Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu.
Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah.
Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman.
“Ayok masuk.”
Nat
Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”
“Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k
“Eros?!” Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah. “Ehm … hai?” Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya. “Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu. “Iya. Anda seorang Dokter ternyata.” Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?” “Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya. “Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu. “Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …” Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?” “Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min
"Wes, kalem, bro." Eros mengangkat kedua tangannya.Daksa berdeham. Tidak menyadari bahwa suaranya mendadak berubah seperti orang yang mengintimidasi. "Maksud gue, ada perlu apa dia sampai ngehubungi lo?"Eros bersiap membidik, satu senyuman penuh arti ia lemparkan pada Daksa. "Mungkin akhirnya dia sadar kalau gue adalah lelaki mempesona yang enggak bisa ditolak."Tak!"Sial." Eros memaki pada bola yang gagal dimasukan, kemudian mundur untuk memberikan ruang untuk giliran Daksa.Sementara pria yang lebih muda dari Eros itu tertawa pelan. Daksa maju dua langkah, memegang stiknya kuat-kuat. Tubuhnya ia hadapkan pada Eros, membuat pria yang memiliki makna nama sebagai Dewa cinta itu mengangkat alisnya heran."Kenapa tatapan lo bisa berubah-ubah gini sih?" Eros menyuarakan rasa penasarannya.Daksa lagi-lagi hanya tertawa. "Bro, lo tahu enggak kenapa di dalam permainan biliar bola 15, yang kita mainin sekarang ini, ada aturan yang menggolongkan bola mana yang harus kita masukin? Ada yang da
'Bagaimana bisa kau mencintai sementara kau tidak mengerti dirimu sendiri?' Natya membaca satu baris kalimat dalam naskah yang sedang dikoreksi. Sebab rencana proyek baru perusahaan penerbitan tempatnya bekerja, Natya harus membawa setengah pekerjaannya untuk dibawa pulang karena situasi di kantornya yang huru-hara membuatnya tidak fokus.Namun alih-alih pulang, Natya mengajak Daksa bertemu untuk membicarakan masalah kontrak kerja sebagai penulis. Wanita itu duduk di salah satu kursi dalam Taman Suropati, yang menghadap ke air mancur sambil membolak-balik halaman naskah yang dibacanya."Boleh saya tanya kenapa kamu memilih bertemu di tempat seperti ini? Apa saya harus curiga?"Natya sontak menoleh begitu mendengar suara dari arah belakangnya. Wanita itu melihat Daksa berdiri sambil memasukan kedua tangan ke dalam kantong celana bahan berwarna cokelat milo. Kaos putih polos dilapisi dengan cardigan cokelat susu membuat penampilan Daksa terlihat lebih muda."Anda sudah datang." Natya ba
"Natya, kalau setelah ini saya mengajak kamu untuk bertemu, bukan sebagai dua orang yang terikat pekerjaan, apa boleh?" Di dalam kamarnya, Natya masih memikirkan perkataan Daksa yang tiba-tiba itu sebelum mereka saling berpamitan. Saat itu Natya tidak memberikan jawaban yang pasti karena terlalu terkejut. Mereka pun langsung berpisah begitu Daksa mendapat telepon dari asisten koki di restorannya. “Hah …” Natya membuang napasnya. “Kalimat itu kedengeran kayak ajakan kencan. Tapi kalau gue nyimpulin kayak gitu padahal maksud Daksa bukan itu, malu juga.” Natya bermonolog dengan dirinya sendiri. Cukup lama Natya terdiam dengan pikirannya sendiri. Tubuhnya sudah terbaring di atas kasur sambil mengenakan pakaian santai untuk tidur. Tetapi mata Natya belum bisa terpejam. Karena itu, Natya bangkit dan mengambil ponsel dan dua buah novel. Natya memutar “Sonata No. 14. “Moonlight” in C-Sharp Minor” oleh Beethoven dan Paul Lewis dari salah satu aplikasi streaming musik di ponselnya. Tangan ka
Natya dan Beno sudah duduk di salah satu warteg di dekat kantor mereka saat jam makan siang berlangsung. Namun setelah 5 menit mereka menghabiskan makanan, Beno belum juga mengatakan apa yang ingin dikatakannya. “Lo mau ngomong apa, Ben?” “Ehm … sebenernya ya, Nat, gue itu—” Tring! Satu notifikasi masuk di ponsel Natya menginterupsi kalimat Beno. “Sorry, lanjut aja, Ben.” Lelaki itu mengangguk, berdeham sekali lagi sebelum memulai kalimatnya. “Gue sebenernya mau bilang kalau gue itu—” “Natya.” Kali ini bukan notifikasi yang menginterupsi kalimat Beno, tetapi munculnya seorang pria dengan kemeja biru laut yang sudah digulung hingga siku, dan celana bahan warna hitam. Dia adalah Daksa Shaka. Kemunculannya bukan hanya menginterupsi kalimat Beno, tetapi juga detak jantung Natya yang serasa hampir melompat. Natya menatap ke arah Daksa dengan pandangan penuh tanya. “Daksa?” Beno melihat ke arah Daksa dan Natya bergantian. “Eh sorry, Ben, gue belum ngenalin lo ke dia ya? Lo inget
Natya hanya termenung mendengar pengakuan Daksa yang terlalu mendadak. Wanita itu berdeham sekali untuk mencairkan perasaan kikuknya. Dewi keberuntungan sepertinya sedang berpihak pada Natya. Karena ketika dirinya tidak tahu harus menjawab apa, suara alarm di ponselnya yang berjudul 'Jam makan siang sudah habis' berbunyi."Ah, jam makan siangnya udah selesai. Aku, eh, maksudnya saya harus balik ke kantor. Kalau begitu, saya permisi duluan." Natya bangkit, cepat-cepat meninggalkan warteg yang diselimuti suasana canggung itu."Natya."Natya berhenti ketika Daksa memanggil namanya. Namun dia tidak berniat untuk membalikkan badan."Kali ini kamu enggak muntahin makanannya. Apa aku boleh berspekulasi kalau masakan aku ada yang salah? Jadi lain kali aku akan minta kamu untuk jadi pencicip menu baru restoran aku."Natya tidak menjawab apapun. Wanita itu langsung melengos pergi begitu saja. Ada perasaan khawatir muncul dalam dirinya. Tentang semua luka yang pernah dialaminya dan membuatnya ada