Home / Romansa / Tawanan Hasrat Raja Lingga / Menerobos Segel Pelindung

Share

Menerobos Segel Pelindung

Author: QuinzeeQ
last update Huling Na-update: 2025-11-18 11:33:03

Angin malam Qingzhou biasanya tenang, membawa aroma pinus dan embun lembut dari pegunungan utara.

Namun malam itu, ketika Lingga berdiri di balkon kamar Zhiya, ia merasakan sesuatu yang bergerak—pelan, namun sangat jelas.

Langit yang semula biru kelam tiba-tiba menghitam seperti tinta yang menetes dan menyebar ke seluruh permukaan.

Awan-awan terpecah seolah ditarik dari dalam, membentuk lingkaran besar yang memusat tepat di atas istana.

Lingga mengernyit, napasnya tertahan.

“Tidak seharusnya ia bangkit secepat ini…”

Cahaya tipis—merah gelap, seperti bara api yang hampir padam—muncul di sela awan, membentuk guratan yang berdenyut.

Seolah langit itu adalah mata yang perlahan terbuka.

Energi itu sama dengan yang menyerang kamar Zhiya.

Tapi kali ini jauh lebih kuat.

Lebih… sadar.

Lingga mencengkeram pagar balkon.

“Aku mengusirmu,” bisiknya geram.

“Namun kau kembali—dan membawa kekuatan lebih besar.”

Di bawahnya, seluruh kompleks istana tampak gelisah.

Burung malam beterbang
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kembali Ke Aetheria

    Di Qingzhou, senja belum sempat jatuh ketika Zhiya terhuyung. Kali ini bukan pusing yang bisa ia tahan dengan napas. Tarikannya datang mendadak—kuat, kasar—seperti tangan yang merenggut pergelangan kakinya dari balik kabut. Lututnya menghantam lantai kamar Lingga, suara benturannya kering dan nyata. “Zhiya!” Lingga sudah berlutut di hadapannya. Simbol di pergelangan tangan Zhiya berkilat tak beraturan, denyutnya melonjak liar. Udara di ruangan terasa berat, seolah ruang itu sendiri menolak mempertahankannya lebih lama. “Tubuhku…” Zhiya terengah, jari-jarinya mencengkeram kain jubah Lingga. “Mereka… membawaku ke rumah sakit.” Lingga menegang. Wajahnya mengeras—bukan marah, melainkan sadar. “Mereka menyentuh batas,” katanya pelan. “Tubuhmu memanggil dengan paksa.” Zhiya menggeleng lemah. “Aku belum selesai.” “Kau sudah,” jawab Lingga lembut namun tak memberi ruang bantahan. Ia mengangkat wajah Zhiya agar menatapnya. “Qingzhou aman. Jizhou mundur. Tidak ada lagi yang mengik

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Tubuh Yang Tak Kunjung Sadar

    Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Keputusan Akhir

    Keheningan Aula Putih kembali menegang—namun kali ini, bukan karena sihir atau ancaman perang. Raja Jizhou berdiri perlahan. Tongkat kekuasaannya tidak lagi menjadi penopang wibawa, melainkan beban yang ditariknya dengan susah payah. Matanya tidak tertuju pada Lingga, juga tidak pada para saksi Yongzhou. Pandangannya jatuh pada lantai batu—tempat kebenaran akhirnya menuntut nama. “Cukup,” katanya pelan. Satu kata itu menghentikan segalanya. “Aku tidak datang untuk memperdebatkan ritual,” lanjutnya, suaranya serak. “Atau untuk menukar perjanjian dengan alasan kuno.” Ia mengangkat kepala, menatap lurus ke depan. “Aku datang karena kemarahanku sendiri—dan itu membuatku buta.” Bisik-bisik mereda. Bahkan napas para penjaga terdengar jelas. Raja Jizhou melangkah maju satu langkah. “Putriku, Lusi, bertindak di luar batas. Bukan sebagai tunangan Qingzhou, bukan sebagai alat politik—melainkan sebagai seseorang yang menyalahgunakan darah kerajaannya.” Zhiya merasakan dada sesaknya

