Semenjak kejadian itu, ada yang berubah, setiap aku lewat hendak ke mesjid, para tetangga akan menyapa ramah. Tetangga sebelah rumah jadi tiba-tiba rajin antar makanan, seperti pagi itu, aku baru pulang dari mesjid. "Bang Ucok, ini sarapan," kata ibu tersebut seraya memberikan seporsi bubur ayam.Entah kenapa makanan di kota ini sangat sulit cocok di lidahku, bubur ayam ini pun justru aku jijik melihatnya saja, wujudnya seperti muntahan kucing, sama sekali aku tidak selera. Akhirnya Bambang yang makan."Bang Ucok, bagaimana caranya Abang Ucok bisa panggil polisi, langsung Kapolres yang datang?" tanya Bang Bambang lagi itu, Saat itu dia lagi makan bubur ayam pemberian tetangga."Jangan panggil Abang napa, Bang, panggil saja Ucok," kataku. Satu lagi kebiasaan orang di sini yang membuat akun risih, semuanya manggil Bang, Mas, sama ibu-ibu pun manggilnya Bang, padahal di kampung kami, panggilan Abang Itu untuk orang yang lebih tua, di sini ibu-ibu pun manggilnya Bang, untuk sesaat aku ja
Baru sebulan di sini, aku sudah dapat beberapa tawaran, jadi pengurus masjid ada juga yang masuk ormas. Tak ada yang bisa kuterima, jadi marbot masjid, aku khawatir tidak bisa di masjid terus karena harus kuliah. Jadi anggota ormas, sungguh itu bertentangan dengan prinsip hidupku.Tak ada yang kuterima, akan tetapi aku berjanji jika ada waktu akan selalu hadir dibmesjid untuk salat berjamaah.Hari itu aku pertama masuk kuliah, ada acara ospek yang mengharuskan aku memakai pakaian putih hitam. Ospek berjalan lancar tak ada kendala berarti. Di kampus aku berkenalan dengan orang dari berbagai daerah Indonesia. Ada yang lucu, saat aku ditanya seorang mahasiswa baru."Suku Batak ya, logatmu kek Hotman Paris?" begitu dia bertanya."Iya," jawabku singkat."Kok Islam? kan Batak?" tanyanya lagi.Ternyata biarpun pun sudah mahasiswa masih banyak orang yang salah paham tentang suku Batak."Batak itu suku, bukan agama, Batak bukan berarti kristen," jawabku."Minangkabau itu juga suku, Aceh juga
Aku jadi bimbang juga, kalau kamar itu kubuka dengan kunci cadangan, itu melanggar prinsip hidupku yang tidak menggangu hak orang lain. Kamar itu sudah mereka sewa dua hari, sudah pula kuterima uangnya. Akan tetapi .... "Kita dobrak saja, Cok, jangan-jangan gadis itu dikorbankan," kata Bambang lagi. "Gak boleh begitu, mereka memang berhak kunci kamar itu sampai besok. Sudah mereka bayar," kataku lagi. "Jadi bagaimana, Cok, jujur saja aku tidak bisa tenang ini, bagaimana bisa tidur jika di sebelah ada babi ngepet," kata Bambang lagi. "Kok babi ngepet?" "Gadis itu bawah lilin ke kamar, yang pria pergi entah ke mana," kata Bambang. "Udah, kita cari dulu mereka," kataku kemudian. "Di mana mau dicari, Depok ini luas lo," "Kita cari saja," kataku kemudian. Kami pun keluar rumah, dengan mengendarai Supra, kami keliling-keliling di seputar daerah tersebut. Saat pertama masuk kemari, pria itu sempat memberikan nomor telepon. Coba kutelepon, akan tetapi tak diangkat. Kukirim pesan wa
Ketika sampai di rumah, penasaran juga ada apa di dalam kamar tersebut, apakah gadis itu masih ada di dalam atau bagaimana. Kucoba intip dari lubang kunci, akan tetapi tidak ada apa-apa yang terlihat. Tak ada celah lagi untuk melihat.Sementara Bambang mondar-mandir di rumah, dia tak bisa tenang."Udah, Bang, tidur saja, besok mau kerja," kataku kemudian."Mana bisa tidur jika begini, Cok," jawabnya. Sejujurnya aku juga tidak bisa tidur, terbayang gadis itu dalam kamar dikurung. Sementara kamar itu tidak ada AC atau kipas angin. Mereka juga tak ada bawa kipas angin. Terbayang alangkah panasnya di situ."Coba ketuk pintunya?" kataku kemudian.Bambang mendekat ke pintu tersebut, lalu..."Tok,tok,tok."Tak ada apa-apa, gadis itu mungkin tidak ada di dalam. Dia mungkin sudah pergi, aku masih belum percaya ada orang yang mau ditumbalkan, juga tidak percaya dengan yang namanya uang gaib.Malam itu benar-benar meresahkan, Aku juga tak bisa tidur, sampai jam setengah sebelas, tak ada aktivi
