Qasam mendorong motor matic tersebut mendekat ke arah warung. Dia usap keringat dengan lengan baju.“Mampir sini, Mas. Ngopi saja dulu!” pemilik warung tua ramah sekali.Inilah pertama kalinya Qasam mendorong motor di bawah terik matahari sampai berkeringat. Ia memasuki warung yang terbuat dari papan itu. Warung itu merupakan kedai kopi yang menjual berbagai macam menu sarapan, menyatu dengan warung sembako dan berbagai jenis sayur mayur mentah. Biasanya kedai kopi tutup jam tiga sore. Hanya warung sembako yang buka sampai malam.Beberapa orang pria sudah lebih dulu duduk di mengelilingi salah satu meja. Kelihatannya mereka adalah para suami takut istri, yang pergi meninggalkan rumah dengan alasan bekerja, tapi malah ngopi di warung.“Kopi satu!” pinta Qasam pada pak Senen, pemilik warung.“Baik, Mas.” Pak Senen mengangguk. “Bu, kopi satu untuk Nak Qasam.” Lelaki tua itu memerintah istrinya.Hampir semua orang mengenal Qasam. Sejak namanya naik daun gara- gara mengalahkan banyak prem
Meski dalam keadaan letih, senyum di wajah Qizha tetap tampil. Langkahnya tersendat saat melihat keberadaan Qasam di warung yang akan dia tuju. Satu- satunya warung yang paling dekat hanya itu. Jika ia harus berjalan lebih jauh lagi menuju warung di depan, maka ia pasti akan lebih lelah. Tenaganya sudah terkuras berjalan di bawah terik matahari. Maka lebih baik ia berbelanja di warung itu saja. Ia kembali melanjutkan langkah memasuki warung sembako yang menyatu dengan kedai kopi.Semoga saja Qasam tidak membuat ulah lagi."Beli apa, Zha?" tanya Bu Senen menyambut kedatangan Qizha dengan ramah.Qizha menyebut daftar belanjaan yang ia butuhkan sesuai catatan di kertas.Bu Senen mengambilkan barang- barang yang disebutkan. "Pulangnya barengan sama suami aja, Zha. Pasti capek jalan kaki kan? Tuh, suamimu kebetulan ada di sini," ucap Bu Senen.Qizha menoleh pada Qasam, mendadak bulu kuduknya merinding. Takut akan mendapati tatapan sangar suami. Namun dugaannya keliru, ia tidak mendapati
Motor yang tadinya mogok, sudah baikan setelah diotak- atik oleh Qasam. Bruk!Tubuh Arsen terserempet motor Qasam, ia terhuyung. Untungnya masih bisa mempertahankan tubuh supaya tetap tegak berdiri.Qasam segera turun dari motor dan menghampiri Arsen.Bugh!Kepalan tinjunya menghantam wajah Arsen, membuat tubuh Arsen langsung jatuh ke tanah.“Apa yang kau lakukan dengan istriku? Kenapa kau pegang tangannya, hm?” Qasam menunjuk- nunjuk ke arah Arsen.Qizha takut melihat aksi pemukulan itu. Ia tak bisa berbuat apa- apa kecuali menatap panik.Arsen memegangi pipinya, keluar darah segar dari salah satu sudut bibirnya yang pecah.“Sekali pukul saja, kau pasti merasakan sakit yang luar biasa. Mau ditambah sekali lagi?” Qasam mengangkat dagunya dengan angkuh.“Maaf aku sudah membuatmu salah paham!” ucap Arsen sambil mengusap darah yang menetes. Ia bangkit berdiri dengan sudah payah.“Jangan bicara apa pun! Aku tidak butuh penjelasan apa- apa! Apa pun alasannya, kau dilarang menyentuh istriku
Muka Agata langsung memucat. Ia pun pergi ngibrit meninggalkan Qasam.Qizha tersenyum melihat ibunya seperti terpental begitu. Kayak orang kena setrum, langsung mental. Senyum Qizha mendadak hilang saat melihat sosok pria yang berdiri di sisinya. Muncul ketegangan. Entah kenapa selalu saja muncul ketegangan setiap kali berdekatan dengan Qasam. Pria ini memiliki aura ketegasan yang tak dimiliki oleh siapa pun. Qizha langsung mengalihkan pandangan saat matanya bertemu dengan mata Qasam. Ia selalu saja kalah tatap jika bertukar pandang."Aku mau memasak di dapur." Qizha bergerak hendak melangkah pergi. Namun lengan Qasam menghadang tepat di depan mukanya, melintang dan menapakkan telapak tangan di dinding. "Kamu mau apa lagi? Mau dibuatin kopi?" tanya Qizha. "Jangan memasak apa pun!" "Loh, ibu bisa ngamuk kalau aku nggak masak. Salah- salah dia ngereog dan ngomel sampai pagi." "Kau lebih takut padaku atau dia?" "Keduanya. Sama- sama nyeremin." Qasam terkesiap. Sialan nih oran
