"Apa? Kau serius? Jadi kita hanya nikah kontrak? Kau tahu ajaran agama nggak sih? Nikah kontrak itu haram hukumnya!"
Nadin menatap lelaki itu dengan serius, tetapi lelaki itu justru menaggapinya dengan acuh tak acuh.
"Menikah kontrak itu haram karena mereka tujuannya hanya untuk berhubungan badan, nah hubungan badan itulah yang haram. Kalau kita kan cuma mencari legalitas hidup bersama, kamar kita juga terpisah, kita buat juga surat perjanjian bahwa kita tidak akan berhubungan badan, bagaimana?"
Nadin hanya mencebikkan bibir, pernikahan macam apa yang akan dia lalui nanti? Sungguh tidak bisa dia bayangkan.
"Mau berhubungan badan atau tidak, setelah pernikahan ini selesai tetap aku yang dirugikan, aku akan menyandang gelar janda, gelar yang sangat kontroversi di kalangan masyarakat."
"Bukan cuma kamu saja yang bergelar janda, aku juga bergelar duda. Percayalah, asal kau masih perawan, masih banyak pria yang berminat denganmu."
Nadin hanya melirik lelaki itu sekilas dengan muka masam, statusnya nanti menjadi seorang istri, tetapi mereka akan hidup masing-masing, bahkan mungkin dia tidak mendapatkan nafkah dari lelaki ini, perjanjian macam apa ini? Mungkin menikah siri dengan om-om dan menjadi simpanan akan lebih menguntungkan daripada menjadi istri bohongan lelaki kere ini.
"Kalau gitu, cari orang lain saja! Aku tidak tertarik menikah bohong-bohongan seperti ini. Coba kau sebut apa keuntunganku melakukan pernikahan ini?"
"Mau masih bilang untung-untungan? Kita hanya kerjasama agar mendapat tempat tinggal, maka pernikahan itu jadi solusinya agar kita tidak digrebek warga. Ekspektasimu jangan terlalu tinggi, apakah kau berharap agar aku menyentuhmu dan menyetubuhimu? Kau saja tidak bisa membangkitkan gairahku sebagai pria, kau bukan seleraku."
Nadin spontan menatap pria itu dengan tatapan tajam, lelaki ini ... Enteng sekali menghinanya?
"Kau pikir, kau dapat membuatku naksir? Kau bahkan tidak masuk kategori ku dalam mencari teman pria, sudah kere, wajah pas-pasan lagi. Apa yang bisa kau banggakan? Nyewa rumah saja kau masih sempat-sempatnya memanfaatkan seorang cewek seperti diriku."
Kini Zaki yang kembali menatap Nadin, keduanya bertatapan dengan pandangan bermusuhan, sejak pertemuannya dengan gadis ini, harga dirinya selalu saja terbanting. Mungkin karena naluri kebencian yang sudah mengakar di dalam diri pemuda itu, maka ketika berbicara dengan Nadin juga selalu ngegas. Tidak bisakah dia membujuk gadis itu dengan cara yang sedikit lembut?
"Sebaiknya kita akhiri pembicaraan yang tidak penting ini, aku pergi. Aku bisa mencari tempat tinggal tanpa bantuanmu." Nadin segera bangkit dari duduknya setelah keduanya terdiam cukup lama.
"Kamu yakin? Bukankah kau sudah diusir dari kost? Kau mau tinggal di mana?" ucap Zaki sambil mencibir meremehkan.
"Bukan urusanmu!"
Nadin bersikap acuh, dia segera pergi dari tempat itu. Namun baru beberapa langkah, lengannya dicekal seseorang.
"Nadin! Tunggu, please. Oke ... Oke ... Kita buat surat perjanjian yang saling menguntungkan, oke? Ayo kita ke dalam, kita rundingkan keuntungan masing-masing. Kau mau jadi gelandangan dan tidur di jalanan?"
Nadin sudah cukup lelah dengan semua ini, lelaki di sebelahnya memang menyebalkan dan membuatnya muak, tetapi dia memang sudah tidak memiliki jalan keluar lagi, dia bangkrut sebangkrut bangkrutnya! Kerjaan tidak punya, kebutuhan terus berjalan, setidaknya dia perlu ruang untuk bernapas, agar bisa menata hidupnya ke depan dengan lebih baik.
****
"Coba kamu baca, kalau setuju segera tanda tangani." Zaki menyodorkan surat yang sudah ditulis tangan dengan rapi ke hadapan Nadin.
