“Dia ayahnya Adi.” Bisik Riri yang berhasil membuat Zahra berteriak.
“Serius kamu?!!” Tanya Zahra tak percaya.Mata Zahra kini tertuju pada Adi yang sudah menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kamu nggak lagi ngawur kan?” Bisik Zahra takut-takut.Riri menggeleng karna yakin sekali dengan penglihatannya, matanya memang rabun tapi Riri tidak buta, apa lagi waktu itu Nafi dan Ayah Adi berjalan secara terang-terangan."Kalau kamu nggak percaya, tanya saja langsung sama calon ayah mertua kamu. Di jamin langsung dapat jawaban yang pasti.""Jawaban kapan hancurnya hubungan aku sama Adi maksudnya?! Bisa hilang sumber penghasilan ku."Mata Riri terbelalak tak percaya, walaupun sudah mendapatkan tamparan dulu sepertinya Zahra masih belum sadar juga."Hati-hati, nanti kena karma lagi baru tahu rasa kamu." Kesal Riri yang sudah berdiri dari duduknya. "Aku pergi dulu ya, ada urusan.""Cih urusan dia bilang, emang pengangguran sepertimu punya acara apa? Paling juga rebahan di kasur." Ejek Farikha.Suara tawa melengking menggema keseluruh ruangan yang membuat urat-urat nadi di kepala Riri terlihat sangat jelas.Riri menatap wanita-wanita menyebalkan itu dengan tatapan membunuh. "Emang kamu nggak acara atau urusan? Aku yang pengangguran aja punya, masa orang kuliah yang katanya paling sibuk di dunia nggak punya jadwal apapun sih." Balas Riri dengan wajah mengejeknya.“Dasar tukang ikut campur, sok banget nyindir orang lain tapi kalau situ di sindir balik malah ngamuk. Mana sok banget lagi jadi orang savage, padahal kelakuan sama tingkahnya aja kayak orang abnormal."Setelah mengatakan itu Riri berjalan keluar untuk pergi ke rumah tantenya, walaupun sebenarnya malas dan lelah karna nyinyiran teman-temannya, Riri tak bisa berbuat apa-apa, apalagi dari tadi ibu dan ayah Riri terus-terusan menghubunginya untuk segera menghadiri acara pernikahan sepupunya."Ck mana baru jam 11 lagi, aku kira tadi udah jam 4 sore karna di dalam lama banget rasanya.""Ayo naik!!”Riri terperanjat kaget saat mendengar suara tiba-tiba dari arah belakangnya. "Kamu belum pergi?" Tanya Riri heran saat melihat suaminya sudah duduk dengan tenang di atas motornya.Tadi pagi Riri berangkat ke Hotel Arjuna di antar oleh Leon, karna Leon langsung pergi setelah mengantarkannya Riri berpikir bahwa Leon sudah pergi entah kemana, namun nyatanya Leon masih berada di hotel tempat Riri bertemu dengan teman-temannya.'Kamu nunggu dari tadi?'"Kamu mau aku di sangka gila karna bicara sendiri?!!"Riri hanya menyengir lalu naik keatas motor Leon. Melihat Leon akan menjalankan motornya Riri mendekatkan bibirnya ke telinga Leon. "Pelan-pelan ya bawa motornya, aku trauma di bonceng sama kamu."Hening, tak ada jawaban dari Leon sama sekali. Karna merasa penasaran Riri akhirnya mencoba untuk mengintip wajah Leon."Aw!!... Sakit tau! Kamu mau aku jatuh dari motor?!!"“Yang suruh kamu gak pegangan siapa?!”“Oke-oke, aku yang salah.”“Tumben? Biasanya para betina langsung ngamuk kalau di salahin.”Alis Riri terangkat saat mendengar nada bicara Leon yang tak meninggi. “ Kamu mau aku ngamuk?” Tanya Riri manja yang sudah meletakkan kepalanya di punggung Leon.“Terserah!”Riri refleks menjauhkan kepalanya lalu dengan Bibir maju kedepan sambil bersedekap dada Riri mengejek ucapan Leon barusan. “Dih! Padahal situ sendiri yang kakukannya kayak betina.”