Aku mengembuskan napas panjang di hadapan Tante Soraya dan Mas Firman. Namun, mereka hanya tersenyum. Keduanya saling beradu pandangan. Aku jadi merasa meragukan Tante Soraya."Ya udah, kita bawa Nurma ke rumah sakit sekarang, tunggu apa lagi?"Mas Firman membelalakan matanya. Aku rasa ia pun terkejut dengan ajakan Tante Nurma. Kalau aku terkejut karena ternyata Tante Nurma belum percaya sepenuhnya terhadap ucapan Adnan tentang diriku. "Sama Tante?" Pertanyaan dari Mas Firman membuatku ingin menertawakannya."Iya, sama Tante. Kelihatannya Nurma ini benar-benar sakit jiwa, jadi butuh tangan banyak untuk mencekal pengelangan tangannya bila ia memberontak.""Tapi aku tidak gila, Tante, aku masih waras," timpalku.Namun tubuh Tante Soraya memutar, tangannya memerintahkan Mas Firman untuk membawaku dengan segera. Mau tidak mau, aku ikut bersama dengan Mas Firman juga Tante Soraya. Dalam kondisi rambut yang masih terpangkas pun aku ikut mengekor di belakangnya. Sampai di depan rumah, ter
"Tante Soraya mau nempatin suster ini di ruang bawah tanah? Nggak bisa, di sana sumpek, lebih baik suster untuk Nurma ya di kamar dia aja, ngapain kan biar bisa diawasi," sanggah Mas Firman. Aku ingin tertawa, memang benar kata pepatah, kalau orang berbohong dan merasa bersalah, pasti takkan tenang hidupnya.Mas Firman menghela napasnya beberapa kali, terlihat sangat jelas ia tengah ketakutan. "Bagaimana kalau Mbok Tuti beresin dulu?" Mas Firman mengusulkan yang membuatku tersenyum. Jelas ia menyuruh Mbok Tuti, pasti ada maksud untuk mengajak Airin kabur lebih dulu. "Saya nggak suka sama Mbok Tuti, dia itu songong, kalau memang berantakan saya aja yang beresin, gitu aja kok repot!" Tante Soraya menengadahkan tangannya, ia meminta kunci sambil mengangkat alisnya. Mas Firman sedikit melirik ke arahku, kemudian berteriak memanggil Mbok Tuti dan meminta kuncinya. Mbok Tuti datang dengan langkah tergesa-gesa, ia langsung menyerahkan kunci tersebut yang sengaja disimpan di saku bajunya
"Dia itu, dia itu .... "Mas Firman tidak mampu melanjutkan ucapannya, ia terlihat memukul kepalanya sendiri. "Saya ini calon istri Mas Firman seutuhnya," terang Airin membuat kami semua menoleh ke arahnya berdiri, ia tidak mengelak, bahkan belum dicecar pun sudah mengatakan sejujurnya. Langkah kaki Airin terus maju ke depan, wanita itu kini berada di sebelah Mas Firman. Ia berani menggandeng Mas Firman dan mendorong aku untuk menyingkir. Aku menatap penuh ke arahnya, aku rasa ia sudah lelah bermain petak umpat bertahun-tahun lamanya. "Saya ini yang pertama, Giska telah merebut Mas Firman dari saya," ucap Airin. "Bosan berada di sini terus, jadi memang seharusnya saya menunjukkan jati diri," jelas Airin. Aku merapikan rambut ini, rambut yang sudah dipangkas dan belum dirapikan. "Saya sudah tahu, Adnan sudah cerita, tapi saya lakukan ini memang sengaja, karena tidak ingin harta Giska pindah ke tangan kalian!" Tante Soraya menjelaskan pada mereka, mulutnya berkata tapi kakinya maj
Aku pikir Adnan membuka pintu depan sebelah kiri karena ada orang yang ingin turun, hampir saja bibir ini tadi nyeletuk bahwa Mbak Giska yang hadir di tengah kericuhan ini. Namun, ternyata dugaanku salah, Adnan membawa sebuah bingkisan dan menurunkannya.Aku dan Tante Soraya sudah diusir oleh Mas Firman, Adnan harus mengetahuinya. "Kamu bawa apa?" tanyaku saat Adnan sudah berdiri di tengah kami. "Ini bingkisan buat Pak Firman," jawab Adnan. "Bu Soraya dan Bu Nurma mau ke mana?" tambahnya dengan pertanyaan yang sudah ketebak. "Terus rambut Bu Nurma kok seperti ini?" Aku menunduk malu, potongan rambut seperti ini tidak akan bisa dirapikan, kecuali aku meminta sambung rambut, itu juga pasti salonnya kesulitan karena bagian poni dipangkas habis oleh Mas Firman. Jalan satu-satunya aku memakai rambut palsu."Ini perbuatan Firman, Adnan. Permisi, saya mau ke apartemen, biarkan Nurma ikut dengan saya," ungkap Tante Soraya. Mata Adnan berpindah ke arah Mas Firman dan Airin yang tengah berd
Wanita berhijab itu benar Mbak Giska, ia mengubah penampilan dengan menutup auratnya. Aku sedikit terpesona menatap wajah Mbak Giska yang kini dibalut oleh busana muslim. Kakinya mulai melangkah ke arah kami. Sesekali aku mengedarkan pandangan pada Tante Soraya yang juga tengah terperangah melihat Mbak Giska. Aku yakin kalau tantenya terkejut karena melihat sosok wanita tangguh berada di hadapannya."Mbak Giska sudah bisa berjalan?" tanyaku padanya. "Lalu hijab ini ....?"Mbak Giska tersenyum, ia tampak sudah tidak punya beban. Berbeda saat sakit dulu, sekarang ia sudah bisa menggerakkan kakinya. "Aku sudah bisa jalan meskipun tertatih, kata dokter, aku harus sering membiasakan diri. Udah sebulan kan terapi? Ini hasilnya, terima kasih banyak, Nurma, kamu memang adik madu yang sangat baik. Tidak salah aku dalam memilihmu dulu," ungkap Mbak Giska sambil membentangkan tangannya. Ia memintaku untuk memeluknya.Aku jadi mengulang memori, dimana sang kakak madu menyelamatkan nyawa ibuku.
