Aku dan Nabas diarahkan menuju suit yang lebih luas. Kutebak, ini ruangan penyewa jasa kami.
Masuk ke dalam, kami disambut deretan sofa krem yang tampak sangat empuk. Tanpa sekat, lebih jauh lagi bertemu bar mini dengan sederet botol minuman dan camilan.
Tidak berhenti, pramukamar mengajak kami menyusuri tangga naik dan menemukan wanita muda duduk di atas sofa besar menghadap dinding kaca yang menampakkan batas langit dan lautan sambil menyilangkan kaki.
Bingung yang kurasa ketika pramukamar menunduk, berpamitan pada si penyewa.
Pemuda lain mungkin akan terpesona dengan wajah putih bersih dan lekuk tubuh menggoda si wanita muda, tapi aku masih belum bisa menemukan ketertarikan selain dari aroma manis Sara.
"Buka?" pinta wanita itu ketika aku dan Nabas berjarak satu meter di hadapannya. Cara dia bergerak dan penampilan yang terlihat berbeda dari penyewa kami sebelu
"Hei! Apa coba yang gue liat?" Teriakan yang menggema dalam suite yang kutempati menyadarkan keberadaan Nabas. Dia pasti melihatku dan ... Sara. Bergegas kutarik selimut dari lantai untuk menutupi tubuh Sara yang telungkup di sisiku baru menanggapi tatapan bertanya dari pemuda sipit itu. "Yo, Bas." Telapak tangan kananku refleks naik ke udara, menyapa sebelum mengambil celana pendek yang ternyata menutupi lampu di nakas dan mengenakannya di samping Sara. "Lo bilang enggak jadian sama dia." Nabas masih melongo, menunjuk ke arahku seraya berjalan mendekat. Kudengarkan gumaman di sisi. Sara menggeliat, melotot ketika mendapati kakak kelasnya itu menempati kasur lain dalam ruangan yang sama. Jemariku menyisir helaian rambut Sara yang berantakan, lalu bertanya, "Kapan kita jadian?" Rengutannya semakin menggemaskan. Aku bahkan enggak perlu lagi meminta izin mendaratkan kecupa
Semalam, aku menginap di kamar Sara. Enggak jauh beda dengan suit yang kutempati dengan Nabas, tetapi teman sekamar Sara harus mengungsi sementara karena panasnya kegiatan kami. Sara masih tertawa dalam pelukanku kalau mengingat wanita sekamarnya hanya lewat dan berlagak seolah kami tidak ada. "Apa yang lucu?" tanyaku seraya melarikan jemari di permukaan lengannya. Selalu lembut, mungkin efek perawatan. Seperti wanita-wanita yang seringkali berusaha menyentuhku, kulit mereka begitu mulus, terawat, bahkan jarang memiliki rambut halus. "Lo liat kan gimana gayanya ngomelin gue kek enggak ada gue di sini?" Sara melihat langit-langit kamar seperti membayangkan. Keningnya berkerut sesaat sebelum duduk. Dia mulai berakting, "Sara, lo itu masih di bawah umur. Jaga diri, kek. Jagaimage,kek. Pintu ditutup gitu biar enggak keliatan orang yang bi
Aku membenahi tampilan di tubuh, memeriksa kancing kemeja dan menggulung lengan panjangnya sesiku. Belum termasuk memasang rompi beludru marun dan celana panjang berwarna serupa. Temabutler yang diminta klien berbanding terbalik dengan pesta lajang berbikini yang mereka adakan. Mungkin untuk membedakan keberadaan aku dan Nabas dari para tamu yang menguasai kolam pribadi dalam suit utama. Namun yang menjadi kekhawatiranku bukan itu, tetapi ancaman Sara sebelumnya yang mengejutkan ketika memegang gunting saat mendekatiku terakhir kali. Mau ketawa, tapi kalau dipertimbangkan lagi, dia termasuk nekat. "Motong punyaku?" Sumpah!I can't get it. "Gue enggak bakal biarin orang lain dapet ini meski gue harus ilangin sekalian!" Aku bergidik ngeri.