Nadin membaca surat perjanjian itu dengan seksama, matanya mengernyit menatap poin demi poin tulisan diatas kertas tersebut.
"Bagaimana? Apa ada yang perlu ditambahkan? Poin pertama, selama kita menikah, kita tidak boleh ada hubungan asmara dengan siapapun, yang kedua, tidak ada kontak fisik diantara kita, kecuali kamu menghendakinya, yang ketiga, biaya sewa rumah dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari kita bagi dua. Yang keempat, perjanjian ini berlaku jika kita berdua telah lulus kuliah, jika salah satu belum lulus maka perjanjian masih berlaku, boleh diperpanjang jika kedua belah pihak mencapai kesepakatan baru, bagaimana? Setuju? Cepat tandatangi!"
"Sebentar, ini poin dua apa maksudnya? Tidak ada kontak fisik kecuali jika aku menghendaki, apa maksudmu aku cewek yang kegatelan gitu, menghendaki itu?"
Zaki malah tersenyum jahil menatap Nadin dengan seringai. Gadis itu semakin menatap tajam ke arahnya, giginya bahkan gemeratuk menahan amarah.
"Nadin ... Nadin ... Kamu ini jangan sok lugulah, sebelum aku memintamu menikah denganmu aku sudah menyelidiki latar belakangmu, kau pernah berpacaran dengan kakak tingkatmu, kan? Hubunganmu bahkan sudah kayak suami istri."
"Hei, apa maksudmu hubunganku sudah seperti suami istri? Kau benar-benar menganggapku cewek murahan, iya?" Nadin sudah benar-benar sewot menghadapi makhluk tengil di hadapannya.
"Please, kalem aja. Gak usah pake marah-marah, kamu itu salah paham, makanya dipahami dong maksud poin kedua itu, maksudnya, kontak fisik bisa terjadi kalau kamu mengijinkan. Kalau nggak, ya nggak ada!"
"Lah, kamu sendiri memangnya mengijinkan?"
"Oh, ya jelas! Siapa sih yang gak mau di kasih rezeki?"
"Ish, Dasar!"
Zaki tertawa lebar melihat rona wajah Nadin yang sudah merah jambu, dengan bibir yang menahan senyuman. Ternyata Nadin cukup manis jika pipinya yang kuning Langsat itu bersemu merah, pantas saja nabi Muhammad memanggil istrinya Aisyah dengan sebutan Humairah, atau si pipi kemerah-merahan, ternyata memang cantik kalau pipi cewek itu bersemu merah, batin Zaki.
"Ya, sudah. Deal, ya?"
"Deal, ayo tanda tangani!" Zaki segera mengulurkan pena.
Nadin segera menandatangi berkas itu dengan cepat, ternyata Zaki sudah membuat salinannya.
"Ini, satu untukku, satunya kamu yang nyimpan," ujar Zaki.
"Ya, sudah. Ayo kita bayaran rumah, biar aku bisa pindah hari ini," ujar Nadin.
"Ayo, cuma rumah itu kamu tahu sendiri kan? Kondisinya masih berantakan kayak gitu, belum layak untuk ditempati, nanti kita bersihkan dulu baru kamu pindah."
"Tidak apa-apa, bersihkan dulu apa adanya, aku tetap akan pindah hari ini."
"Ya, sudah kalau kamu maunya begitu. Ayo, kita ke parkiran, aku mau ngambil motor."
Setalah sampai parkiran, Nadin benar-benar terpaku, di pikirannya berkata, jika Zaki memang benar-benar mahasiswa tidak mampu.
"Hei, jadi ini kendaraanmu? Apa ini masih bisa jalan?"
Di parkiran itu, motor Zaki paling jadul dan paling jelek, sebuah motor merk Legenda yang sudah begitu tua, mungkin usia motor itu lebih tua dari usianya.
