“Kiara, dengerin Ayah dulu, please!”Suara Ayah menggema ketika aku baru saja melewati ambang pintu. Refleks, aku menoleh. Kiara berdiri tak jauh dari pagar. Wajahnya pucat, tubuhnya sedikit gemetar, seperti terperangkap antara ingin kabur atau menyerah.“Kamu temenin Kiara, May. Bunda menepi sebentar. Gak apa, kan?”Aku mengangguk. Aku tahu kalau Bunda selalu butuh waktu agar tidak meledakkan amarah pada mereka yang tidak pantas menerimanya.Aku mendekat perlahan dan meraih lengan Kiara yang dingin. Dia tak menolak, hanya menunduk seolah terlalu lelah untuk menatap siapa pun, bahkan dirinya sendiri. Aku menggandengnya masuk ke halaman rumah, menutup pagar di belakang kami dengan bunyi gemeretak yang terasa lebih nyaring dari biasanya.Ayah masih berdiri di luar, diam seperti patung. Tak berani mendekat, seakan pagar besi itu lebih tinggi dari jarak puluhan tahun yang sudah memisahkan mereka.Baru saja aku bernapas lega karena Ayah akhirnya menjauh, sebuah suara meluncur tajam dari ba
"May, tolong bantu jemurin baju adik-adikmu, ya. Kalau sudah, jemput Raya di sekolah.""Siap, Bun!" seruku dengan penuh semangat.Bunda yang sedang duduk di depan laptop hanya melirikku sekilas lalu tersenyum. Senyum lembut yang berbeda dari kemarin. Lebih hangat, lebih hidup, dan itu cukup membuatku merasa dunia ini baik-baik saja.Aku berjalan ke dapur untuk mengambil keranjang hijau yang penuh pakaian. Kupikir hanya pakaian Risa dan Raya, ternyata Bunda mencuci bajuku dan Nek Nian, kecuali milik Tante Ira. Bunda memang luar biasa, bahkan setelah semua ini, dia masih bisa begitu rajin.Karena jemuran belakang rumah tak lagi tersorot matahari, aku beralih ke samping rumah, dekat pohon mangga tua milik Nek Nian. Menyenangkan tinggal di lingkungan ini. Tak ada yang bertanya macam-macam soal Bunda. Mereka tak menggunjing, tapi juga tak menutup diri. Risa sering diajak main, bahkan sempat diberi boneka baru oleh Bu Tia, tetangga sebelah yang baik hati."May."Suara itu menyentakku. Tak a
“Kita ketemu lagi.”Bunda menatap bangunan di depannya. “Ini usaha kamu?”Om Adam mengangguk pelan. “Dulu orang tua yang mulai, sekarang aku terusin. Rumah ini masih kosong. Kalau kamu suka, bisa aku bantu urus semuanya.”Bunda menatap ke arah pintu. “Lihat-lihat dulu, ya.”Saat pintu dibuka, aroma cat baru dan udara langsung menyambut. Di dalam, dinding putih bersih, lantai licin, tangga kecil menuju lantai atas, dan dapur mungil yang disinari matahari lewat jendela besar. Bunda berdiri di tengah ruang tamu, membiarkan pandangannya menjelajah ke sudut-sudut yang masih kosong. Matanya berhenti pada jendela besar yang menghadap taman.“Aku suka. Rumah ini tenang.”Om Adam tersenyum, tapi bukan senyum seorang penjual. Aku merasa ada sesuatu yang mengalir lebih dalam di balik itu—barangkali harapan, barangkali kenangan. Atau mungkin, seperti Bunda, dia juga ingin memulai lagi dari awal yang bersih.Begitu urusan selesai dan kesepakatan disepakati, Om Adam mengajak mampir ke kafe tak jauh
Langit sore menggantung rendah, kelabu seperti kapas basah yang enggan turun hujan. Jalan menuju rumah Nek Nian terasa lebih panjang dari biasanya, padahal aku hafal setiap retakan di aspal itu. Mungkin karena hatiku kosong atau karena hari ini benar-benar mengakhiri satu hal yang dulu kusebut rumah.Bunda berjalan di depan. Langkahnya pelan, seperti menyeret beban yang tak terlihat. Di tangannya cuma ada map cokelat dan tas kecil sisa dari pengadilan. Tak ada genggaman, tak ada pelukan, bahkan ucapan pun nihil. Kami pulang seperti dua orang asing yang kebetulan pernah hidup bersama.Langkahku terhenti saat melihat sosok berdiri di depan pagar. Perempuan dengan blouse putih bersih, rambut panjang disisir rapi ke samping, dan sepatu hak pendek yang memijak tanah merah seperti tamu penting yang salah alamat.Tante Nanda.Tubuhku refleks menegang. Udara sore yang dingin terasa menukik sampai ke tulang. Tenggorokanku mengering, jantung berdetak keras, dan entah kenapa tanganku gatal ingin
PoV MayAku sudah tak tahu lagi kabar Ayah. Nomornya terblokir dari semua media sosialku termasuk WhatsApp. Setiap kali pesan datang dari nomor baru dan ternyata darinya, Bunda akan buru-buru memblokir lagi. Tak mau ada komunikasi di antara kami, setidaknya untuk sementara.Mungkin nanti, kalau semuanya sudah reda. Untuk sekarang, katanya harus berdamai dulu dengan dirinya sendiri. Meski begitu, Bunda tidak memblokir Ayah sepenuhnya. Dia masih perlu mengabari soal urusan perceraian, untuk hal-hal formal.Hari-hari terus berlalu. Kami masih tinggal di rumah Nenek. Bunda bilang rumah lama harus dijual. Terlalu banyak kenangan tentang Ayah di sana. Berat, tapi melepaskan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.Akhir-akhir ini, Bunda mulai mengabaikan komentar para pembaca yang menunggu kelanjutan novelnya. Dia memintaku membalas sesekali, menjelaskan bahwa ada urusan mendesak, sambil memohon doa agar segalanya lancar. Bunda tak ingin mereka tahu kalau dia sedang mengurus perceraian. Bag
"Kiara, kamu tahu siapa mereka?"Gadis itu berdiri pelan, menoleh ke arah kami. "Mama, mereka Ayah sama Tante, kan?"Tiara langsung menatapku. Sorot matanya menusuk. Ada luka lama yang tampaknya belum kering dan kini menganga lagi. Pandangan itu bukan sekadar marah, tapi kecewa, juga penuh getir. Aku ingin bicara, menjelaskan, tapi lidahku kelu. Seluruh tubuhku terasa dikuliti oleh kenyataan yang selama ini kututupi. Malu. Sangat malu. Bukan hanya pada Tiara, tapi pada anakku sendiri.Semua kenangan lama bermunculan begitu saja. Dosa yang dulu kukubur dalam-dalam kini muncul di hadapan anak yang bahkan tak pernah kumanja. Ingin rasanya berlari pergi, menghilang dari pandangan Kiara. Namun aku tahu, aku sudah terlalu banyak kabur. Kali ini, aku harus diam di sini dan menghadapi semuanya dengan kepala tertunduk dan dada sesak.Aku melirik Hanen, berharap dia akan membantuku berbicara. Sejujurnya, tak ada yang bisa menyelamatkanku dari luka yang kutorehkan sendiri. Rasanya seperti berjal