Bab 4

"Lihat kamu saja aku jijik."

Setelah berkata begitu, ibu Sheila ikut mengangkat koper-koper besar ke lantai atas.

Melihat mereka naik ke atas, aku benar-benar tidak habis pikir.

Sebagai orang tua, bagaimana bisa mereka membesarkan anak yang tidak tahu malu seperti itu?

Saat ruang tamu tinggal aku seorang, Sheila mendekat sambil menyunggingkan senyum mengejek.

"Emang kenapa kalau kalian sudah nikah? Kamu hamil anaknya, terus kenapa?"

"Tetap saja kamu nggak akan menang dari aku atau anakku."

"Oh ya, Kak Simon bilang, nanti waktu anakku lahir, dia bakal jadi anak sulung, pakai marga Keigo."

"Anak haram kamu tuh paling cuma dia akui sebagai anak angkat. Ikut margamu."

Melihat senyum Sheila yang menyakitkan mata, aku cuma merasa lelah.

Drama macam ini sudah terlalu sering dia mainkan.

Aku menyingkir pelan dan hendak pergi.

Tapi, Sheila tiba-tiba jatuh duduk sambil menangis keras. "Maaf, Kak. Ini salahku."

Teriakannya langsung mendatangkan kedua orang tuanya.

Ibunya melompat ke arahku seperti orang kesurupan.

Tepat saat itu, pintu vila terbuka dan Simon masuk tergesa-gesa.

Aku baru buka mulut ingin menjelaskan, tapi ibu Sheila sudah keburu menubrukku dan menamparku sambil mengumpat kasar.

"Bu…"

Simon menahan ibunya Sheila. Terlihat ada sedikit tidak tega di matanya saat melihat kondisiku.

Tapi, belum sempat dia bicara, Sheila sudah lebih dulu memeluknya sambil menangis.

"Kak Simon, kamu janji, 'kan? Setelah anak kita lahir, orang tuaku bakal tinggal sama kita buat bantu jagain."

"Rumahku kecil, nggak cukup buat kita berlima."

"Aku tadi cuma nanya Kak Venny keberatan nggak kalau kita tinggal bareng, tapi dia tiba-tiba mukul aku."

Dia menutupi wajah lalu memegang perutnya.

Tangisannya makin keras seolah dia benar-benar korban.

Suaranya membuat kepalaku berputar.

Pipi yang tadi ditampar terasa panas dan mati rasa, sepertinya sudah bengkak.

Sementara di bawah tangan Sheila, kulitnya mulus, tidak ada apa-apa.

Saat aku menoleh, tatapan Simon jelas serba salah.

Aku menyeka air mata dan berdiri pelan.

Suami yang dulu berjanji akan melindungiku...

Kini justru jadi alasan perempuan ini berani bertingkah seenaknya.

Mungkin memang sejak awal, pernikahan kami adalah sebuah kesalahan.

Kalau dia tidak bisa melepaskan masa lalunya, maka satu-satunya yang dia lepaskan adalah pernikahan kami.

Karena tinggal satu hari lagi sebelum aku pergi...

Sheila mulai rewel, bilang takut terjadi apa-apa pada bayinya dan memaksa ingin ke rumah sakit.

Ibunya masih meneriaki aku supaya minta maaf.

Simon berdiri di tengah, melihat pipiku yang sudah merah bengkak.

Pada akhirnya, dia tetap memilih perempuan yang tidak pernah bisa dia tinggalkan itu.

"Venny, aku antar Sheila ke rumah sakit dulu."

"Ibuku baru pulang dari luar negeri. Nanti begitu aku kembali, aku antar kamu ke rumahnya."

"Aku sudah janji sama Sheila. Kamu harus paham. Aku nggak mau jadi orang yang ingkar janji."

Melihat laki-laki yang sudah tidur di sebelahku selama tiga tahun ini, kini semua ucapannya hanya untuk orang lain, aku sadar dia sudah lupa pada janji yang dia ucapkan pada hari kami menikah.

Semua janji yang dulu dia bilang akan dia tepati...

Yang katanya tidak akan pernah dia ingkari...

Sejak Sheila kembali, tidak satu pun dia tepati...

Aku menelan semua getir itu dan hanya ingin drama ini cepat selesai.

"Venny, aku cinta kamu."

Melihat wajahku yang tetap datar, Simon buru-buru menambahkan, "Mau kamu lakukan hal yang paling menyakitkan bagiku sekalipun..."

"Perasaanku ke kamu nggak pernah berubah."

Mendengar ucapannya, aku hanya merasa semuanya begitu konyol.