Gemi merebahkan diri di atas ranjang unit apartemennya. Menghela panjang seraya menatap sudut langit-langit dengan hampa. Menggenggam erat dua buah tespek yang menunjukkan dua buah garis merah yang ketara.
Positif!
Hasil yang didapatkan Gemi setelah melakukan tes mandiri, ternyata benar-benar seperti yang dibayangkan. Sekarang, Gemi benar-benar tengah mengandung, dan bisa dipastikan itu adalah anak Aries.
Gemi terkekeh miris seorang diri, lalu meringkuk sambil mengusap perutnya yang masih rata. Tergugu dan terisak pilu meratapi nasib diri. Memejamkan mata, meskipun derai bulir bening itu, terus melesak dan tumpah melalui sudut mata.
Kehamilan, harusnya menjadi kabar bahagia, bagi seorang wanita yang sudah memiliki suami. Namun, tidak untuk Gemi. Wanita itu justru tidak mengerti, bagaimana bentuk perasaannya saat ini. Sampai akhirnya, Gemi lagi-lagi tertidur dalam tangis, dengan seluruh sesak yang menggeroti perasaannya.
--
Gemi tidak t
“Papa …”Gadis kecil itu berceletuk manja, di tengah makan malam yang tampak lengang.“Ya, Sayang,” jawab Lee menghentikan sejenak suapannya untuk melihat Chandie.“Aku boleh tidur di kamar Papa malam ini? Tidur bertiga sama Mama?” tanya Chandie dengan tatapan harap.Gemi memelankan kunyahannya, mengarahkan tatapan pada Chandie yang duduk di sebelahnya dengan tersenyum kecil. Tanpa mau menunggu jawaban dari Lee, wanita itu lebih dulu berujar, “Kalau Mama yang temeni Chandie tidur di kamar gimana? Mama temeni sampai pagi, dan janji nggak akan balik ke kamar lagi.”Chandie menggeleng, membuat ujung kepang duanya berayun mengenai wajah mungil itu. Bibir mungil yang berwarna merah muda itu pun mengerucut kecil. “Aku mau tidur sama Mama, sama Papa. Temen-temenku kadang tidur bareng mama papanya juga, kok.”“Boleh, tapi nggak sering-sering, ya,” jawab Lee dengan tatapan
Setelah mengambil piyama tidurnya, Gemi kembali mengunci pintu lemari dan meletakkan kuncinya di atas lemari. Ketika Gemi baru membuka pintu kamar untuk mengganti baju di kamar tamu, sudah ada Chandie yang berdiri dengan memberi senyum lebar kepadanya.Gadis kecil itu memandang heran pada piyama yang dibawa Gemi. “Mama mau ke mana bawa piyama?”“Ah …” Gemi berpikir cepat untuk beralasan, seraya berjongkok di depan gadis kecil itu. “Mau ke kamar Chandie, mau ganti baju di sana sekalian nemeni cantiknya Mama siapin tas buat sekolah besok.”“Udah beres semua!” Chandie maju selangkah untuk memeluk Gemi lalu berbisik. “Gendong,” pinta gadis kecil itu dengan terkikik.Tawa geli Chandie itu pun spontan menular pada Gemi. Wanita itu mengalungkan tangannya pada tubuh Chandie lalu berdiri. Ketika berbalik, tatapan Gemi bersirobok dengan Lee yang baru keluar dari kamar mandi.“Chandie &h
Sudah sepuluh menit Gemi duduk tegak dan membisu. Pria yang masih sibuk menandatangani berkas di meja itu pun, masih setia untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sama sekali tidak mengajak Gemi berbicara, meskipun hanya berbasa-basi. Pria itu hanya mempersilahkannya duduk, dan setelah itu tidak lagi berbicara dengannya.Gemi jadi berpikir, bagaimana kehidupan sang istri di rumah, selama menikah dengan pria seperti itu. Tapi sudahlah, untuk apa Gemi memikirkan rumah tangga orang lain, sedangkan, kehidupan pernikahannya saja sudah tidak berbentuk lagi.Akhirnya, pria itu berdehem. Gemi melirik, dan mendapati Pras beranjak dari kursi kebesarannya. Dengan wajah datar nan arogan itu, Pras duduk pada arm chair yang berada di samping Gemi, menatap ke arahnya.“Jadi, apa yang mau kamu sampaikan, Gemini Kamaniya?”Gemi memutar sedikit tubuhnya untuk menatap Pras. “Tawaran Bapak waktu itu, apa masih berlaku? Apa, Pak Pras sudah dapat penggantinya?&rdqu
“Saya hamil.”Pras kembali mengetuk-ngetuk lengan kursinya untuk beberapa saat. Merangkai beberapa kejadian dan dugaan sementara yang tercipta dalam kepalanya. Gemi hamil, padahal usia pernikahannya baru beberapa hari berjalan. Serta, Gemi tidak ragu untuk pergi jauh ke Surabaya untuk menerima tawaran dari Pras.Itu berarti … Pras tidak ingin memuntahkan praduga tidak bersalahnya. Namun, tebakan kalau Gemi saat ini tengah hamil anak orang lain, sudah tersusun di benak Pras. Kalau tidak, mana mungkin Gemi berani mengambil tawarannya untuk pergi ke Surabaya. Pasti, ada sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh Lee dan Gemi.Menarik!“Dan anak itu, bukan anak Lee.”Sungguh, Pras bukan seorang pria yang bisa berbasa basi. Pria itu langsung saja menebaknya di depan Gemi, tanpa mau repot-repot memedulikan perasaan wanita tersebut.Seketika tubuh Gemi menegang pias. Tidak pernah menduga kalau Pras akan menodongnya langsu
