"Boleh bergabung, Nona?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan Anneth, wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang sedang duduk sendirian di sebuah cafe. Dia acuh, enggan merespon seseorang yang meminta izin untuk duduk di meja yang sama dengannya.
"Kopi baru bisa dinikmati setelah diseduh dengan air panas. Akan tetapi kenapa kopi satu ini terasa dingin sekali ya? Padahal uap panasnya masih terlihat. Aneh," ucap Sean seraya mengulum senyum.
(Menarik. Aku suka wanita cuek dan dingin seperti Nona ini. Biasanya mereka akan sangat ganas jika sudah naik ke atas ranjang. Hmmm.)
"Duduklah jika ingin. Pergi jika hanya untuk membual. Aku benci bicara dengan orang asing!"
Tatapan Anneth tertuju pada pria yang dengan tidak tahu malunya langsung duduk begitu dia membuka suara. Pria penggoda, itu kesan yang Anneth tangkap saat ini. Dan itu sangat menjijikkan.
"Sean!"
Arsean Sinclair, pria dengan usia matang yang kini genap berumur tiga puluh empat tahun. Sejak usia belasan dia telah menetap di luar negeri. Akan tetapi karena sebuah tipu muslihat dia terpaksa kembali ke negara tempat kelahirannya. Biasalah. Terlahir sebagai pewaris tunggal membuatnya harus menerima nasib dikejar-kejar untuk segera menikah. Sean dijebak. Dia termakan tipu muslihat yang dilakukan oleh orangtuanya yang menyebut kalau sang ibu sedang sakit keras. Ingin marah, tapi yang menipunya adalah sosok wanita terhormat yang mustahil untuk dilawan. Ingin diam saja, tapi hidup seperti ini sangatlah membosankan. Sean jenuh. Dia butuh wanita yang bisa bersuara manja. Dan targetnya jatuh pada wanita dingin yang tengah duduk di hadapannya.
"Upsss, sepertinya tanganku tak lebih menarik dari apa yang sedang kau pikirkan, Nona." Sean pura-pura memasang wajah kecewa sambil menarik mundur uluran tangannya yang tak bersambut. "Padahal selama ini aku tidak pernah merasakan yang namanya penolakan. Sedih sekali."
"Jangan memasang wajah seperti anjing kelaparan di hadapanku. Atau aku akan menyiramkan kopi ini ke wajahmu!" tandas Anneth jengkel melihat kelakuan pria di hadapannya. Sudah tidak tahu diri, sok menggoda pula. Membuat orang kesal saja.
"Jika dengan memasang ekpresi seperti ini bisa membuatmu memperhatikan aku, maka aku tidak keberatan disebut sebagai anjing kelaparan. Sungguh!"
"Kau!"
Anneth membuang nafas kasar. Dia jadi tak berselera lagi untuk menikmati waktu di cafe tersebut. Niat hati datang kemari adalah untuk melepas penat dan menenangkan pikiran, malah harus bertemu dengan seseorang yang membuat moodnya menjadi rusak parah. Sial sekali.
"Nona, janganlah kau memasang wajah kesal seperti ini. Karena apa? Karena itu malah membuatku semakin merasa penasaran padamu. Sungguh!" ucap Sean kembali membual. Dia menjadikan sebelah tangannya sebagai topangan dagu, memperhatikan dengan seksama jejak karya Tuhan yang tercetak sempurna di wajah wanita cantik ini. "Garis matamu begitu tajam dan juga tegas. Aku tebak kau adalah seseorang yang sangat perfeksionis dalam menjalankan pekerjaan. Apa kau seorang pengusaha?"
"Omong kosong! Enyah kau dari hadapanku sekarang juga!" sentak Anneth makin tak tahan.
"Jangan marah dulu, Nona. Ayolah, aku ini hanya ingin mengetahui namamu saja."
"Tuan yang sok kenal, ku beritahu kau satu hal kalau aku sangat tidak suka terlalu banyak bicara dengan orang asing. Apalagi orang asing dengan tipe tak tahu malu sepertimu. Tolong pergilah. Jangan ganggu waktu istirahatku. Bisa?!"
"Aku akan pergi, tapi setelah kau memberitahu siapa namamu!"
"Kau memang benar-benar tak tahu diri!"