“Kamu mau kuliah?” Tanya Leon tiba-tiba.Mata Riri terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Riri menarik leher Leon kebelakang untuk melihat apakah orang yang di depannya itu benar-benar Leon atau orang yang sedang menyamar sebagai Leon.“Mau apa sih kamu?!!” Pekik Leon sambil menghempas kasar tangan Riri yang sedang memeluk lehernya.“Katanya kamu nggak peduli sama apa yang mau aku lakukan? Kok sekarang sok peduli?”Sudut bibir Leon terangkat, kini Leon memutar setengah badannya dengan senyum licik di wajahnya. “Kamu dengar itu kapan? Emang aku pernah bilang gitu ke kamu?”“Enggak kok. Aku Cuma tebak aja, kan kamu selalu ninggalin aku sendiri di apartemen.” Elak Riri mencari alasan. “Ya udah lah nggak penting juga, sekarang mending kita pergi aja ke rumah bude, Ibu dari tadi udah telefon loh. “ Elak Riri lagi sambil menunjukkan ponselnya.“Jelek banget hp kamu.” Sindir Leon saat melihat layar ponsel Riri yang sudah retak dan terkelupas.“Makanya beliin!! Pelit banget jadi suami.”“Uang di kartu yang aku kasih sudah habis?” Tanya Leon pelan namun penuh penekanan. Riri membenturkan kepalanya ke punggung Leon dengan umpatan yang sudah dia lontarkan dalam hati.Riri menarik kembali kepalanya ketika mengingat kejadian kemarin. “Kamu belum kasih aku jawaban loh soal kemarin! Kenapa bisa nomor telefon kamu yang ada di aku beda sama nomor telefon yang ada di daftar!!” Cecar Riri mencari-cari kesalahan Leon agar dirinya tak terlihat seperti orang yang paling bersalah.“Pinter banget kamu cari masalahnya.”“Kalau cari sama buat masalah mah gampang, yang susah itu benerin masalahnya. Bukannya hilang, masalahnya malah makin menjadi-jadi.”“Nomor sama hp ku ada tiga. Yang satu urusan kerja, yang kedua urusan pribadi, dan yang ketiga itu urusan rahasia.”“Banyak banget ya nomor sama hp kamu, pasti istrinya juga banyak.” Celetuk Riri yang masih tak menyangka.“Kalau istri aku cuma punya satu!!” Balas Leon kesal, dan tentunya dengan nada suara tinggi yang sudah sangat melekat padanya.“Kalau selingkuhan?” Tanya Riri saat mengingat ucapan staf apartemen kemarin.“Nggak usah di tanya. Sangking banyaknya aku sampai nggak bisa hitung!” Jawab Leon asal.Tanpa berpikir panjang Riri langsung turun dari motor Leon dan naik anggukan umum.*****Hanya ada satu kata yang ada di benak Riri ‘Lelah’. Entah itu dalam pertemanan, rumah tangga, ataupun persaudaraannya.Satu kata itu dapat mewakilkan semua kejadian yang di alami Riri hari ini.Sudahlah menjadi bahan caci-makian teman-temannya, mengetahui bahwa suaminya memiliki banyak selingkuhan, bahkan setelah mengalami dua hal itu Riri masih harus di hadapkan dengan para tantenya yang selalu menjadikannya bahan perbandingan.Suara helaan nafas lagi-lagi terdengar, lelah tubuh dan pikiran memang beda dan tak bisa di sama-samakan.Sindiran dan hinaan yang Riri dapatkan hari ini terus saja terngiang-ngiang di kepalanya, apalagi saat mengingat pertanyaan Leon mengenai dirinya ingin kuailah atau tidak.Jika ingin berbicara terus terang Riri sangat ingin melanjutkan pendidikannya, itu adalah salah satu impian terbesar yang ingin dia lakukan.Namun ketika mengingat tentang kondisinya saat ini, impian yang besar itu langsung runtuh seketika. Saat ini Riri memang mendapatkan uang bulanan dari Leon, tapi karna pekerjaan Leon yang belum pasti Riri masih menimang-nimang tentang langkah selanjutnya yang akan dia ambil untuk masa depannya.