Sejak bangun tidur, gadis kecil itu selalu saja menempel pada Gemi, yang tengah sibuk mereview kembali semua penugasan yang masuk ke e-mailnya. Mulai hari ini, Gemi sudah mulai kembali melakukan rutinitasnya sebagai seorang jurnalis. Masa cuti yang lebih banyak dihabiskannya di apartemen, membuat Gemi lebih bersemangat untuk kembali ke lapangan untuk mengais berita. Wanita itu sangat berharap, kalau kehamilannya saat ini tidak akan menghambat semua kegiatannya di lapangan nanti. Gemi juga berharap, kalau sebulan ini akan dilaluinya dengan cepat, hingga ia bisa segera mengajukan surat pengunduran diri kepada perusahaan. “Mama …” panggil Chandie yang sudah merasa bosan. Gadis kecil itu duduk di samping Gemi sambil meletakkan wajah cantiknya itu di meja makan. “Yes, Chantik?” tanya Gemi sembari menahan mual yang tengah mengaduk-aduk perutnya. Gemi bisa, dirinya pasti bisa melewati semua keluhan, di awal semester kehamilannya pertamanya ini. “Kenapa, Mama
“Beeeh, Nyonya Arkatama akhirnya muncul juga,” sindir Lily yang baru saja mematikan seluruh perangkat komputernya. “Kirain mau memperpanjang cuti, lo, Gem.” “Heem, bulan depan deh, mau cuti selamanya dari Radar, biar, elo puaas!” balas Gemi yang memang tidak akan pernah sungkan jika berbicara dengan sang sekred yang bawel itu. Wanita itu terus saja melangkah menuju meja kerjanya yang ada di sudut ruang. “Ciee, yang mau jadi ibu rumah tangga. Full time mommy buat Chan-chan,” kekeh Lily sudah menyampirkan tasnya dan bersiap untuk pulang. “Belajar masak dulu, Gem,” lanjutnya masih saja terkekeh. “Bisaalaah,” jawab Gemi separuh berteriak, lalu duduk di kursi yang sudah sepuluh hari tidak ia tempati. “Masak aer!” Beberapa orang yang berada di ruang redaksi itu hanya terkekeh pelan, sembari terus memandang layar monitor masing-masing. Arca, pria single berusia 32 tahun, yang sama-sama berstatus redaktur madya dengan Gemi itu pun mendekat. Meraih kur
Di hari pertamanya kerja, malamnya Gemi sengaja pulang larut, meskipun ia tidak memiliki piket untuk memegang halaman hari ini. Memasuki pelataran kediaman Lee yang lumayan luas, dan memakirkan motor kesayangannya di carport.Gemi melakukan hal tersebut untuk menghindari Lee, maupun Chandie. Ia berharap, ketika sampai di rumah, Gemi bisa langsung merebahkan diri di kamar tanpa harus menyapa atau menjelaskan hal apapun dengan pemilik rumah.Gemi melihat lampu yang masih saja menyala. Ada kemungkinan, kalau Lee masih terjaga dan belum tertidur.Dengan amat perlahan Gemi membuka pintu dan menutupnya kembali, Berjalan pelan sembari menahan kantuk, dan hanya ingin merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang.“Mamaaa …”Dengan separuh kesadaran yang masih tersisa itu, Gemi mengerjab. Tersadar kalau saat ini ada seorang gadis kecil yang sudah memeluk tubuhnya.“Chan—die belum tidur?” Gemi mengusap wajahnya berulan
Lee tercengung, hanya terdiam ketika Gemi melewatinya menuju kamar mandi. Ada sebuah dilema ketika Gemi mengatakan akan menceraikannya bulan depan. Bukan … bukannya Lee tidak ingin menceraikan Gemi, tapi …“Kamu yakin, Gem?” tanya Lee masih berdiri di posisi yang sama.Tangan Gemi yang sudah terangkat untuk menyentuh gagang pintu kamar mandi itu pun, membatu sejenak. Membuang napas panjang lalu menolehkan kepalanya. Melihat punggung Lee yang bahkan tidak membalik tubuh untuk menatapnya.“Tolong jelaskan, kenapa aku harus ragu?” Gemi memuntahkan pertanyaannya tanpa gentar sedikit pun. Menurunkan tangannya sebentar lalu bersedekap menatap Lee yang masih membelakanginya. “Aku perempuan yang menganut paham feminisme, Mas. Jadi, aku nggak mau kamu hina dan kamu injak terus-terusan. Karena pada dasarnya, kita itu sama.”“Sama?” Lee berbalik menatap Gemi. Berusaha mempertahankan kewarasannya, agar tid