"Hei, jadi ini kendaraanmu? Apa ini masih bisa jalan?" Di parkiran itu, motor Zaki paling jadul dan paling jelek, sebuah motor merk Legenda yang sudah begitu tua, mungkin usia motor itu lebih tua dari usianya. Lelaki itu mengeluarkan motornya dari parkiran, mengengkol dengan kaki kanannya berulang-ulang, tetapi mesin motor itu belum menyala juga. Lelaki itu turun dari motornya dan memeriksa busi motor, mencabut dan mengelap pakai baju kemejanya, memasangnya kembali. Sekali engkol motor itu menyala dengan suara yang sangat nyaring k inihas motor butut. "Ayo, naik!" ujar lelaki itu dengan gerakan kepalanya. Nadin ragu-ragu duduk di boncengan, dia memegang pegagang besi yang ada di belakangnya dengan kuat, motor itu hanya suaranya yang nyaring, lajunya sangat lambat. Mungkin jika Nadin berlari dapat menyalip motor tersebut, Nadin tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa mengelus dada, melapangkan hati, biarlah hidup lelaki ini miskin, semoga hatinya tidak miskin. Nadin jadi teringat p
Selesai membersihkan rumput dan semak belukar di halaman rumah depan, belakang dan samping, Zaki memasang tali dan timba di sumur yang terletak di bagian depan, rumah ini tidak memasang air PDAM namun ada sumur yang airnya cukup banyak, namun juga cukup dalam. Lelaki itu menimba air dan mengisinya ke dalam sebuah ember yang didapati di dalam rumah. "Ini airnya, coba di pel rumahnya, disiramkan saja airnya lalu disapu, setelah itu baru dilap pakai kain pel," ujar lelaki itu."Baik," jawab Nadin langsung menyiramkan air tersebut dari ruang kamar.Kemudian Nadin menggosok setiap lantai memakai sapu lantai dan menyapu airnya, sementara Zaki terus menimba air dan menyiramkan air di setiap lantai. Ketika dirasa semua lantai sudah basah terkena genangan air, lelaki itu membersihkan kamar mandi dan mengisi bak dengan air.Hingga siang hari pekerjaan mereka baru selesai, rumah sudah bersih dan siap untuk dihuni, Zaki meminta Nadin menunggu sebentar, sementara dia pergi keluar dengan motornya.
Nadin sudah mengangkut semua barangnya di rumah barunya, barang yang hanya tiga kardus itu dia letakkan di kamar belakang, biarlah kamar depan dipakai oleh Zaki. Zaki yang semula akan mengantarnya menjemput barang-barangnya tidak jadi karena dia tiba-tiba ditelpon oleh Fahmi agar segera ke kantor.Nadin yang tidak tahu menahu dengan urusan Zaki hanya membiarkan lelaki itu pergi setelah mengantar ke kost, Nadin membawa barang-barang itu dengan bantuan ojek. Setelah masuk ke kamarnya dia juga bingun barang-barang ituau disusun di mana, dia tidak memilik lemari ataupun rak, dia juga tidak memiliki alas untuk tempat tidurnya. Dengan tergesa, hari sudah jam empat sore, Nadin keluar dengan jalan kaki, sepertinya di jalan utama yang berjarak tiga ratus meter ada toko kelontong yang menyediakan barang-barang yang dia butuhkan.Benar saja, di toko itu dia bisa membeli tikar plastik dan sebuah bantal dan menghabiskan uang tujuh puluh ribu rupiah, uangnya kini tinggal tersisa seratus delapan pu
"Siapa yang peduli?""Lah itu, kamu membeli semua barang itu untuk gadis itu, kan?""Sembarangan, tentu saja untukku sendiri, siapa yang akan betah tinggal di rumah sejelek itu tanpa fasilitas apapun. Walau sederhana, setidaknya aku harus tinggal di rumah yang layak huni, dengan barang-barang yang masih bisa dipakai."Fahmi hanya menghela napas mendengar alasan lelaki di hadapannya ini, setelah berkunjung ke rumah Nadin tadi siang, lelaki ini dengan arogan menyuruhnya mencari barang-barang kebutuhan rumah tangga bekas yang layak pakai dan harus dibeli dalam waktu dua jam, tentu saja Fahmi yang belum faham daerah ini kelimpungan mencari di setiap sudut pasar, memantengi market place di facebook hingga dia menemukan toko barang-barang bekas tersebut dan meminta pemilik toko mengantarkan ke alamat dan langsung memasangnya."Jadi barang apa yang belum bisa kau dapatkan?" tanya Zaki lagi."Kipas angin dan sofa, di toko itu tidak ada barangnya.""Aish, kenapa pakai kipas angin, ada nggak AC