“Apa aku tetap lanjut cari kerja aja ya? Tapi udah hampir 6 bulan aku sebar cv tapi tetap aja nggak ada panggilan.”Kejadian tadi pagi di hotel kembali terlintas di benak Riri. Berbagai pikiran buruk mulai merasuki hati dan pikirannya. Saran dari temannya soal melompat dari lantai 14 langsung menjadi hal pertama yang di simpulkan olah Riri.Kepala Riri yang awalnya menatap kearah langit kini turun menatap jalanan yang masih ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Kakinya sudah mulai terangkat dan siap melewati pagar pembatas.Riri menutup matanya kuat-kuat lalu dengan segenap harapan yang tak tercapai, Riri bersiap untuk melompat dari tempat yang sudah dia tinggali selama 3 hari."Semoga aja kedepannya jadi lebih baik."“Riri!!...”Kabar menghilangnya Ariza membuat heboh keluarga besar bu Khansa, Riri yang tidak memiliki hubungan baik dengan Ariza terpaksa ikut mencari keberadaan sepupunya itu. “Nak Leon, tolong paman, dia anak perempuan paman satu-satunya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.” Ujar pak Abdul dengan wajah melasnya. Tentu saja orang yang paling di sasar pertama adalah Leon, koneksi dan anak buah Leon yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi modal utama pak Abdul untuk mencari putrinya. Riri yang melihat pamannya seperti itu menjadi tak tega. Walaupun tidak memiliki hubungan yang baik, bagaimana pun Ariza adalah sepupu Riri, sejahat apa pun dia tentu saja Riri harus membantu untuk mencarinya. “Bantu saja mas, aku tidak tega melihatnya.” Bisik Riri tepat di samping telinga Leon. Bagi Leon yang mengetahui niat buruk Ariza kepada Riri sangat sulit untuk melepaskannya, terlebih lagi kejadian beberapa hari yang lalu bisa terulang kembali. “Kita bicarakan nanti di kamar.
“Lebih baik kamu jauhkan sapu tangan itu sebelum nyawamu melayang!.” Mendengar ada suara yang menghentikannya, tanpa menoleh sedikit pun, wanita itu mengeluarkan sebuah pisau dari tasnya menggunakan salah satu tangannya yang lain. Sebelum berhasil melancarkan aksinya, Leon melempar sepatu yang di pakainya hingga membuat pisau itu terjatuh di lantai. Dua orang bergegas berlari dan menangkap wanita itu, namun naasnya sapu tangan yang di bawa wanita itu terjatuh tepat di atas wajah salah satu anak Leon. Leon berlari menghampiri putranya, untung saja dia tidak apa-apa. Leon melirik sinis kearah wanita itu setelah memastikan kondisi ketiga putranya baik-baik saja. “Aku akan menghancurkan hidup anakmu!!...” Teriak wanita itu dengan di iringi tawanya yang menggelegar. Arga masuk ke dalam kamar Leon sembari membawa sapu tangan yang persis seperti milik wanita itu. “Di sapu tangannya terdapat air keras, kalau menetes di kulit sedikit saja, wajahnya pasti akan rusak.” Wanita itu
“Mereka semua pergi dengan keinginan mereka sendiri. Tapi kalau kamu mau, aku bisa bawa mereka kembali ke sini.” Riri kembali terdiam, sudah banyak hal yang dia lewatkan setelah berada di Villa selama tiga bulan, dan segalanya kini menjadi rumit. Bagi Riri yang telah lama merasa bosan dan kesepian, dia pasti akan tetap memilih untuk membawa keluarganya kembali pulang ke rumah, namun hati nurani Riti tidak mengizinkannya untuk bersikap egois, karna bagaimana pun semua berhak untuk hidup sesuai dengan keinginannya masing-masing. “Lalu Satria bagaimana?.” Tanya Riri yang melewatkan satu orang. “Dia memilih untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya dan meninggalkan jurusan bisnis seperti yang dia inginkan. Sekarang dia berada di Inggris bersama tiga bocah kematian itu, jadi kamu tidak perlu khawatir.” ***** Leon mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari sakunya. Sudah sangat lama sekali dia tidak merokok, terakhir kali pun Leon merokok ketika mendapatkan kabar kalau mertuanya terk
