Langit tampak mendung saat kami bertiga turun dari mobil di parkiran sebuah cafe tempat janjian dengan Pak Jatmiko, mantan suami Bulan. Aku harap dengan pertemuan ini akan bisa terungkap apa yang sebenarnya terjadi pada kami.Aku dan Helen berjalan di depan. Sedang Mas Reno mengekor di belakang. Begitu pintu kaca terbuka, aku mengedarkan pandangan. Mencari lelaki yang sudah menunggu kedatangan kami."Ayo, Sil!" ajak Helen saat langkahku terhenti. Aku menurut. Mengikuti langkah wanita gesit tersebut. Melewati beberapa pengunjung, akhirnya langkah Helen berhenti di meja paling ujung.Aku tertegun saat melihat lelaki yang sedang duduk di depan Helen. Melihat kedatangan kami, lelaki itu lantas berdiri. Tersenyum sekilas lalu mempersilahkan kami duduk."Silahkan! Silahkan!" ucapnya ramah. Sepertinya mantan suami Bulan ini tak mengenal Mas Reno sebelumnya. Tampak dari sikap mereka seperti orang yang baru bertemu."Perkenalkan, saya Reno suami Bu Sisil," ucap Mas Reno memperkenalkan diri.Le
"Apa kamu bilang, Ren?" Kedua bola mata Bulan melebar sempurna mendengar ungkapan ketidakpercayaan Mas Reno. Air matanya satu persatu kembali meluncur di pipi mulusnya. Bibirnya bergetar, sepertinya ia tersinggung dengan ucapan Mas Reno."Kamu enggak percaya anak ini anakmu?" tanyanya lagi sambil menatap tak percaya pada Mas Reno."Ya." Mas Reno berkata mantap. Bulan menggelengkan kepala. "Gimana bisa kamu ngomong gitu, Ren?" Mata dengan bulu lentik itu masih menatap wajah Mas Reno yang mengeras. "Aku siap buktiin kalau kamu memang ayah dari bayi ini."Mas Reno hanya tersenyum sinis kemudian kembali menatap tajam mata Bulan. "Kenapa kamu menjebakku?" Pertanyaan yang sama kembali Mas Reno lontarkan pada Bulan. Seolah ia tak peduli dengan ajakan Bulan membuktikan siapa ayah dari bayi di perutnya tersebut."Jebak gimana, sih, Ren? Bukannya kita emang masih saling cinta? Apa kamu lupa? Gimana panasnya percintaan kita? Kenapa sekarang kamu ngomong begitu?"Mendengar itu dadaku benar-ben
"Apa ... orang yang melapor untuk ... menggerebek kontrakan barunya juga ... orang ... suruhan Ibu?" tanyaku hati-hati.Wanita berumur itu mengernyit. Menatapku penuh tanya. "Menggerebek?" ulangnya."Ya." Aku mengangguk sembari menunggu jawabannya.Wanita itu menggeleng. "Enggak, aku enggak tahu soal itu. Sejak dia pergi, aku sudah enggak ngejar dia lagi."Lalu siapa orang yang meminta warga menggerebek kontrakan Bulan?"Selama dia tidak mengusikku, aku enggak akan mengusiknya," lanjut Bu Herawati."Lalu pengacara yang menemuinya di rumah sakit, apa Ibu tahu?" Kali ini Mas Reno yang bertanya."Ya. Orangku," jawabnya tegas. "Aku buat perjanjian hitam di atas putih, supaya jalang itu enggak berani mendekati suamiku lagi."Aku manggut-manggut mendengarnya. Pengalaman memang membuat orang semakin pintar. Bu Herawati ini tentu tak jauh beda dengan Mami. Keduanya menjadi pendamping seorang lelaki sukses, sudah barang tentu banyak wanita murahan yang berusaha menggoda suaminua. Bedanya Papi
Tak kusangka, Pak RW langsung luruh ke lantai. Lelaki itu bersimpuh di lutut Mas Reno."Mas Reno, maafkan Bapak! Maafkan Bapak!" ucapnya."Loh, Pak? Bapak kenapa? Ayo, berdiri, Pak!" Mas Reno berusaha menarik Pak RW untuk berdiri. Tetapi lelaki tengah baya itu tetap berlutut pada Mas Reno."Ampuni Bapak, Mas! Tolong ampuni Bapak!" pintanya."Iya, Pak. Iya. Tapi Bapak kenapa?" tanya Mas Reno masih sambil menarik Pak RW untuk berdiri.Bukannya menjawab, lelaki itu malah tergugu di lutut Mas Reno. Melihat itu, aku dan Mas Reno saling berpandangan.Beberapa saat setelah membiarkan Pak RW meluapkan kesedihannya, aku dan Mas Reno berusaha mengangkat tubuh tambunnya. Mendudukkan lelaki yang masih tampak bersedih itu ke kursi di antara kami."Bapak kenapa?" tanyanya setelah Pak RW sedikit tenang."Bapak malu," ucapnya. "Bapak udah ngelakuin kesalahan besar sama kamu, Mas.""Maksud Bapak?" tanya Mas Reno."Bapak dibayar buat hasut warga agar mereka percaya Nak Reno sama Mbak Bulan sudah melaku
