Rai tidak segera menjawab.Sorot matanya tetap terkunci pada wajah Sua, seolah berusaha menahan gejolak yang meluap dari dada. Tapi ketegangan yang semula tegang di wajahnya perlahan mencair. Sudut bibirnya terangkat sedikit, bukan senyum penuh, tapi sesuatu yang cukup untuk menyiratkan bahwa kata-kata gadis di hadapannya baru saja menusuk ke bagian terdalam hatinya.Lalu, dengan suara parau dan serak tertahan, ia bergumam, "kau sangat manis, Linjin.”Sua menelan ludah, wajahnya sudah merona sejak tadi, tapi kini berubah menjadi merah muda merata seperti kelopak bunga sakura yang baru mekar.“Kalau boleh…” lanjut Rai, kali ini dengan nada lebih pelan, tapi jelas. “Aku sangat ingin menggigitmu.”Seketika, mata Sua membelalak. “APA?!”Rai tertawa pelan. Suara tawanya rendah, dalam, dan entah kenapa terdengar lebih berbahaya dari biasanya, seperti lolongan senyap seekor serigala yang baru keluar dari bayang malam."Hanya sedikit. Tidak akan menyakitkan,” bisiknya, menyipitkan mata, jelas
Rai menegang. Bahunya mengeras.“Dan kau tahu,” lanjut sang kaisar, “Bai Yuan bukan orang yang mudah ditahan. Jika aku langsung memberikan restu padamu, maka yang kubuka bukan sekadar jalur pernikahan… tapi perang antar pewaris takhta.”“Aku tidak peduli akan itu,” tegas Rai. “Selama dia menyentuhnya pun tidak boleh!”Kai Yuan memandang putranya lama. “Justru karena itu aku menahannya. Aku tahu kau tidak akan mundur. Tapi Bai Yuan tidak akan bermain seadil dirimu.”Ia berdiri pelan, memutar tubuhnya ke arah jendela besar di belakang singgasana.“Kau boleh mencintainya, Rai. Tapi untuk memilikinya … kau harus siap dengan semua yang akan dikorbankan. Termasuk … takhta itu sendiri.”Rai mengepalkan tangannya.Dalam hatinya, ada kemarahan, tapi lebih dari itu, ada ketegasan. Ia tak akan membiarkan Bai Yuan mengambil apa pun darinya. Termasuk wanita yang kini menjadi alasan ia tetap hidup.Bai Yuan, putera sulung Kaisar Kai Yuan dari Permaisuri Agung, dikenal sebagai pewaris yang tampan, c
Di depan gerbang besar yang masih dijaga ketat oleh penjaga, suara langkah kaki dan detak jantung terdengar seolah bersatu. Saat roda kereta berhenti, para penjaga langsung mengenali rombongan itu, dan dalam sekejap, pintu gerbang terbuka lebar. Pelayan-pelayan kediaman berlarian ke depan, menunduk memberi hormat, dan melapor ke dalam.Su Ying sudah menunggu di halaman utama, berdiri tegak dengan pakaian sederhana, tapi sorot matanya menyimpan gelora emosi yang tidak bisa ditutupi. Matanya langsung tertuju pada satu sosok kecil yang melompat turun dari kereta dibantu oleh Bae Ya.“Zihan!”Su Ying setengah berlari. Dan Zihan, yang selama ini terlihat kuat dan tenang, menghambur ke pelukan ibunya seperti anak kecil yang baru bangun dari mimpi buruk.“Ibu …” suaranya pecah. “Aku minta maaf ... Aku hampir ...”“Tidak perlu bicara apa-apa,” Su Ying memeluknya lebih erat. “Kau sudah pulang. Itu cukup.”Tangis Zihan pecah di pundak ibunya. Beberapa pelayan wanita menunduk haru di kejauhan, t
Rai terhuyung saat mereka melangkah keluar dari jalur hutan. Sua segera menahan tubuhnya sebelum lelaki itu jatuh.Chunying yang berjalan di depan segera berbalik dengan wajah cemas. “Kita harus cari tempat berteduh,” katanya cepat.Mereka menemukan sebuah kota kecil di tepian Hutan Wengi, dan menyewa kamar di sebuah penginapan tua yang terpencil. Zihan dibawa ke ruang sebelah oleh Chunying dan dua pengawal bayangan, sementara Sua membantu Rai berbaring di dipan bambu reyot yang tersedia di kamar utama.Ketika Sua membuka bagian atas jubah pria itu, napasnya tercekat.Luka lama, tepat di bawah tulang dada kiri, masih terjahit kasar. Kulit di sekitarnya tampak menghitam, dan darah mulai merembes keluar, membasahi pakaian dalam Rai.“Yang Mulia ...” Sua berbisik, nyaris tak percaya.Rai menahan napas, lalu tersenyum lemah.“Ini ... luka lama. Tusukan dari Shan Kerei, saat perang. Tak selalu terasa … tapi setelah kabut dan sihir kutukan tadi … kurasa terlalu banyak untuk kutahan.”Sua me
Suara Wu Xian bergetar. Ia melangkah maju, aura sihir menguar liar dari jubahnya seperti ular yang bangkit karena amarah.“Gadis tidak tahu diri! Berani bicara seperti itu padaku?! Kau pikir dia tetap hidup kalau aku tak pernah—!”"Kau sudah kehilangan kesempatanmu, Wu Xian,” ucap Sua, pelan tapi menampar seperti cambuk. “Dan kau, sebenarnya marah bukan karena aku bersamanya. Kau marah … karena dia bahkan tidak pernah memilihmu sejak awal.”Wu Xian mengatupkan rahangnya.Lalu ia tertawa. Pelan, getir, tapi makin lama makin tinggi. Tawa yang bukan berasal dari humor, melainkan dari kepahitan dan kegilaan yang lama disimpan.“Kalau begitu … biar kutunjukkan caraku mengakhiri gadis yang tidak pernah kupilih untuk hidup.”Dan—BOOM!Wu Xian mengangkat kedua tangannya. Simbol mata hitam dari Klan Hei menyala di udara, sihir kutukan mulai membentuk pusaran energi di atas altar batu."Rasakan kutukan yang sama dengan yang menghancurkan ibumu.”Sua terkejut.“Kutukan Ibu?”Wu Xian tersenyum s
Di ujung paling tenggara Hutan Hitam Wengi, tersembunyi sebuah tebing batu raksasa yang dijuluki penduduk sekitar sebagai Dinding Bisu, tempat burung tak berkicau, dan kabut tak pernah surut. Di balik rerimbun akar beringin tua dan lumut darah yang merayap di dindingnya, ada sebuah celah sempit, cukup hanya untuk dua orang berjalan beriringan.Celah itu bukan sekadar retakan alam. Ia adalah pintu gerbang ke Rongronghai, markas ritual terdalam Klan Hei, tempat segala ikatan jiwa dan pengorbanan darah dimulai. Tak terlihat dari luar, tak terjangkau sihir biasa, Rongronghai hanya bisa ditemukan oleh mereka yang pernah merasakannya … atau oleh darah yang pernah mengalir di atas batunya.Di dalamnya, gua melingkar seperti pusaran. Altar berdiri di tengah, dikelilingi ukiran mantera kuno, dan lilin-lilin hitam yang tidak pernah padam. Di atasnya, energi kabut, roh, dan gema dari jiwa-jiwa yang hilang… berputar seperti bayang tak kasat mata.Dan di sanalah, Zihan sempat berdiri.Di sanalah p