Kedua mata Riri perlahan-lahan terbuka, hal yang pertama kali di lihat oleh Riri adalah sebuah langit-langit putih berhiaskan emas yang berkilauan. “Akhirnya kamu sadar juga nak, Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu, untung saja dokter bilang tidak apa-apa.” ‘Ada apa ini, apa yang sudah terjadi kepadaku?.’ Tanya Riri dalam hati. Riri menoleh kearah Ibunya yang dengan khawatir memegang salah satu tangannya erat-erat. Kepalanya yang terasa sangat sakit membuat Riri kesulitan untuk berpikir. Berbagai pertanyaan mengenai kondisinya berkecamuk di pikiran Riri yang membuat rasa sakit di kepalanya bertambah semakin menjadi-jadi. Riri merintih kesakitan, telinganya juga tiba-tiba berdenging sangat nyaring, tubuh Riri meringkuk ketika kepalanya terserang rasa sakit yang luar biasa. Melihat putrinya yang merintih kesakitan, bu Khansa berteriak memanggil nama Leon. Mendengar teriakan dari Ibu mertuanya, Leon bergegas menghampiri sumber suara. Ketika sudah berada di depan kamar
“Malu kamu bilang?! Kalau kamu masih memiliki rasa malu! Ganti rugi atas kematian anakku! Kalian harus membayarnya!.”“Benar! Kamu harus membayar empat triliun kepada kami!. Kalau kamu tidak membayarnya, kami akan menghancurkan rumah ini!.”Tangan Riri mengepal kuat dan akan bersiap untuk menghantam wajah empat orang yang berada di depan matanya. Di saat Karina sedang di kabarkan sakit bahkan sampai sekarat di rumah sakit, bukannya menjenguk mereka malah datang meminta sejumlah uang ganti rugi.“Anak yang mana? Kalau maksud tante itu kak Karina, sampai saat ini dia masih hidup dan masih bisa bernafas!.”“Tapi kak Karina sekarat karna kalian! Kalian sudah menaruh racun ke dalam makanannya!. Kalau kalian tidak suka setidaknya jangan membunuh kak Karina!.”Riri mengelus dadanya sembari mengatur nafas agar tidak terbawa emosi, cerita tentang kekejaman mereka yang di ceritakan oleh Leon melekat jelas di ingatan Riri. Peran saudara dan ibu tiri yang mereka lakukan sangat baik hingga me
Suara ketukan terdengar di pintu kamar pengantin yang akan menghabiskan waktu bersama setelah serangkaian acara yang melelahkan. Suara ketukan itu tak kunjung berhenti sampai salah satu dari kedua orang yang berada di kamar itu membuka pintu. “Kenapa Leon? Apa kamu tidak akan membiarkan aku beristirahat dengan tenang malam ini?.” Leon menatap wajah pamannya lalu mengintip ke dalam kamar. Di sana sudah terdapat sebuah meja dengan berbagai makanan yang di hidangkan. Di salah satu sisi meja sudah ada seorang wanita yang mengenakan sebuah gaun putih yang cantik, jika di lihat dari posisinya wanita itu terlihat akan segera menyantap hidangan di depannya. “Jangan makan apa pun sampai besok siang.” Asrof menatap heran kearah Leon, dan seketika ekspresi wajah Asrof berubah menjadi panik. Asrof menoleh ke belakang dan menatap istrinya yang akan memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Tanpa berpikir lama Asrof langsung berlari dan menepis tangan Karina dengan kasar. Sendok