana seorang pemuda duduk seperti memainkan kotak. Dia baru menyadari kami saat Kara sudah mengetuk meja. “Nuel.”Pemuda itu mengangkat muka. “Oh, Kara, dan ....” dia melihatku.Aku hampir memperkenalkan diri, tetapi dia menyipitkan mata, mendadak berseru, “Kandidat baru! Kau sudah bangun?”“Eh,” kataku, tetapi dia langsung menjabat tanganku.“Aku Nuel, bro,” katanya. “Jenderal di dalam. Main Gaple.”“Ga-Gapele?” tanyaku.“Gaple,” ulang Nuel. “Permainan kartu dengan domino. Sebaiknya kau tahu Gaple karena Jenderal mengajakmu main. Kalau menolak,” tiba-tiba dia merinding, “kau pasti menyesal.”“Lanjutkan gadget
Kurasa orientasi baru dimulai saat kami pindah ruangan.Kali ini ruangan serba putih, dan bukan mimpi. Papan tulis, proyektor, meja, kursi, hanya diisi aku, Profesor Neil, dan Kara. Ketika aku merasakan ruangan bak ruang interogasi, Profesor Neil bertanya, “Ingatanmu hilang, benar?”Sedikit—hanya sedikit, tetapi aku merasakan ancaman di matanya. “Iya.”Profesor Neil duduk di salah satu kursi, Kara di sebelahnya, lalu memintaku duduk di depannya. Kami dipisahkan meja ketika Profesor Neil menghela napas. “Sejujurnya hilang ingatan itu kasus yang langka. Kau perlu mendapat penanganan khusus dari tim medis—kau akan tahu apa itu tim medis—tapi sekarang, setidaknya aku punya hipotesis yang mungkin memberimu harapan: ingatanmu punya peluang kembali kalau memenuhi satu syarat.”“Dan? Apa syaratnya?”Dia mengacungkan telunjuknya. “Kau bukan pemilik kemampuan roh.”Aku hampi
Profesor Neil bilang dia harus di laboratorium—yang kusadari kalau tempat kami bicara juga bagian laboratorium—jadi saat keluar Balai Dewan, Kara berkata, “Sungguh, maaf, Nak, tapi aku harus segera melatih. Bisakah kau berkeliling hanya dengan Jesse? Kau bisa menemuiku di gelanggang nanti.”“Bukan masalah,” kataku. “Jesse lumayan asyik diajak ngobrol.”Kara tersenyum lega. “Bagus. Nikmati waktumu, Nak.”Jadi, di depan Balai Dewan ada semacam selasar kayu yang—sebenarnya—berada di ketinggian. Dibilang selasar, sepertinya ada yang membuat Balai Dewan terhubung dengan sesuatu layaknya area pribadi di antara pohon pinus. Dari bawah sini, Jesse terlihat berbaring di sana, menikmati waktunya sebelum menemukanku berjalan. “Kau sudah selesai?” tanyanya.“Kurasa begitu,” jawabku.“Kau tidak terlihat menyedihkan.” Dia berada di tempat—yang aku ya
Barangkali aku akan berakhir semalaman di depan batu nisan kalau Jenderal tidak tiba-tiba bersuara, “Mereka pasangan yang heboh.”Aku, yang pada saat itu, tengah memeluk kaki, membenamkan kepala, entah bagaimana langsung mengangkat mata, melihat Jenderal berdiri tegak di sebelahku dengan aura keterlaluan hebat. Dia menatap jauh ke depan, membiarkan angin kecil mengibarkan jubahnya, dan—dari sudut ini pun, wajahnya masih misterius dengan seluruh selubung hitam pekat bayangan itu.Betapa bodohnya, aku baru sadar dan bangkit, “Oh. Maaf, Jenderal.”“Buang formalitas menjengkelkan itu, Bocah Kencur,” ketusnya. “Aku tak pernah punya otoritas penuh sampai membuatmu takut padaku.”“Tapi ....” Andai dia ingat sudah memberikan mata penuh dunia kiamat itu.“Waktu sudah berlalu sejak perang terakhir,” ucapnya. “Generasi penerus selalu tumbuh lebih cepat dari angin. Begitu kau s