"Bicara aja sama ibu. Aku merasa nggak ada yang perlu dibahas lagi. Maaf," sahut Qizha berusaha untuk tetap bersikap sopan."Tunggu, Qizha. Ini tidak akan selesai jika kau terus menghindar!" pinta Arsen.Terpaksa Qizha mengalah dari pada masalah ini tidak kelar- kelar. "Bu Agata, Pak Bily, sejak dulu aku dan Qizha sudah memiliki rencana pernikahan. Kami ingin hidup bersama," ungkap Arsen. "Aku berharap ibu dan bapak bisa memberikan pemahaman pada Qizha dan Qasam supaya mereka tidak melanjutkan pernikahan mereka. Sebab pernikahan mereka itu terjadi karena sebuah alasan yang buruk."Muka Agata sontak memerah. "Sejak dulu aku nggak restui kamu nikah sama Qizha. Aku justru maunya kamu nikahin Sina. Kalian itu serasi. Kamu adalah pria mapan yang sepantasnya menikahi wanita selevel seperti Sina. Jadi sekarang ini aku nggak mau misahin Qizha dan Qasam. Biarin aja mereka hidup bersama. Toh mereka itu cocok kok."Arsen menoleh pada kedua orang tuanya. Yang langsung dibalas dengan tatapan pa
Muka Agata memerah, menahan rasa marah dan malu bersamaan.“Oh eh… ini… Aduh, kenapa malah sepatu bau ini di sini?” Agata meraih sepatu itu dan melemparnya ke arah sudut ruangan. Keplak!Sepatu yang terbang malah menghantam muka Sina.“Aduh!” Sina memegangi wajahnya.“Eh, maafin ibu.” Agata merasa bersalah. Mata Sina kelilipan. Sepatu jelek itu membawa tanah yang kemudian nyolok matanya. Bikin mata pedas dan berair.Qizha sedikit merasa terhibur dengan hiburan di depan matanya. Iya, sepatu terbang yang menabok mata Sina cukup menghiburnya hingga ia tertawa sambil menutup mulut supaya tawanya tidak didengar oleh siapa pun. Kalau Agata mendengar tawanya, ia pasti akan diamuk oleh wanita itu.Perhatian kembali ke meja yang kosong dan malah terlihat tanah bekas alas sepatu yang rontok mengotori meja.“Maaf, ini sepertinya ada kesalahan tekhnis. Jj jadinya masakan belum disiapkan,” ucap Agata plintat plintut, malu sekali. Orang tua Arsen mulai kelihatan resah."Bagaimana ini
Qasam melihat jam di tangan, masih jam delapan. Belum larut malam. Ia menjalankan motor melewati jalan komplek perumahan."Jangan ngebut- ngebut kayak tadi ya. Lebam yang tadi belum sembuh soalnya." Qizha waspada dan memegangi pinggang Qasam kuat. Ia takut akan terbanting seperti tadi lagi.Ternyata Qasam mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Nah, kalau gini kan rasanya seperti pacaran. Eh?Qizha menggelengkan kepalanya yang telah berkhianat dengan membayangkan hal- hal indah.Seharusnya ia berboncengan begini dengan lelaki yang dia cintai, saling berpegangan, berpelukan di atas motor, pasti itu indah sekali. Lah ini malah boncengan sama manusia jadi- jadian begini.Motor terus bergerak tak tahu entah mau kemana. Rasanya sudah cukup lama mereka berada di atas motor."Sebenarnya kita mau kemana?" tanya Qizha yang mendadak meremang membayangkan berita pembunuhan yang sadis. Jangan sampai ia menjadi salah satu korban yang sama. Dikarungin dan dibuang ke sungai. Hiiiy...Qasam diam
Qasam menyudahi makan, kemudian berjalan menuju kasir yang duduk di balik meja.Qizha cepat- cepat menyudahi makan dan menghabiskan minum. Lalu menyusul Qasam berdiri di depan meja kasir.Qasam mencari- cari sesuatu di kantong celananya. Wajahnya mulai tak nyaman. "Aku tidak bawa uang cash. Tapi ATM pun entah kemana." Qasam menarik sesuatu yang nyelip di kantong celananya keluar. "Yang ada hanya ini."Qasam membuka lipatan uang yang sudah mengeras akibat tercuci dan entah berapa lama mendekam di dalam kantong celananya itu.Dan saat posisi uang sudah menjadi lebar, ternyata itu uang dua ribuan."Mana bisa bayar makan pakai uang segitu," celetuk Qizha. Oh ya, Qizha baru ingat ia tadi menemukan kartu ATM yang terjatuh dan segera ia menyerahkan kartu tersebut kepada kasir. "Mbak, ini aku nemuin kartu ATM jatuh tadi. Silakan disimpan, siapa tau ada customer yang menanyakannya." Qizha tersenyum.Sebelum kasir mengambil kartu tersebut, Qasam lebih dulu mengambilnya. "Itu milikku!" ucap Q