"Mas, yakin bukan Mami yang jadi dalang semua ini?" tanyaku masih saja galau."Mas yakin bukan, Sayang. Kenapa kamu ragu sama kasih sayang Mami?" sahut Mas Reno sambil sekilas menoleh kepadaku. Kemudian kembali fokus pada jalanan."Mami ingin kamu segera punya anak, mungkin?" tebakku."Ya, udah. Ayo, kita bikin dulu! Hehehehe.""Ish. Bercanda aja!""Serius, Sayang! Ayo, mau cek in dimana?" Lelaki yang sedang duduk di belakang kemudi itu tersenyum lebar ke arahku."Ish!" sungutku.Sebelah tangan Mas Reno meraih jemariku. Meremasnya dengan lembut, kemudian menatapku sambil tersenyum manis."Sayang, menikah itu bukan melulu soal punya anak. Banyak, kan, pasangan yang hidup bahagia tanpa keturunan? Anak itu hak prerogatif Tuhan. Kita cuma bisa usaha. Selama ini kita selalu usaha, kan?""Mungkin aku enggak akan segalau ini kalau kamu enggak pakai hamilin Bulan segala," ungkapku.Mas Reno menatapku, kemudian fokus pada kedua sepion, lalu mobil ditepikannya. Diraihnya kedua jemariku setelah
Makan malam kali ini terasa kaku. Apalagi saat aku melirik Mas Reno. Suamiku itu bahkan belum menyuap satu sendok makanan pun ke mulut. Matanya sejak tadi mengawasi Mas Randi dan Viola. Sedang kedua tangannya menggenggam erat garpu dan pisaunya.Sepasang manusia yang sedang Mas Reno tatap, sepertinya tak menyadari. Mereka dengan santainya menikmati makan malamnya. Atau mungkin mereka berusaha tidak peduli atau ingin menutupi? Entahlah.Mami menatap Mas Reno, wanita itu sepertinya menyadari kalau anaknya tidak sedang baik-baik saja. Tak ingin suasana makan malam ini jadi tak enak, aku menyentuh jemari Mas Reno. Seketika Mas Reno menatapku."Makan!" ucapku tanpa suara.Mas Reno menurut. Kulihat lelaki itu susah payah menelan makanannya. Dadaku sesak melihatnya.Sabar, Mas! Kamu harus kuat! Meskipun memang sangat berat. Saudara yang selama ini kami sayang, tanpa pernah sedikit pun terlintas pikiran buruk, ternyata di belakang menusuk.Tuhan, apa sebenarnya motif Mas Randi? Apa yang buat
Aku menahan lengan Mas Reno saat ia hendak menghampiri Bulan dengan emosi yang menyala-nyala. Aku tak mau nama Mas Reno semakin hancur di depan keluarga besarnya. Kalau sampai bersikap kasar pada Bulan.Jemari Mas Reno mengepal, otot tubuhnya pun tegang. Wajahnya merah padam dengan mata membulat, menatap tajam pada Bulan. Sementara wanita itu tampak tersenyum tak tahu malu."Mohon maaf sudah membuat kaget!"Seketika aku berbalik ke arah mikrofon saat mendengar Viola bersuara. Viola tampak berdiri di depan mikrofon."Perkenalkan, dia Bulan. Istri baru Reno," lanjut Viola.Kontan semua keluarga yang hadir langsung berkasak-kusuk mendengar penjelasan Viola."Viola yang undang Bulan. Karena gimanapun, dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Apalagi saat ini dia sedang mengandung anak Reno," paparnya lagi."Viola!" seru Papi.Dengan memegangi dadanya, Papi menatap tajam pada menantu pertamanya.Viola hanya menatap Papi sekilas, kemudian kembali berkata, "silahkan, Bulan! Kamu bagian d
Bukannya panik, Mas Reno malah tampak bernafas lega. Karena tadi kami memang mengira Mami yang kenapa-kenapa. Kalau sampai Mami kenapa-kenapa, kemungkinan besar Mas Reno sangat merasa bersalah."Mas, gimana?" tanya Kiano. Mungkin ia heran melihat Mas Reno tak panik dengan berita yang mereka bawa."Ya, udah. Bawa aja ke rumah sakit," sahut Mas Reno dengan enteng."Ya, udah. Ayo, Mas! Mbak Bulan maunya digendong Mas Reno, dia enggak mau ditolong orang lain," papar Kiano.Hih, modus aja!"Gimana, Dek?" Mas Reno meminta persetujuanku."Iya, enggak apa-apa. Lagian dia emang istrimu. Tambah heboh nanti orang-orang kalau sampai kamu biarin dia," ucapku malas.Akhirnya kami berdua bersama tiga orang sepupu Mas Reno berjalan menuju taman. Langkah kami terhenti saat terlihat Papi turun dari lantai dua."Bulan kenapa, Ren?" tanya Papi."Pendarahan katanya, Pi," sahut Mas Reno. "Nekat, sih, udah dibilangin dokter buat jangan aktivitas berat malah ke sini. Cari penyakit emang!" omel Mas Reno."Uda