Hari Minggu tiba, aku mau pergi ke rumah Pak Ali Akhir, perwira polisi itu mengundangku datang. Saat aku hendak pergi, kulihat Bang Bambang duduk termenung di depan rumah."Kenapa, Bang?" tanyaku kemudian."Mau pergi ke tempat mertua, tapi gak ada yang mau dibawa," jawab Bang Bambang."Ini, Bang, antar dulu aku ke rumah saudara, baru Abang bawa motornya," kataku kemudian."Bukan perkara itu, Cok, Kamu kan lihat sendiri, seminggu ini nganggur, kalau aku datang gak bawa duit, mertuaku bisa marah," jawab Bang Bambang.Aku menyandarkan motor, lalu duduk di sampingnya. "Kenapa bisa nikah tapi terpisah, Bang?""Gitulah, aku juga sedih, entah pernikahan macam apa ini, istriku gak mau jauh dari orang tuanya, eh, aku gak boleh tinggal di situ," katanya lagi."Apa alasannya tidak boleh, Bang?""Dulu aku tinggal di tempat mertua, kamu ngerti lah kerja tukang ini, kadang ada kadang tidak, jadi pernah nganggur sampai sebulan, ibu mertua mengusirku, katanya aku hanya boleh bawa anaknya jika sudah
PoV ButetSetelah Bang Ucok pergi ke Jakarta, banyak yang berubah di rumah. Mamak tampak selalu sedih, sebentar-sebentar mau menelepon, tapi Ayah selalu melarang, kata ayah tidak boleh terlalu sering menelepon, karena bisa membuat Bang Ucok tidak fokus belajar.Bisa dimaklumi, semenjak kecil, baru kali ini mamak terpisah dengan Bang Ucok, kata orang, anak sulung itu selalu jadi anak kesayangan. Aku juga banyak berubah, kini aku mulai belajar bawa motor, sudah bisa, akan tetapi tetap tidak boleh bawa motor ke sekolah. Padahal aku hampir tujuh belas tahun. Sedangkan anak tetangga masih SD sudah bawa motor."Aku bawa motor saja lah, Mak, kasihan ayah harus antar jemput tiap hari," kataku di suatu sore."Belum tujuh belas tahun, belum juga punya SIM, gak boleh," kata mamak."Itu masih kelas enam SD sudah bawa motor, bonceng mamaknya lagi," kataku kemudian."Butet, kau kan tahu hukum, bacaanmu buku hukum, masa kau gak tau, lagi pula kau itu anak kepala desa, harus bisa jadi contoh pada
PoV ButetBaru kali ini aku tidak tahu harus bilang apa, biasanya aku dengan mudah bisa mematahkan pendapat Bang Ucok, akan tetapi kali ini, sungguh aku tidak tahu harus memihak siapa. Mamak dan Bang Ucok ada benarnya. "Udahlah, Mak, biar sajalah Bang Ucok," kataku akhirnya."Butet, kok ngomong gitu?""Mau bagaimana lagi, Mak, sudah terlanjur diterima Bang Ucok, dikembalikan pun nenek itu sakit hati, jadi biar saja," kataku seraya mematikan panggilan video."Butet ada betulnya, Dek, biar sajalah dia mencari jati dirinya di Jakarta, kita percayakan saja semuanya, jika kita sudah tak mampu, menengadah lah ke atas, serahkan semuanya pada yang maha kuasa," kata Ayah."Tapi Ucok masih labil, Bang, masih butuh arahan kita," kata Mamak lagi."Betul, Tapi Ucok nya merasa sudah dewasa, merasa sudah bisa memutuskan sendiri, buktinya dia renovasi rumah pun tak minta pendapat kita lagi." kata Ayah."Jadi kita lepas kendali, gitu maksud Abang?" kata Mamak."Bukan, Dek, kita mengawasi saja, sehar
PoV UcokKadang jika pun kita sudah merasa benar, akan tetapi tetap salah di mata orang tua. Aku sudah merenovasi rumah tanpa bantuan orang tua, tetap juga salah, padahal niatku baik. Ingin bantu orang dan menggapai cita-cita. Aku tetap disalahkan saat menerima uang dari nenek, padahal aku tidak minta, bukan pula memohon. Ada teman kuliahku sampai memohon biar diberikan beasiswa, aku tidak. Hanya berusaha sendiri, tanpa menyusahkan orang tua. Aku hanya ingin membuktikan pada dunia, aku sudah dewasa, aku bisa seperti ayah, yang kaya raya sebelum menikah.Mamak sepertinya takut termakan budi, padahal nenek itu yang mau balas budi, tidak mungkin orang yang balas budi kemudian kita merasa termakan budi? Misalnya ada orang punya utang sama kita, kemudian dia bayar, apakah kita merasakan berutang lagi karena dia bayar? Tentu tidak? Dalam hal ini aku merasa benar, terbukti Butet yang selalu punya jawaban kali ini diam, padahal mamak sudah menyuruh dia bicara.Bang Bambang ternyata cukup