Setelah berkata seperti itu Anneth berniat pergi dari sana. Muak jika harus menghadapi pria asing yang bernama Sean itu. Bukannya dia sok jual mahal. Anneth hanya tidak ingin seseorang datang dengan membawa maksud tertentu. Sangat mudah ditebak kalau pria ini memiliki keinginan untuk mengenal lebih pada dirinya. Dan inilah yang sedang Anneth hindari.
Sejak kejadian menyedihkan waktu itu, Anneth telah bersumpah untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan yang namanya laki-laki. Tapi bukan berarti itu membuatnya harus jatuh cinta pada sesama wanita. Tidak seperti itu. Anneth trauma, jujur dia mengakuinya. Hal inilah yang membuatnya selalu bersikap dingin pada laki-laki yang ingin mendekati. Hatinya sudah terkunci rapat.
"Nona, percaya tidak kalau aku akan langsung memerintahkan seseorang untuk menyelidiki latar belakangmu jika kau meninggalkan aku seperti ini. Duduklah dan mari kita bicara. Just fun. Oke?" ucap Sean agak tersinggung melihat wanita cantik ini hendak pergi meninggalkannya. Dia merasa dibuang.
Langkah Anneth terhenti. Ini, ini yang paling dia benci. Dengan raut wajah yang terlihat sangat buruk dia terpaksa kembali duduk di tempat semula. Setelah itu Anneth bersedekap tangan, menatap dingin ke arah pria yang tengah memilin bibirnya. Mirip b*jingan.
"Relaks, baby. Jangan tegang begitu. Nanti cantikmu hilang," ledek Sean yang kini sudah tersenyum lebar. Kekesalannya hilang entah kemana.
"Berhenti mengatakan omong kosong dan cepat jelaskan apa maksudmu ingin meminta seseorang untuk menyelidiki latar belakangku!" sahut Anneth tanpa basa-basi.
"Tidak ada maksud apapun, Nona. Aku murni hanya ingin berkenalan saja denganmu. Sungguh!"
"Maaf, aku tidak membuka jasa pengenalan diri. Kau silahkan cari wanita lain saja yang bisa dijadikan obyek untuk bersenang-senang. Permisi!"
Jika tadi Sean merasa tersinggung, kali ini tidak. Dia malah tertawa melihat wanita itu pergi dengan raut wajah yang begitu kesal. Ada kepuasan tersendiri yang Sean dapatkan setelah membalas penghinaan yang tadi dia dapatkan.
"Hmmm, sayang sekali aku gagal berkenalan dengannya. Padahal dia adalah wanita pertama yang berhasil membuat gairahku bangkit sejak kembali ke negara ini," ujar Sean menyayangkan apa yang terjadi. Dia menarik gelas milik wanita itu kemudian iseng mencicipi isinya. Dan begitu kopi yang masih setengah panas masuk ke dalam mulutnya, Sean dibuat ternganga syok mengetahui rasa dari minuman tersebut. "Brengsek! Apa-apaan wanita itu. Kenapa dia harus memesan kopi sepahit ini. Lidahnya sudah mati rasa apa bagaimana!"
Rupanya kopi yang tadi dinikmati oleh wanita dingin itu rasanya sangat luar biasa pahit. Cepat-cepat Sean memanggil waiters dan memesan segelas minuman yang cukup manis untuk menghilangkan rasa pahit yang seperti membakar lidah.
"Tunggu dulu. Setahuku para wanita sangat menyukai makanan dan juga minuman yang manis, tapi kenapa wanita itu tidak? Apa yang salah darinya? Mungkinkah dia adalah korban trauma dari masalalu? Astaga, misterius sekali," gumam Sean menerka-nerka. Dia kemudian menoleh ke arah pintu masuk sebelum akhirnya menampilkan satu senyum aneh di bibir. "Aku jadi penasaran siapa dia sebenarnya. Dari cara bicara, riasan, dan juga barang yang dikenakan sepertinya dia bukan berasal dari keluarga sembarangan. Hmmm, sepertinya aku bisa menggunakan wanita ini untuk menghentikan perjodohan yang ingin dilakukan oleh Ibu. Ya, benar. Aku harus segera mencari tahu seluk beluk wanita itu secepatnya!"
