Arzan mengangkat gelas dan memperhatikan cairan keemasan yang berputar di dalamnya. Buih-buih kecil naik ke permukaan. Di luar jendela apartemen, langit senja menyala merah jingga, tapi semua warna terasa pudar di matanya.Ia menarik napas panjang lalu membiarkan aroma sampanye mengisi paru-paru sebelum menyesapnya perlahan. Namun, rasa dingin yang menggelitik tenggorokan tak cukup untuk meredakan beban yang bergelayut di pikirannya.Baron Hermanto masih terbaring lemah di rumah sakit. Setiap kabar yang datang hanya berisi ketidakpastian, membuat Arzan semakin merasa terasing dari rumah yang sudah lima tahun menjadi tempatnya berpulang.Lalu soal Karel, kakaknya seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Entah kesengajaan atau kebetulan, selalu saja ada sesuatu yang membuat mereka bersinggungan dalam konflik yang terus berulang. Arzan memijit pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang mulai menjalar.Bunyi bel pintu apartemen memecah lamunannya. Pesanan telah datang. Ia bangkit dari
“Zayn, itukan namamu?” Gadis itu pergi meninggalkan tamu yang tidak diundang.Nada membuka pintu. Berdiri di depan dengan tubuh tegak. Rambutnya diikat rapi. Matanya waspada.“Pergi, Zayn. Aku nggak mau ulang dua kali. Jangan ganggu Bu Vio lagi.”Zayn berdiri tenang, bersandar pada dinding seolah malas pergi. Matanya menatap lurus ke wajah Nada. Tidak ada senyuman. Tidak ada emosi.“Tenang, saya cuma mau ngobrol. Tapi kalau kamu paksa.” Lelaki itu mendekati Nada.Nada menghela napas pendek, lalu mendorong pintu agar tertutup.Zayn menahan pintu dengan tangannya. Lalu menyelinap masuk. Gerakannya cepat dan penuh percaya diri.“Kamu baru saja membuat kesalahan. Aku bukan perempuan lemah.”Belum sempat Zayn bicara, Nada menyerang lebih dulu. Sebuah belati nyaris menggores pipi Zayn. Ia mundur cepat. Napasnya mulai berat. Nada bergerak tanpa aba-aba. Ciri khas petarung jalanan. “Tahan, saya hanya ingin bertanya baik-baik.” “Wajahmu bukan orang baik. Terlihat seperti pedofil campur gay.”
Arzan merapikan lipatan jasnya di depan cermin. Kancing terakhir ditutup dengan pasti, mempertegas siluet bahunya yang tegap dan kekar. Sebotol kecil parfum ia angkat dari rak. Botol berisi aroma maskulin dengan sentuhan cedar dan amber yang selalu mengingatkannya pada satu nama. Vio. Wanita yang lima tahun lalu memilih pergi tanpa penjelasan. Namun meninggalkan banyak jejak. Termasuk parfum di tangannya, yang dulu ia pilihkan untuk Arzan. “Aromanya bikin perempuan susah lupa dan kamu jadi lebih maskulin,” kata Vio waktu itu. Tiga semprotan, tidak lebih di titik-titik yang membuat wangi jadi lebih menguar. Saat ia hendak keluar kamar, ketukan halus terdengar dari arah pintu. Suara pelayan dari balik pintu mengatakan Tuan Baron Hermanto ingin bicara sebentar, di ruang kerjanya. Tanpa banyak kata, Arzan mengangguk. Langkahnya terlihat santai menyusuri lorong rumah keluarga Hermanto yang luas, tapi terasa dingin malam itu. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya kebohongan di sepanjan
Seorang lelaki berdiri tepat di pinggir lampu hijau yang menyala di persimpangan Shibuya, dan kerumunan pejalan kaki bergerak serempak. Mata-mata berbadan tegap dan berjaket hitam itu melangkah tenang. Di balik masker dan topinya, mata Zayn selalu mengamati satu titik.“Target mulai terdeteksi!” ucap Zayn penuh keyakinan.Langkah Zayn melambat. Sekilas, dari seberang jalan, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang dan gaya berpakaian sederhana. Vio, begitu bosnya memanggil.Di samping Vio berjalan seorang bocah lelaki berusia sekitar empat tahun. Zayn tidak terkejut. Tidak juga tersentuh. Kehidupan mafia walau itu perempuan sangat sulit ditebak.Zayn hanya sedang menjalankan misi. Satu dari sekian banyak tugas pengintaian. Dan seperti biasa, ia tidak boleh melibatkan emosi serta perasaan. Jika tidak, Vio bisa saja mengetahui langkahnya. Wanita itu dulu bergelar ratu kematian dan mungkin gelar itu masih Vio pegang.Tiga hari pengintaian berlangsung senyap. Vio hanya keluar unt
Mobil hitam berhenti di basement parkir hotel, jauh dari keramaian pesta di atas. Lantai beton dingin dan sunyi, hanya suara kipas ventilasi dan sesekali deru mesin mobil lain yang lewat. Cahaya temaram dari lampu-lampu neon menyoroti sosok pria yang duduk di kursi belakang dengan dasi yang sudah dilonggarkan.Arzan Aditya Hermanto, wajahnya tampak tenang, bahkan tampan di mata siapa pun. Namun, dari mata cokelat gelap itu, jelas ada badai yang sedang ia tahan. Tangan kirinya menekan pelipis, sementara tangan kanan menggenggam daftar tamu undangan pernikahan yang baru saja ia sobek beberapa jam lalu."Bukan hal seperti ini yang aku mau," gumamnya perlahan saja.Seseorang masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Pria bersetelan jas hitam, berwajah keras, menggunakan kacamata, rambut cepak, dan gerak-geriknya sangat teratur.“Zayn.” Arzan memanggil tanpa menoleh.“Ke tempat biasa, Boss?”“Bukan. Kali ini beda,” ucap Arzan singkat. Ia menyandarkan tubuh, lalu menatap kaca depan mobil ya
Vio menggeliat di kasur tipisnya. Ia mengumpulkan nyawa untuk rutinitas harian yang menyenangkan. Rutinitas di sebuah tempat baru yang membuatnya betah berlama-lama di sana.Pagi di Tokyo selalu datang dengan kesunyian yang tenang, begitu kata orang. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis apartemen kecil di daerah Meguro, lalu menyusup ke dalam kamar sederhana yang dipenuhi aroma bunga teh dan bedak bayi.Vio membuka mata perlahan, menoleh ke sisi ranjang di mana seorang anak kecil masih terlelap dalam pelukannya. Namanya Reino, anak laki-laki yang usianya genap 4 tahun.Hasil dari cinta singkat yang sudah ia kubur dalam-dalam, sempat ingin Vio aborsi tapi tak jadi karena rasa iba dan cinta datang tiba-tiba dalam hatinya. Reino terlihat lucu dan begitu polos, damai, dan tak ada sedikit pun jejak kelam masa lalu di wajah mungil itu.Wanita itu menyentuh pipi Reino dengan lembut. Perlahan-lahan putra pertamanya pun membuka mata,“Ayo bangun, mau lihat bunga sakura mek