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kejahatan Yang Terungkap

    Aula Putih dipenuhi cahaya siang yang dingin. Tidak ada musik. Tidak ada dupa. Hanya lantai batu pucat yang memantulkan langkah para tamu—langkah yang terukur, sarat makna. Bendera Qingzhou berdiri di tengah, diapit panji Jizhou dan Yongzhou, disusun sejajar, tak satu pun lebih tinggi. Konfrontasi antar kerajaan dimulai tanpa aba-aba. Raja Jizhou memasuki aula dengan jubah biru tua berbordir emas, wajahnya keras, matanya menyapu ruangan seolah sedang menghitung kemenangan. Di belakangnya, para menteri dan jenderal berdiri kaku. Dari sisi lain, perwakilan Yongzhou duduk tenang—datang sebagai saksi, bukan pihak. Lingga berdiri di pusat aula. Tidak di singgasana. Zhiya berdiri setengah langkah di belakangnya. “Aku menuntut penjelasan terakhir,” suara Raja Jizhou menggema, dingin dan tajam. “Putriku—tunanganmu—dikurung tanpa pengadilan. Aliansi diinjak. Kehormatan Jizhou dipermalukan.” Hening menegang. Beberapa pasang mata beralih ke Zhiya, mengenalinya sebagai inti dari semua d

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Roh Zhiya Mulai Goyah

    Di Aetheria, waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Apartemen Zhiya sunyi—terlalu sunyi. Tirai jendela masih tertutup sejak pagi, dan tidak ada balasan dari pesan Arga sejak semalam. Awalnya ia mengira Zhiya hanya kelelahan. Namun ketika siang bergeser ke sore dan telepon tetap tak terangkat, kegelisahan itu berubah menjadi firasat buruk. Arga berdiri di depan pintu apartemen dengan napas tertahan. Ia menekan bel sekali. Tidak ada jawaban. Sekali lagi. Tetap sunyi. “Zhiya…” panggilnya pelan, lalu lebih keras. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah Zhiya titipkan untuk keadaan darurat. Udara di dalam terasa pengap—bukan panas, melainkan stagnan. Lampu mati. Jam dinding berdetak lambat, terlalu nyaring di tengah keheningan. Arga melangkah masuk, jantungnya berdebar cepat. “Zhiya?” Ia menemukannya di kamar. Zhiya terbaring di ranjang, mata terpejam, wajahnya pucat. Napasnya ada—namun dangkal, seolah tubuhnya hanya mengingat kewajibannya untuk bertahan. Ujung j

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pertemuan 3 kerajaan

    Tekanan dari Jizhou tidak berhenti pada surat. Tiga hari kemudian, bendera biru-perak Jizhou terlihat dari menara pengawas barat Qingzhou—berbaris rapi di kejauhan, cukup jauh untuk disebut “kunjungan”, cukup dekat untuk disebut ancaman. Genderang tidak ditabuh, panji perang tidak dikibarkan, namun pesan itu jelas: kami menunggu perintahmu menyerah. Di ruang strategi, para penasihat berkumpul. Peta terbentang di meja batu, batu-batu penanda digeser perlahan. Lingga berdiri di ujung meja, wajahnya tenang, suaranya tegas. “Qingzhou tidak akan memindahkan Putri Lusi,” katanya. “Dan tidak akan menyerahkan siapa pun.” Seorang menteri tua menarik napas berat. “Yang Mulia, Jizhou tidak akan mundur tanpa simbol kemenangan. Mereka menginginkan wajah.” Semua mata beralih—tanpa disadari—ke arah Zhiya yang berdiri sedikit di belakang Lingga. Zhiya melangkah maju sebelum Lingga sempat bicara. “Aku tidak akan menjadi simbol siapa pun,” katanya tenang. “Namun aku bersedia menjadi alasan.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status