Akan tetapi yang jadi masalah adalah kemana Sean harus mencari tahu tentang latar belakang wanita tersebut? Sedangkan dia sendiri baru satu minggu pindah ke negara ini. Mungkinkah dia akan berhasil? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
***
Tok tok tokAnneth membuang nafas kasar. Kesal karena ada yang mengganggunya. Sambil melepas kaca mata yang bertengger di mata, dia mempersilahkan si pengganggu untuk masuk ke dalam ruangan. Ceklek"Apa aku mengganggu?" tanya Sofia seraya menampilkan cengiran khas di bibir. Dan cengirannya bertambah semakin lebar saat di empunya ruangan menatapnya dengan pandangan tajam. Sudah biasa. "Kalau tidak penting sebaiknya kau pergi saja dari sini. Dasar pengganggu!" omel Anneth ketika Sofia, sahabatnya, berlenggak-lenggok dengan tampang yang sangat menyebalkan masuk ke dalam ruangan. Sebelah alisnya terangkat ke atas saat Sofia dengan santainya duduk di pinggiran meja sambil bersilang kaki. "Sudah bosan punya kaki? Iya?""Ck, ayolah, Ann. Jangan segalak ini pada sahabatmu sendiri. Aku bukan musuhmu. Okey?" sahut Sofia sambil memutar bola matanya. Jengah. "Kalau memang benar kau adalah sahabatku lalu kemana perginya sahabat itu ketika aku sedang membutuhkan?"Sofia meringis. Kini dia tahu p
Setibanya di klab, Anneth dan Sofia langsung memesan meja. Mereka memilih untuk duduk di meja yang tak jauh dari bartender. Agar mudah memesan minuman. Begitu pikirnya. "Malam ini ramai sekali. Seseorang sedang membuat acarakah?" tanya Sofia pada seorang waiters yang datang mendekat. "Benar, Nona. Ada yang membooking klab ini untuk merayakan kepulangannya dari luar negeri.""Ouwh, begitu ya. Pantas saja pengunjungnya kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang kaya. Ternyata bos yang sedang menggelar acara."Anneth sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan antara Sofia dengan waiters. Baginya sama saja mau klab ini ramai atau tidak. Dia tetap kesepian. "Nona, kau ingin pesan minuman apa?""Apa saja. Yang penting kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi," jawab Anneth dingin. Dia lalu menghela nafas panjang saat mendengar suara cekikikan Sofia yang bercampur dengan dentuman musik dj. "Kau jangan macam-macam, Sof. Aku masih harus menyetir mobil saat pulang nanti. Kau tidak mau kita m
ByurrrAnneth membasuh wajahnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Sungguh, dia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya dia bertemu dengan pria menyebalkan yang siang tadi mengganggu me time-nya saat berada di cafe. "Apa aku perlu melakukan ritual buang sial supaya dijauhkan dari laki-laki seperti Sean ya? Melihat caranya menatapku membuatku sangat ingin mencolok biji matanya," geram Anneth sadis. Dia lalu mengembuskan nafas kasar, sekali lagi membasuh wajahnya supaya lebih segar. "Ck, menjengkelkan."Belum juga hilang kekesalan di diri Anneth, ponsel di dalam tasnya berdering. Segera dia melihat siapa yang menelpon. Siapa tahu penting. "Ibu?" Anneth menarik nafas. Dia berusaha untuk tenang sebelum menjawab panggilan dari sang ibu. "Halo, Ibu. Ada apa?"["Ann, kau di mana? Sekarang Ibu sedang berada di apartemenmu, tapi kosong. Apa kau masih berada di perusahaan?"]"Tidak, Ibu. Aku sedang di luar bersama Sofia," jawab Anneth dengan lembut.["Oh, begitu. Ya sudahlah tidak apa-a
"Mau sampai kapan kau main-main begini, Sean? Lupa ya kalau kau itu sudah tua? Perlu dituliskan di kening tidak berapa usiamu sekarang?"Tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, Sean akhirnya sampai di rumah. Dan begitu dia masuk, sebuah ejekan langsung menyapa indra pendengarannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan wanita cantik yang telah berbesar hati melahirkannya ke dunia ini. Nyonya Sinclair, Safina. "Jangan diam saja. Cepat jawab Ibu!" sentak Safina sambil berkacak pinggang. "Bu, ayolah. Sekarang jam tiga pagi, bisa tidak marah-marahnya ditunda besok saja?" sahut Sean dengan santainya. Dia kemudian terbatuk saat tenggorokannya terasa kering. "Uhh, alkohol di negara ini tidak sebaik di tempat tinggalku dulu. Alangkah baiknya jika aku bisa kembali lagi ke sana. Hmmm,"Rasa-rasanya kepala Safina seperti mendidih saat mendengar perkataan putra semata wayangnya. Kesal, dia melepas alas kaki lalu dilemparkan ke arah pria bengal yang malah tertawa melihatnya murka. "Ckck