Mbak Giska meminta kami untuk duduk supaya bisa bicara lebih nyaman. Aku dan Tante Soraya duduk di sebelah Mbak Giska, jadi posisinya ada di tengah-tengah kami berdua.Aku jadi teringat kala itu Mbak Giska bersandar di atas ranjang, di mana ia selalu menatapku sendu, mungkin hatinya ingin berkata minta tolong tapi tak kuasa. Namun, kini kumelihat pancaran kebahagiaan di rona matanya, aku yakin saat ini adalah puncak kebahagiaannya yaitu lepas dari laki-laki tidak bertanggung jawab bahkan dzolim terhadapnya.Mbak Giska melambaikan tangannya, ia mengejutkan aku yang tengah mengingat masa lalu. "Kamu itu jangan kebanyakan bengong, Nurma, kita harus gerak cepat karena aku yakin Mas Firman tidak akan tinggal diam," pesan Mbak Giska sambil menepuk pangkal paha ini. "Maafin aku, Mbak. Jujur aja, aku masih nggak nyangka Mbak Giska semakin berangsur membaik," ungkapku sambil membelai tangannya, kini aku menumpuk telapak tangannya di atas tangan ini."Sudahlah, kita kembali ke rencana, ya. J
Bab 36"Aku ingin menyekap Airin dan Mbok Tuti. Bagaimana menurut kalian?" Mbak Giska mengusulkan ide untuk memberikan pelajaran pada Airin. Mungkin hatinya hancur ketika mengetahui bahwa Mas Firman menikah dengannya hanya karena ingin memanfaatkan Mbak Giska. "Atur aja, tapi lebih baik kamu urus administrasi terapi di sini, lalu tinggal bersama Tante di apartemen, ini untuk sementara," ucap Tante Soraya. Mbak Giska mengatur rencana, ia meminta tolong pada kedua wanita yang ditugaskan oleh Adnan untuk memberikan obat tidur pada minuman Airin, Mbok Tuti, dan satpam rumah. "Tunggu, Mbak. Aku rasa jangan sekarang, tunggu sampai Mas Firman pergi ke kantor," usulku. "Mbak nggak sabar, Nurma, ingin lihat para anteg Mas Firman itu melongo melihat orang yang pernah nyaris dibunuh oleh mereka."Kalau Mbak Giska sudah yakin, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kubiarkan ia melakukan apa yang ingin dilakukan.Akhirnya kami urus semua lebih dulu, setelah itu barulah berangkat ke apartemen te
Bab 37Aku tidur tepat waktu, tapi sudah bolak balik ke samping kanan dan kiri tetap saja masih belum bisa memejamkan mata. Tengok ke arah Mbak Giska sudah terlelap, begitu juga dengan Tante Soraya. Mereka sudah pulas dan bisa tidur. Akhirnya aku coba mengusap layar ponsel. Masuk ke aplikasi berwarna hijau logo gagang telepon. Aku lihat begitu banyak chat yang belum terbalas, termasuk Adnan yang ternyata mengirim pesan padaku.[Bagaimana, Bu? Sudah beres rambutnya?]Pesannya sudah dikirim sejak tadi, jadi rasanya percuma kalau dibalas. Dulu ketika aku sering ditugaskan ke luar kota, aku saling berkirim pesan dengan Mas Firman, namun baru kali ini aku mengetahui bahwa ia berkirim pesan disambi dengan kemesraan bersama Airin. Betapa bodohnya aku selama ini telah dimanfaatkan olehnya. Penyesalan memang selalu terjadi di akhir. Namun karena penyesalan inilah aku jadi bisa belajar.Baterai ponsel sudah terlihat redup, akhirnya aku putuskan untuk mencoba memejamkan mata ini, supaya pagi h