Kalau mikir aku bakalhaving sex sama Natasha ..., enggak. Aku lebih banyak ngobrol sama dia soal saling menyentuh dan menggoda sampai mendapat hasil yang disukai pria. Ya, sedikit praktik saling memuaskan tanpa penyatuan. Bisa dibilang, Natasha belum mau melakukan hal yang lebih jauh. Aku mengangguk, memahami alasannya yang ingin mengikat seseorang yang disukainya. Mungkin ..., itu juga yang Sara lakukan. Untukku? Atau mungkin itu hanya sebagai bayaran atas rasa ingin tahu? Entahlah. Aku sulit membedakan semua ini. Apa Sara benar-benar menyukaiku atau menjadikanku pelarian kekecewaannya terhadap hidup dengan bergantung padaku? Aku benar-benar merasa kacau. Duniaku teraduk seiring godaan mulut Natasha pada milikku di bawah sana. Dia sangat cepat belajar menarikku mencapai pelepasan. Bahkan
Perhentian transit di Singapura, sepupu Sara mengantar kami mengikuti pemeriksaan di salah satu klinik. Ralat, hanya Sara. Aku menunggu di luar ruangan dengan resah, bahkan belum bisa duduk tenang sebelum mendapat kabar dari Sara hingga dia menghampiriku di ruang tunggu. Kuhela napas panjang lebih dulu tanpa menatap ke arahnya, tanpa tahu bagaimana raut wajahnya saat berada di sisiku. Aku pun enggak tahu kenapa hanya kami berdua di bangku ini. Bukannya tadi Sara bersama sepupu dan teman-temannya? "Apa kata dokter?" tanyaku lebih dulu. "Satu bulan, Sa." Benar dugaanku. Minimnya pengalaman, aku baru ingat soal penggunaan pengaman. Dia menopang kehidupan calon anakku. "Masih sakit?" "Udah dikasih obat tadi." "Aman?" Sulit sembunyikan getar dalam suaraku. Ini berbeda dari jalan hidupku sebelumnya. Pilihan
Setelah kejadian di kapal pesiar? Sepupu Sara masih bisa rahasiakan masalah kehamilan itu sampai kami bisa memutuskan langkah berikutnya. Yang pasti, dia mengingatkan jangka waktu kami yang terbatas. Cepat atau lambat, semua bakal ketahuan. Mungkin aku perlu mempertimbangkan tawaran Romo Beni soal pernikahan. Masalahnya? Aku belum tahu bagaimana tanggapan orang tua Sara, apalagi dengan fakta soal pesta para wanita yang melibatkan mamanya. Enggak kebayang. Sementara ini? Masa ujian kenaikan menyibukkanku buat belajar, memanfaatkan waktu istirahat di kelas. Di kos juga belakangan lebih banyak belajar meski manjanya Sara sering ngerepotin. Seenggaknya larangan dokter buat berhenti main di kasur sementara ini bisa menambah waktu fokusku. "Bilangnya enggak pacaran, ini malah nempel terus." Sindiran Kalan, si babon muka tua yang menghuni meja sebelahku
"Masih mual?" tanyaku setelah kami tiba di pelataran parkir kafe. Harusnya pulang sekolah ya pulang, tapi Sara malah ngotot ikut meski aku bilang bukan urusan pekerjaan. Kulepaskan helm dari kepalanya setelah turun dari motor dan menyampirkan milikku jugga di setang. "Enggak lagi." Sara menggeleng, tersenyum ketika menggelendot manja di lenganku. Dia beralasan, "Tadi baunya emang enggak enak pas udah masuk mulut." "Besok-besok hindarin makan ayam kalau gitu." Kami berjalan melewati pintu kaca yang aku buka dan tahan hingga Sara berada di dalam ruangan didominasi warna putih, termasuk perabotan yang mengisi. Beberapa corak kayu untuk stan barista dan meja penyajian. "Padahal ayam tuh dulunya enak banget." Sara mendeskripsikan sampai terpejam, membuka telapak tangan di depan wajahnya ke arah atas. "Lo mau kita ketahuan?" Kutarik lengannya biar duduk
Aku dan Sara duduk pada bangku yang tersedia menghadap altar di depan sana. Sesaat, aku berpikir tentang seperti apa pernikahan sebenarnya. Apakah harus dipenuhi banyak orang sebagai saksi atau perayaan besar? Menilik latar belakang Sara, aku sempat merasa terlalu kejam memberinya momen pertama yang lebih rendah dari kata sederhana. Namun, sepanjang perjalanan dia terus mengiakan perkataanku mengenai tanggung jawab yang bisa kuampu. Dan ..., berakhirlah kami di sini, menunggu pastur yang disebutnya sebagai paman selesai memberi pengarahan di dekat nyala lilin yang berjejer. "Ada apa? Tumben Sara ke sini lagi selain kebaktian?" Senyum menenangkannya selalu menyambut kami beserta tangan terbuka, merangkul bersamaan ketika aku dan Sara turut berdiri. "Sara mau nanya tawaran Paman tempo hari?" Ucapan Sara ternyata langsung mendatarkan raut wajahnya. Tatapan Romo Beni berali