"Ann, kau baik-baik saja?" tanya Merly sembari memperhatikan putrinya yang terlihat tidak bersemangat menikmati sarapan. Sekarang dia tengah berada di apartemen Anneth. Sengaja datang kemari karena sudah lebih dari dua hari tidak bertemu dengan anak gadis kesayangannya. "Hah? Ibu bilang apa barusan?" Anneth yang sedang melamun langsung terhenyak kaget saat ibunya tiba-tiba membuka suara. Pikirannya tengah melayang mengingat satu kejadian perih yang membuat hidupnya berubah drastis. "Sejak tadi Ibu perhatikan kau terlihat lesu sekali. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di kantor?" tanya Merly dengan lembut. Manik matanya terus memperhatikan gerak tubuh putrinya yang terlihat seperti orang kebingungan. "Tidak, Bu. Keadaan kantor baik-baik saja kok. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semuanya aman terkendali," jawab Anneth. "Lalu?" "Lalu ... ya tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Merly menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu, sangat ama
Anneth menyerahkan kunci mobil pada satpam kemudian menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Menjadi seorang bos membuatnya harus memberi contoh yang baik dengan selalu datang tepat waktu ke kantor. Hal ini membuat para karyawan begitu hormat dan juga segan terhadapnya. "Selamat pagi, Nona Anneth," sapa seorang karyawan yang bertugas di meja resepsionis. Senyumnya ramah. Dilengkapi juga dengan pakaian yang rapi serta bersih. "Pagi," sahut Anneth tak ramah. "Nona, seseorang menitipkan bunga untuk diberikan kepada Anda." Sebelah alis Anneth terangkat ke atas. Dia lalu melirik ke arah meja di mana ada sebuket bunga lili tergeletak di sana. Menyebalkan. Lagi-lagi dia mendapat hadiah seperti ini. Sampai kapan? "Pengirimnya masih orang yang sama?" "Benar, Nona. Malah tadi orang itu bersikeukeuh ingin memberikannya langsung kepa
Bab 8Sean berjalan santai sambil memainkan kunci mobil saat menuju ruangan ayahnya. Saat ini dia tengah berada di perusahaan, menepati janjinya yang akan melakukan serah-terima sebagai bos besar di sini."Selamat datang, Tuan Arsean!" sapa beberapa karyawan sambil membungkuk hormat ke arah bos baru mereka yang baru saja datang.Yang pertama kali dilakukan Sean ketika mendengar sapaan tersebut adalah menarik nafas. Dia sungguh tak senang dengan keadaan ini. Keberadaan orang-orang tersebut membuat lehernya seperti tercekik. Terbayang dipelupuk mata bagaimana nanti dia akan berkutat dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya. Astaga, hanya membayangkan saja sudah membuat perut Sean terasa mual. Lalu apa yang akan terjadi nanti saat dia mulai menjalani?"Selamat siang. Duduklah," ucap Sean mempersilahkan orang-orang untuk kembali duduk. Setelah itu dia menghampiri ayahnya yang terlihat
"Kau serius akan benar-benar menikah dengan pria yang Bibi Merly pilihkan?" tanya Sofia seraya menatap seksama ke arah sahabatnya yang tengah mengaduk minuman. Mereka sekarang tengah berada di cafe setelah Sofia memaksanya meninggalkan pekerjaan yang tiada habisnya."Tidak ada pilihan lain, Sof. Hatiku sakit melihat Ibu tidak bahagia.""Lalu kau sendiri? Apa kau bahagia dengan keputusan tersebut?""Aku tidak tahu,"Kepala Anneth tertunduk dalam. Bahagia? Kata ini sungguh sangat jauh dari pikirannya. Hanya saja dia tak kuasa melihat raut sedih yang terus menghiasi wajah ibunda tercinta. Anneth tahu betul kalau kesedihan itu berasal dari kekhawatiran sang ibu akan masa depannya. Jadi sekarang sudah tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan yang telah diatur untuknya. Meski sebenarnya hati sangat ingin menolak."Coba pikirkan dulu masak-masak, Ann. Menikah