Hari yang dinanti pun tiba. Pagi ini, Fadhil dan Bu Sri sudah bersiap-siap hendak berangkat ke rumah orang tua Imran. Lelaki berkacamata itu terlihat gugup dan Bu Sri hanya tertawa melihat tingkah putra semata wayangnya itu.“Bismillah, Nak,” ucap Bu Sri pada Fadhil. Lelaki itu pun berulang kali mengembuskan napasnya panjang sambil mulutnya terus mengucapkan kata basmalah. Tanpa membuang waktu, keduanya pun lantas berangkat menuju rumah Imran. Imran sudah berada di rumah sang mama sejak pukul enam pagi. Ah, entah untuk apa Imran pagi-pagi datang ke sana. Pasalnya Imran dilanda insomnia dan datang ke rumah sang mama dengan raut wajah sayu dan mata yang sembab. Bu Surya tentu paham apa yang dirasakan Imran, hanya saja ia tidak banyak bicara.Nisa masih berada di dalam kamar, ia akan keluar jika sang mama memanggilnya nanti. Wanita itu tampak ayu dengan balutan gamis merah muda, senada dengan kulit tubuhnya yang putih mulus.Pukul sepuluh pagi Fadhil dan Bu Sri tiba di kediaman Surya. D
Semuanya sepertinya terkejut dengan Nisa yang langsung bisa mengenali Fadhil, bahkan memanggil nama lelaki itu dengan embel-embel ‘Kakak. Nisa pun menjelaskan jika Fadhil adalah Kakak kelasnya saat Aliyah dulu dan Fadhil pun mengiyakan jika ucapan Nisa adalah benar.“Apa Nisa menerima perjodohan ini?” Kali ini Bu Sri yang bertanya karena sedari tadi dia hanya diam. Semuanya langsung diam, menunggu Nisa membuka suara.Nisa mengucapkan basmalah dalam hati lalu berkata. “Insya Allah Nisa menerimanya.”Bunga-bunga harapan bermekaran di hati Fadhil mendengar ucapan Nisa, sementara di hati Imran tumbuh subur kaktus berduri yang semakin menghunjam hatinya. “Nisa akan pulang ke rumah Tante Widi. Lama-lama di sini pun Nisa nggak enak sama Mama,” ucap Nisa lagi.Widi adalah adik Papa Nisa. Wanita itu bertanggung jawab atas aset mendiang papa Nisa. Widi sengaja tidak diberitahu soal perceraian ini, karena sudah bisa dipastikan wanita itu akan murka pada Imran.“Nggak perlu, Nak. Kamu berkorban
Fadhil melajukan mobilnya dengan tenang, meski debar jantungnya semakin tidak karuan. Pasalnya ia merasakan canggung yang luar biasa saat berada dalam jarak yang begitu dekat dengan Nisa.Nisa pun lebih banyak diam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Nisa pun merasakan apa yang Fadhil rasakan. Hanya bersama Imran Nisa bisa menjadi dirinya sendiri.Merasa bosan dan semakin jenuh, akhirnya Fadhil membuka suara. “Semalam tidur nyenyak, Nis?”Bodoh! Fadhil merutuki dirinya sendiri. Kenapa pula harus bertanya hal itu.“Alhamdulillah, Kak. Kak Fadhil sendiri, nyenyak?” Fadhil hanya menjawab dengan anggukan kepala sebagai jawaban, ya. Padahal tadi malam ada hati terjaga semalaman karena memikirkan Nisa.Cinta dan sifat bodoh itu hanya setipis rambut ternyata. Di balik siap Fadhil yang cool, ternyata ia bisa bersikap orang linglung dan tidak tahu harus berbuat apa.Lagi-lagi keduanya terdiam. Nisa lebih banyak melihat ke arah sisi jalan, sedangkan Fadhil fokus mengemudi. Sesekali Fadhil
Sejak kencan pertama hari itu, cinta Fadhil untuk Nisa semakin besar. Lelaki berkacamata juga semakin takut kehilangan Nisa. Satu-satunya cara agar Nisa tetap berada di sisinya adalah dengan segera menikahinya.Keinginannya untuk melamar Nisa pun Fadhil sampaikan kepada keluarga Surya dan tentu saja niat baik itu disambut dengan baik. Bu Surya pun mengatakan jika tidak baik berlama-lama, toh Keduanya sudah pada kenal pribadi masing-masing.Di antara kebahagiaan yang sedang melingkupi hati Fadhil, ada hati lelaki yang kian hari semakin hancur. Imran merasa semakin tidak ikhlas melepas Nisa untuk Fadhil. Imran ingin Nisa kembali padanya dan menjadi istrinya.Namun, apa itu tidak terlalu egois?Imran bodoh!Imran semakin kalut sendiri di dalam apartemen. Tidak ada orang lain di sana. Hanya ada dirinya sendiri, bahkan orang tuanya pun mendukung penuh keputusan Fadhil yang ingin segera meminang Nisa.Imran kacau, bahkan semakin kacau dan terlihat tidak terurus. Hari lamaran Nisa tinggal me
Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Fadhil pun diminta untuk tidak sering-sering datang berkunjung ke rumah Bu Surya karena Nisa memang sedang dipingit. Dalam aturan keluarga besar Surya, pantang sepasang kekasih yang akan melangsungkan pernikahan untuk sering bertemu. Pamali.Fadhil dengan hati lapang menerima ultimatum dari Ibu dari sahabatnya Imran. Segala hal yang dibutuhkan untuk proses pernikahan diatur dengan apik dan teliti oleh Bu Surya, dibantu Pak Surya juga Alifah.Ruang tengah yang luas disulap menjadi altar pelaminan yang cantik, hiasan yang sederhana, tapi terlihat mewah. Juga meja yang nantinya akan digunakan dalam proses ijab qobul nanti diletakkan dekat dengan kursi pengantin.Fadhil pun menyewa WO profesional untuk membantu menghias rumah Bu Surya, agar keluarga itu tidak terlalu direpotkan dan bisa mempercepat proses menghias rumah dan juga hasilnya bisa memuaskan.Imran?Lelaki itu jangan ditanya bagaimana keadaan hatinya. Remuk redam, juga ingin rasanya ia men
Pak Surya duduk di sebelah penghulu dan ia sebagai saksi, Imran lantas ikut duduk di sebelah sang papa, ikut juga sebagai saksi kedua.Dengan mahar seperangkat alat sholat juga perhiasan dua puluh gram, tak lupa uang tunai lima belas juta yang dihias dalam bingkai disiapkan Fadhil untuk Nisa.Sesuai permintaan Nisa, Fadhil tidak memberikan mahar yang besar. Jika pun Nisa menginginkan mahar yang lebih banyak, dengan senang hati ia akan penuhi. Tapi melihat mahar segini pun, Fadhil memiliki firasat akan kena marah Nisa, ini pasti dianggap berlebihan. Fadhil paham benar bagaimana Nisa, meski ia dari keluarga berada, wanita itu tetap sederhana dan rendah hati. Lelaki yang mengenakan jas hitam itu mulai berucap, mulai menjabarkan bagaimana hak juga tata cara pernikahan, lalu selanjutnya disambung dengan doa agar proses ijab qobul berjalan dengan lancar. Bapak penghulu mengulurkan tangan kanannya dan segera disambut Fadhil. Hanya dalam satu tarikan nafas Fadhil mengucapkan itu dan ... sah.
Imran menatap nanar ke arah mobil sport yang mengangkut pengantin dan keluarga besarnya dan kini bergerak menjauh rumah keluarga Surya. Kedua tangan Imran mengepal kuat menahan amarah yang memuncak di kepala. Celotehan yang didengarnya dari para tamu membuat Imran panas, bagaimana mungkin ia tidak tahu masa lalu Nisa dan Fadhil. Jika benar dulu Nisa lebih memilih lamarannya daripada Fadhil, lantas apa yang kini dilakukannya. Memberikan Nisa begitu saja pada Fadhil. Bodoh!Imran merutuki dirinya sendiri. Sifat bodohnya telah membuang keindahan rumah tangganya sendiri. Merobohkan mahligai cinta yang sudah susah payah dibangunnya dan malah memilih setia dengan kehampaan.Imran merasa frustrasi, lalu tanpa pamit pada keluarganya, Imran pergi begitu saja. Kembali ke apartemennya dan mengurung diri di sana. Setidaknya di sana tidak ada yang tahu bagaimana kacau hati dan pikirannya.Di dalam mobil, Nisa duduk di sebelah Fadhil dengan wajah menunduk. Dadanya berdebar sedikit kencang kala ia
Asisten rumah tangga membantu sang majikan memasukkan barang-barang milik Nisa yang dipacking dalam koper jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan. Barang-barang itu lantas dimasukkan ke dalam kamar Fadhil tentunya.Fadhil menuntun dan menggandeng tangan Nisa saat keduanya masuk rumah. Bu Sri mengikuti dari belakang, hatinya merasa bahagia saat melihat putra semata wayangnya kini menikah dengan wanita yang selama ini selalu disebut dalam doa.Entah seperti apa perasaan Nisa sekarang. Kini Fadhil adalah suaminya dan Bu Sri adalah mertuanya. Nisa sudah mengenal mereka jauh sebelum mengenal keluarga Imran. Bu Sri dan Fadhil adalah orang baik dan berhati mulia, tidak pernah sekali pun Nisa merasa asing dengan mereka.“Nisa ....” Bu Sri bersuara saat mereka sudah berada di dalam rumah.“Iya, Bu.”“Selamat datang Nisa. Rumah ini, rumah Nisa juga. Jangan sungkan.”“Iya, Bu. Makasih,” ucap Nisa seraya tersenyum.“Ibu masuk dulu.”Nisa membiarkan Bu Sri berlalu dan meninggalkan dirinya berdua de