"Ayah, aku akan menikah. Jadi tolong kewajiban terakhir Anda harus ditunaikan, sebagai wali nikahku. Aku tidak masalah menikah dengan wali hakim, tetapi di sini aku masih memikirkan harga diri dan martabatmu sebagai seorang ayah. Aku tidak ingin Ayah dicap sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab, jika ibu pulang, bagaimana rendahnya Ayah dipandangan wanita itu," jawab Nadin dengan nada tegas."Jadi kau mau menikah, Nadin? Menikah sama siapa? Kapan?" ujar Suhendri terkejut sehingga nada suaranya meninggi."Besok jam dua siang aku akan melaksanakan akad nikah di kantor KUA, jika ayah mau menjadi wali segeralah datang, jika tidak bersedia biar hakim saja yang mewakili.""Kau?" Suhendri berhenti sejenak menahan gejolak amarah di dadanya "Kapan kau mengurus surat menyurat di kelurahan? Bukankah nikah di KUA itu berarti nikah resmi?" "Aku sudah mengurusnya di sini, KTP ku sudah pindah domisili, jadi aku warga sini sekarang," jawab Nadin dengan berbohong, biarlah, dia tidak mau menambah
Akhirnya pagi Jumat itu Karina dan beberapa tetangga sibuk memasak di rumah Karina, Nadin menelpon Zaki tentang obrolannya dengan Karina dan lelaki itu meminta Karina tidak perlu meminta sumbangan RT, dia memberi Karina uang dua juta untuk memasak dan mengundang tetangga sekitar untuk syukuran. Nadin merasa heran darimana lelaki itu mendapatkan uang, dia dengan mudah mengeluarkan uang untuk acara pernikahan ini, tetapi kenapa tidak mampu bayar kontrakan yang hanya sejuta setengah. Namun Nadin tidak memiliki kesempatan untuk menanyakan semua itu, barangkali setelah selesai acara pernikahan ini, ada kesempatan setelah satu rumah untuk berbincang dan membahas semua itu. Pagi harinya Nadin datang ke rumah Karina untuk bantu-bantu, namun ibu-ibu di sana melarangnya, mereka sungguh pengertian, bahkan mereka menyarankan agar Nadin istirahat untuk menyambut acara tersebut. "Mbak Nadin pulang saja, istirahat di rumah, biar nanti kalau saat ijab qobul terlihat fresh." "Betul, Mbak. Supaya n
"Loh, kenapa ini memasang tenda segala?" tanya Zaki yang baru ngeh terhadap alam sekitarnya."Nanti tamunya cukup banyak, jadi kalau ditampung di dalam rumah gak cukup," jawab Nadin."Terus kamu dapat uang darimana nyewa tenda ini?""Aku yang menyewakan, itung-itung untuk kado pernikahan kalian," jawab Shintia.Zaki tidak bisa berkata-kata lagi, sebenarnya dia termasuk orang yang gengsinya selangit, pantang menerima bantuan dari orang secara cuma-cuma, namun kali ini dia menekan egonya, sungguh sulit rasanya, hingga kulit wajahnya yang berwarna madu itu memerah menahan malu."Ayo, masuk mobil!" Akhirnya dia bisa mengendalikan dirinya dengan susah payah. Lelaki itu berjalan duluan dengan elegan, tubuhnya yang tinggi, dengan pakaian ngepas seperti itu terlihat jelas lekuk tubuhnya, bahunya yang lebar dengan pinggang yang langsing, kaki panjangnya berjalan seperti seorang model terlihat dari belakang."Dari mana sih, kamu Nemu makhluk indah seperti itu, Din?" bisik Asyifa."Makhluk inda
Belum selesai Nadin memikirkan keluarganya, sebuah mobil Innova putih yang juga masih berplat putih, berhenti tepat di depan teras kantor di mana mereka masih berdiri menunggu panggilan panitia pernikahan. Suhendri menjadi orang yang turun duluan dari mobil tersebut. Setelah Suhendri turun dari bangku depan, menyusul di belakangnya Mala, Chika dan Kayla. Nadin sempat shock melihat Mala, Chika dan Kayla berdandan dengan pakaian kebaya ketat, dengan bahan mewah dan dandanan heboh melebihi pengantinnya, rambut mereka disanggul dengan sanggul masa kini sepertinya mereka ke salon dulu sebelum datang ke kantor KUA ini, dandanan mereka seperti mau kondangan ke hotel bintang lima, sementara Suhendri memakai batik mewah, dengan celana bahan berwarna hitam dan sepatu pantofel. "Eh ... Eh ... Eh ..., Siapa ini? Kok ada orang desa yang sudah sampai sini?" ujar Mala dengan heboh menatap pasangan Mang Karta dan Bi Sumi yang berpenampilan sederhana. "Kamu kok ke sini juga, Karta?" tanya Suhendr